Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 26 September 2010

القياس


القياس
تعرفه، حجيته، و مسا لك العلة*
Oleh :Fitriyani

BAB I
 PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Fiqih merupakan suatu pemahaman sedangkan ushul fiqih asal suatu perkataan yang ialah hakikatnya, yakni yang kuat dan (rajih), sebagaimana yang terdapat dalam objek kajian us}hu>l fiqih[1] bahwa sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara, yang disepakati yaitu Alquan, sunah, ijma>, qiya>s. Sedangkan yang tidak disepakati seperti kehujjahan istih}sa>n dan mas}lahah al-mursalah.
Adapun yang menjadi tujuan dari us}hu>l fiqih ialah meletakkan kaedah-kaedah yang dipergunakan dalam menetapkan hukum perbuatan atau perkataan mukallaf. Dengan kaedah itu bisa dipahami hukum-hukum syara’ yang ditumukan oleh nash. Dengan kaedah itu dapat dihilangkan ke tidak jelasan nas dan juga dapat diketahui dalil yang terkuat apabila terjadi pertentangan diantara dua buah nas. Dengan kaedah itu pula kita dapat mengetahui cara para mujtahid mengambil hukum dari nas, dengan mengetahui perbedaan pendapat dari fuqaha>  dalam menetukan dan menetapkan hukum terhadap kasus tertentu. Karena cara mengetahui pendapat yang berbeda itu hanya melalui ilmu pengtahuan kita dalam mengambil hukum dan dalil hukum yang dipergunakan dan menjadi pokok pembahasan dalam ilmu us}hu>l fiqh.[2]
Adapun dalam makalah ini penulis akan membahas tentang salah satu sumber hukum menurut fuqaha>  mengenai qiya>s yang merupakan suatu analogi yang dipergunakan untuk menetapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapanya dalam Alquran dan hadits.[3]

B.   Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah di atas maka untuk lebih mengenal dan memahami tentang sumber hukum qiya>s menurut para fuqaha>  maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana memaknai qiya>s ?
2.      Bagaimana mengetahui kehujjaan qiya>s ?
3.      Bagaimana cara penetapan illa>t ?












BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Qiya>s
            Dalam kamus  lisa>n al- arab  qiya>s secara itimologi (lugawi), berasal dari kata قا سه - يقيسه yang berarti “mengukur” [4] menyamakan, dan menghimpun atau ukuran skala, bandingan, dan analogi[5]  dalam bukunya Umar Abdullah yang berjudul Sulla>m al-Wasul li Ilm al-Us}hu>l. yang dikutip dari bukunya Zaky al-Din Sya’ban,  Us}hu>l al-Fiqh al-Isla>mi  bahwa qiya>s diartikan dengan تقدير شيى ء بشيى آخر yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.[6]
            Adapun secara terminologi (istilah),  dikalangan ulama us}hu>l Muhammad Imam Syafi’i mengatakan tentang qiya>si sebagai berikut:
وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم لا زم و عليه إذا كان بينه اثبا عه و إذا لم يكن فبه بعينه يطلب الدلا لة على سبيل الحق با لاجتهاد و الا جتهاد هو القياس                        
“Setiap kejadian/peristiwa yang terjado pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya (dala>lah-nya) di atas jalan yang benar dengan ijtiha>d . dan ijtiha>d  itu adalah qiya>s.[7]

Asy’Syari’ah (w. 747 H/1346 M) seorang tokoh us}hu>l fiqh Hanafi mendefenisikan qiya>s yang dikutib dalam kamus us}hu>l fiqh sebagai berikut:
تَعَدِيَّةُ اْلحُكْمِ مَنْ اْلأَصْلِ اِلىَ اْلفَرْعِ لَعِلَّةٍ مُتَّحِدّةٍ لاَ تُدْرِكَ بِمُ جَرَّدِاْللُّغَةٍ[8]
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melaluipendekatan bahasa saja.
Abdul Gani al-Bayiqa>ni mengatakan:
إِلْحاَ قُ غَيْرُ مَنْصُوْصٍ عَلىَ حُكْمِهِ بِأَمْرٍ ا خَرِ مَنْصُوْصٍ عَلىَ حُكْمِهِ لا شْتِرَاكٍ بَيْنَهُماَ فِى عِلَّةِ ذَلِكَ اْلحُكْمِ.[9]
Menghubungkan sesuatu  persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash,  karena diantara keduanya terdapat pertautan (persoalan), ‘illat hukum.

Sementara itu, Syaikh Muhammad al-Khudari Beik menyebutkan
هُوَ تَعْدِ يَةُ حُكْمٍ مِنَ اْ لأَصْلِ إِلىَ الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مجُْتَّحِدَة[10]
Qiya>s ialah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang (persoalan baru yang tidak disebutkan nash karena adanya pertautan ‘illat keduanya.

            Sedangkan dalam kamus istilah fiqih qiya>s menurut istilah usul fiqih adalah mengembalikan atau mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nas} dengan kejadian yang lain yang sudah ada ketentuan hukumnya di dalam nash, karena ada sebab atau illat yang mempersamakan hukum furu’  (cabang) dengan hukum as}hlu  pokok (Alquran dan hadis). Misalnya mempersamakan hukum minuman keras yang terdapat dalam Alquran  atau hadis seperti wiski, brendi, morfin,  dsb. dengan khamar (arak) yaitu haram diminum karena sama-sama memabukkan.[11]
            Menurut pendapat jumhur ulama qiya>s adalah merupakan sumber hukum yang bersifat amaliyah ke empat setelah Alquran, hadis dan ijma> ulama. Yang menjadi landasan qiya>s adalah Alquran, hadis, perbuatan sahabat dan akal.[12]

B.   Rukun-rukun Qiya>s
Suatu masalah dapat diqiya>skan apabila memenuhi empat rukun, yaitu:
1)      Ashal, (pokok tempat mengqiya>skan sesuatu) yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Alquran maupun sunah Rasulullah. Dapat juga disebut dasar, titik tolak dimana masalah itu dapat disamakan  (musyabbah bih).[13] Syaratnya:
a)      Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang  masih ada pada pokok Ashal. Kalau tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin dapat pemindahan hukum.
b)      Hukum yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’, bukan hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiya>s syara’
c)      Hukum Ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meski makan dan minum. Mestinya puasa rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya), tetapi puasanya tetap ada atau sah. Demikian Hanafi menjelaskan orang yang dipaksa tidak dapat di qiya>skan dengan orang yang lupa.[14]
2)      Adanya hukum Ashal, suatu masalah yang akan di qiya>>skan disamakan dengan asal tadi disebut  (musyabbah) misalnya hukum khamar haram yang ditegaskan dalam Alquran. Adapun sayarat-syarat adanya hukum furu’ (cabang) ialah:
a)      Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian us}hu>l fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b)      Hukum ashal dapat ditelusuri ’illat (motivasi) hukumnya. Misalanya hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukumnya yang tidak dapat diketahui ’illat hukumnya
c)      Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi nabi Muhammad sa. Misalanya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat wanita sekaligus.[15]
3)      Adanya Cabang (Furu’), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Alquran, sunah, atau ijma>  yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiya>s misalanya minuman keras wisky. Adapun syarat-sayaratnya:
a)      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama us}hu>l fiqh menetapkan bahwa: “apabila datang nas} (penjelasan hukum dalam Alquran dan sunah), qiya>s tidak batal. Artinya, jika cabang yang akan di qiya>skan itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Alquran dan sunah, maka qiya>s tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.
b)      ‘illat  yang terdapat pada cabang sama dengan yang terdapat dalam ashal
c)      Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.[16]
4)      ‘Illat,  rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktis qiya>s, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum yang dikembangkan. ‘illat  menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa mengubah keadaan”, misalnya penyakiti karena ’illatnya karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena penyakit itu. Untuk sahnya suatu ’illat sebagai landasan qiya>s, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama us}hu>l fiqh  ‘illat  memerlukan beberapa persyarakatan antara lain yang penting adalah:
a)      Illat  harus berupa sesuatu yang ada kesesuainaya dengan tujuan dan pembentukan hukum. Artinya kuat dugaan bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ’illat  itu bukan karena suatu yang lain.
b)      ‘illat harus bersifat jelas, maka suatu yang tersembunyi dan samar-samar tidak bisa dijadikan’illat karena tidak dapat dideteksi kebenarannya. Misalanya perasaan Ridha.
c)      ‘illat  itu harus sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar timbangannya jika berupa barang timbnagan tidak jauh berbeda pelaksanaannya antara seorang pelaku dan pelaku yang lain. Misalnya tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan yaitu menghilangkan nyawa sesorang, dan hakekatnya pembunuhan itu tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain. [17]

C.   Kehujjaan Qiya>s

          Disini terdapat dua perbedaan yang mashur tentang kehujjaan qiya>s menurut jumhur ialah bahwasanya kehujjaan qiya>s syar’i dalam nas} hukum amaliyah sedangkan asal dari ulama us}hu>l syar’iyah  qiya>s merupakan hujjah sumber hukum yang ke empat.[18] dan dalam hal ini ada juga beberapa pendapat di antaranya:
1.      Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap bahwa qiya>s sebagai dalil istinbath hukum-hukum syara’/agama. Alasan mereka adalah:
a.       Firman Allah swt. QS. al-Aasyr / 59: 2.
(#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Terjemahnya:
“Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.[19]
I’tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya melewati atau melampaui. Sebab memang qiya>s  ialah melewati/melampaui dari hukum ashl (pokok) kepada hukum yang cabang (furu’), jadi qiya>s termasuk dalam ayat tersebut.[20]
b.      Firman Allah swt. QS. an-Nisa> / 4 :59.
( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur ÇÎÒÈ
            Terjemahnya:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya)[21]
Adanya pertentangan dalam suatu perkara dan dianjurkannya mengembalikan perkara itu di kala tidak ada nashnya kepada Allah (Aquran) dan kepada rasul-Nya (sunah) di mana di dalamnya  mencakup segala perkara, yang tidak ada nashnya kepada perkara yang telah ada nashnya.[22]
c.       Peristiwa Mu’az ibnu Jabal ketika akan diutus oleh Rasul menjadi qadhi  di Yaman.[23]
كَيْفَ تَقْضىِ اِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَا ءُ ؟ قَا لَ:  اَقْضِِى بِكِتَا بِ الله. قَا لَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِىْ كِتَا بِ الله ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رسولِ الله. قَا لَ لإَإِن لَمْ تَ جِدْ بِسُنَّةِ رَسُوْلِ الله ؟ قَا ل: ا جْتَحَدُ  رَأْيِى و َلآ اَلو( أى وَلاَ اَ قْصِرُ فِى اِ جْتِهَا دِ ) فَضَرَبَ رسولُ اللهِ عَلىَ صَدْ رِ هِ و قال:الحمد الله الذى و َفَّقَ ر سولَ رَسُوْ لِ اللهِ اِماَ يَرْ ضَ رَسُوْلَ اللهِ.                       Artinya                     
“Hai Mu’adz, apa yang anda lakukan, bila dikemukakan kepada anda suatu perkara?”. Mu’adz menjawab: “ Aku akan memutuskananya dengan Kitabullah”. Kata Nabi: “Jika anda tidak menumukan di kitabullah?”. “ Aku akan memutuskannya dengan sunnah Rasulullah”, Jawab Mu’adz. Kata Nabi lagi: “ Jika tdak ditemukan dalam sunnah Rasulullah?”. “Aku akan berijtihad dengan penuh kesungguhan dan ketelitian”, jawabnya. Seraya berkata: “Segalah puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah”.[24]
2.      Sebagian ulama Syi’ah dan golongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama Dzahiriyah  tidak mengakui  qiya>s  sebagai hujjah.
   Alasan mereka ialah, semua peristiwa (perkara) sudah ada ketentuanya dalam Alquran dan sunah baik yang ditunjukkan nas dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarah nash (hukum yang tersirat) atau yang menujukkan nash. Karena itu, kita tidak memerlukan qiya>s sebagai hujjah. [25] Alasan mereka adalah:
a)      Berdasarkan firman Allah QS. Al-An’am / 6 : 38.
$tBu4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Terjemahnya
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab kemudian kepada Tuhanlah mereka   dihimpunkan.[26]
b)      Berdasarkan sunah Rasululullah saw.
تعمل هذه الأمة بر هة با لكتاب، و بر هة با لسنة، وبر هة با لقياس، فإذا فعلو ذالك فقد ضلوا
Artinya
Setiap umat ini dengan periode Alquran, sunah, qiya>s,  apabila dia lakukan maka dia sesat.
c)      Berdasarkan ijma> : Ialah bahwa sebahagian dari sahabat tidak mengambil hukum dengan qiya>s atau ijma>  dengan menggunkan akal dan mengingkarinya.[27]
d)      Mereka beralasan juga dengan sikap sebagian sahabat yang mencelah qiya>s, meskipun sebagian sahabat lainnya yang bersikap diam atas celaan tersebut.[28]
Para fuqaha berlebih kurang dalam mempergunkan qiya>s. Ada yang banyak ada yang sedikit. Golongan Hanafiyah yang digolongkan qiya>s dan mendahulukan qiya>s  atas hadis ahad yang tidak mashur. Ahmad bin Hambal mempergunakan qiya>s  diwaktu darurat saja dan tidak memperoleh dalil dari sunah maupun da’if. Maliki dan Syafi’i bersifat netral terhadap golengan di atas. Dan ada pula golongan yang tidak membenarkan  kita mempergunakan qiya>s seperti Daud dan pengikut-pengikutnya, Ibnu Hazm, golongan Syi’ah dan golongan Mu’tazilah.[29]

C. Penetapan ‘illat
          Adapun yang dimaksud dengan pembicaraan bagian ini adalah usaha atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan suatu ‘illat hukum.[30] Hal ini diperlukan, karena ia merupakan cara atau dapat dijadikan jembatan (sarana) untuk sampai kepada pengertian yang dikehendaki.[31]
            Adapun cara-cara yang ditempuh dalam rangka penetapan ‘illat  adalah sebagai berikut :
1.      Dengan menggunakan nash Alquan dan sunah menyebutkan dengan dalil naqly. Adapun yang dimaksud dengan istilah ini ialah ‘illat  yang diperoleh langsung dari nash ‘illat-‘illat yang diperoleh dari nash ini ada kalahnya secara sari>h (jelas, tegas dan terang) dan ada kalanya secara al-ima>n  (الإ يمان)yaitu isyarat atau tanbi>h (التنبيه)yaitu keterangan atau perhatian. Terhadap ‘illat yang sarih dapat dengan mudah diketahui, karana secara lafziah (tekstual) disebutkan langsung oleh nas}. ‘illat yang sari>h biasanya diungkapkan atau ditujukan dengan kata-kata من أجل لأ جل  (demi untuk karena itu) dan kata  كي (agar supaya).[32]
lafal-lafal yang disebut terahir ini, secara tegas disebutkan oleh nas} dan tidak ada pengaertian lain kecuali yang menjadi dasar penetapan hukum. Syara’. Oleh karena itu, itu disebut sarih, karena ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas. Sebagai contohnya ialah keharusan membagi harta rampasan perang, sebagai disebutkan dalam QS. al-Hasyr / 59 :7.
ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB  ÇÐÈ
Terjemahnya:
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu apa yang diberikan Rasul kepadamu. [33]
Di dalam kata di atas kata كيmerupakan ‘illat dari keharusan membagi harta rampasan perang kepada lima golongan orang. Penetapan hukum agar rampasan perang tersebut harus dibagi, ‘illatnya adalah untuk mengindarkan agar harta-harta tersebut tidak hanya beredar pada segolongan orang kaya saja dan ini tidak boleh terjadi, ‘illat yang didasarkan pada petunjuk nash secara sarih ini, dikalangan ulama ushul terdapat perbedaan penyebutan dengan dalil naqli, masing-masing menyebutkan denda ’illat  yang qat’iy  dan  al-sarah}a>t kedua istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang sama.[34]
2.      Menentukan ‘illat dengan ijma>
Berdasarkan praktik yang berkembang dikalangan ulama ushul, bahwa suatu yang sudah disepakati dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan ‘illat dengan melihat sifat atau keadaan yang mempunyai pengaruh pada penetapan hukum. Contoh yang sering dirujuk oleh ulama us}hu>l dalam persoalan ini adalah jika seorang perempuan mempunyai dua saudara kandung laki-laki yang satunya saudara kandung ( أخ شقيق) dan yang lainnya saudara laki-laki seayah (أخ للأب) , dan saudara kandung lebih utama (didahulukan) dalam soal wali nikah. ‘Illatnya ialah karena saudara laki-laki kandung lebih utama dari saudara laki-laki seayah dalam hal penerimaan harta waris. Penetapan seperti ini berdasarkan ijma’  jika dalam soal waris saudara laki-laki kandung lebih utama dari pada saudara seayah  adalah karena keadaan pertalian persaudaraan dan ia merupakan ‘illat yang berpengaruh  (تأ ثير) langsung dalam soal waris, serta dinyatakan sesuatu yang telah disepakati  (ijma’) [35]
3.      Melalui  al-Sabr at-Taqsim ( السبر و التقسيم)
Yaitu dengan cara meneliti dan mencari ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ’illat.  Ini adalah pekerjaan seorang mujtahid di dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat. Untuk mengetahui ‘illat  semacam ini sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang mendalam baik tentang sistem Hukum Islam secara keseluruhan dan maksud syara maupun perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir.[36] Misalnya dalam menentukan ‘illat perwalian anak dalam pernikahan anak kecil. Seorang mujtahid melihat beberapa sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, misalnya karena ia masih kecil atau karena masih perawan. Penentuan ‘illat pada kasus ini adalah antara sifat masih kecil dan sifat masih perawan  dapat menimbulkan perbedaan pandangan dikalangan imam mujtahid. Ada yang melihat sifat masih kecil lebih tepat dijadikan ‘illat  akan tetapi mujtahid lain menjadikan sifat masih perawan sebagai ‘illat sedangkan sifat masih kecil tidak cocok dijadikan ‘illat karena wanita yang telah janda, meskipun masih kecil tidak dapat dipakasa oleh walinya untuk menikah
اَلاَيْمُ أَ حَقّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلَيِّهَا
Artinya
“Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya”.


4.      Muna>sabah ( المنا سبه)
Yaitu sifat nyata yang terdapat dalam suatu hukum, dapat diukur, dinalar, dan merupakan tujuan hukum itu, yaitu pencapaian suatu kemaslahatan atau penolakan kemudaratan.  Muna>sabah  itu disebut juga oleh ahli ushul dengan  Ikha>lah (الاء خا لة) yang artinya diduga bahwa suatu sifat itu merupakan ‘illat hukum, atau disebut juga dengan(المصلحة)  kemaslahatan,  atau (رعاية المقاصد) menetapkan illat pada hukum asal  semata-mata mengkaitkan antara  muna>sabah  dengan hukum.[37] Contoh perbuatan zina yang merupakan dapat diukur dan menurut nalar sejalan dengan hukum diharamkannya zina tersebut, untuk suatu kemaslahatan, yaitu memelihara keturunan atau menolok kemudaratan/kemafsadatan, berupa tercampurnya nasab sehingga tidak dapat membedakan suatu keturunan.[38]
5.      Dengan cara Tanqih al-Mana>t (تنقيح المنات)
Persoalan ini adalah memilih dan mengambil sesuatu dari sejumlah sifat ‘illat penetapan hukum. Misalnya dalam sebuah hadis dicertikan seoarang laki-laki arab telah menggauli istrinya pada siang hari bulan ramadhan. Terhadap kasus ini Rasulullah menetapkan hukum agar laki-laki tersebut memerdekakan hambah sahanya (budak).  Dalam kasus ini timbul masalah, yaitu apa yang menjadi ‘illat penetapan hukum kemerdekan budak tersebut. Dalam kasus ini ada beberapa kemungkinan yang dapat dijadikan  sebagai ‘illat yaitu karena laki-laki yang bersetubuh adalah orang arab dan ia menggauli istrinya. Ternyata dua sifat yang pertama ini – laki-laki Arab yang menggauli istrinya tidak dapat diterima karena tidak hanya berlaku bagi orang arab tapi berlaku bagi seluruh orang mukallaf dimana saja berada tampa membedakan jenis dan bangsa. Oleh karena itu terdapat kasus yang disebut terakhir ini maka alternatif terakhir yang dapat dijadikan sebagai ‘illat bersetubuh disiang hari bulan ramadhan ketentuan hukumnya memerdekakan budak.[39]
6.      Penetapan ‘illat melalui al-Ima>
Yang dimaksud dengan cara ini ialah upaya yang ditempuh dengan menemukan ‘illat dengan memperhatikan hubungan antar satu ketetapan hukum antara sesuatu sifat yang mendasarinya. Dengan kata lain ‘illat (sifat) yang mendasari suatu ketetapan hukum tersebut diperoleh melalui tanda yang yang disebut secara beriringan sebagai alasan dari penetapan hukum tersebut, karena jika tidak demikian tentu tidak disebutkan secara beriringan itu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kucing dinyatakan sebagai hewan yang bukan najis.[40]
إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجْسٍ إِنَّما هِيَ مِنَ الطَّوَّا فِيْنَ أَوِ الطأَّوَّا فَاتِ
Artinya
Sesungguhnya kucing itu bukanlah hewan yang bernajis, karena ia selalu berada disekeliling manusia.    
Dari hadis ini tampaklah jelas apa yang menjadi ‘illatnya. Akan tetapi bisa dipahami bahwa pernyataan kucing tidak najis (إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجْسٍ) dan dihubungkan kucing itu selalu berada disekeliling manusia, maka hal ini – yang disebut terakhir ini – mengindikasikan bahwa ia sebagai ‘illat.[41]
7.      Dengan cara  al-Dau>ran
Yang dimakasud dengan istilah ini ialah melihat hubungan atau sangkutan hubungan  ‘illat yang menjadi dasar dari sesuatu ketentuan hukum. Artinya pensyari’atan hukum tidak terlepas dari adanya ‘illat  yang melatarbelakanginya. dengan kata lain cara ini seperti yang dijelaskan oleh Sadiq Hasan Khan[42] bahwa hukum itu tidak ada karena tidak ada ‘illat dan hukum menjadi tidak ada kerena ketidak adanya ‘illat.
وَهُوَ أَنْ يُوْ جَدَ الحُكْمُ وَ يَرْ تَفِعَ بِارْتِفَا عِهِ.[43]
8.      Dengan cara al-Syabah}
Yang dimaksud dengan  al-Syabah} ialah mencari hubungan kesempurnaan ‘illat di antara hukum pokok yang berbeda, dimana satu sama lainnya mempunyai persamman dalam tujuannya. Contoh soal  wuhdu dan tayamum adalah dua hal yang berbeda, tetap mempunyai persamaan, yaitu mengilangkan  najis
( إزا لة النجا سة )[44]
            Itulah cara-cara penetapan ‘illat  yang biasa digunakan dalam mengqiya>skan suatu hukum yang belum jelas kedudukannya.












BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang qiya>s  dan kaitanya dengan pengertian qiya>s, kehujjaan qiya>s  dan penetapan ‘illat. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Qiya>s adalah memutuskan suatu hukum dengan membandingkan masalah lain yang serupa, dimana ada kesamaan diantara keduanya.
2.      Kehujjaan qiya>s
·         Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap bahwa qiya>s  sebagai dalil istinbath hukum-hukum syara’/agama.
·         ulama Syi’ah an golongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama dzahiriyah  tidak mengakui  qiyas  sebagai hujjah.
·         Golongan  Syafi’iyah, dan Abdul Hasan Al-Bashri dari golongan Mu’atazilah. Keduanya berpendapat, bahwa penetapan hukum melalui qiya>s wajib kita lakukan baik secara agama baik secara syariat.
3.      Penetapan‘illat ada beberapa cara yaitu:
·         Dengan menggunakan nash al-Qur’an dan sunnah, menyebutkan dengan dalil naqly.
·         Menentukan ‘illat dengan ijma’
·         Melalui  As-Sibr At-Taqsim Yaitu dengan cara meneliti dan mencari ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ’illat.
·         Muna>sabah Yaitu sifat nyata yang terdapat dalam suatu hukum, dapat diukur, dinalar, dan merupakan tujuan hukum itu, yaitu pencapaian suatu kemaslahatan atau penolakan kemudaratan.  
·         Dengan cara Tan}qih} al-Mana>t Persoalan ini adalah memilih dan mengambil sesuatu dari sejumlah sifat ‘illat penetapan hukum.
DAFTAR PUSTAKA


Aen, Nurol dan  Djazuli. Us}hu>l Fiqh  Metodologi Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

al-Bayiqa>ni Muhammad, Abdul Gani. al-Madkhal ila> Us}hu>l al-Fiqh al-Maliki.  Bairut-Libanon: Da>r Ribnan Littiba’ Wa al-Nasyr, 1968.

al-Din Sya’ban, Zaky.  Us}hu>l al-Fiqh al-Islami.  Mesir: Matba’ Da>r al-Ta’lif, 1965.

Bakry, Nazar Ed,. Fiqh dan Us}hu>l Fiqh. Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Burhanuddin.  Fiqih Ibadah.  Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Effendi, Satria. Us}hu>l Fiqh. Cet. I; Jakarta: Kencana: 2005.

Hallaf , Abdul Wahab. ‘Ilm Us}hu>l al-Fiqh.  Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978.

Hasan Ali. Perbandingan Mazhab.  Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Hasan Khan Sadik.  Mukhtamar Husul al-Ma’mul min ‘Ilm al-Us}hu>l.  Kairo: Da>r al-Sahwah, 1403. H.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh ( Cet. I; t.t.; Amzah, 2005.

al-Khada>ri,  Beik Syaikh.  Us}hu>l al-Fiqh.  Cet. VII: Mesir: Da>r al-Tukr, 1981.

al-Manz}u>r, Ibnu.  Lisa>n al-Arab,  Juz. VII  Bairut; Da>r- Sa>dir: t.t.

SA, Romli. Muqa>ranah Maza>hib fi>l Us}hu>l.  Cet. I; Jakarta: Radar Jaya Pratama, 1999.

Tholhah Syafi’ah. Abdul Mujieb Mabruri. Kamus Istilah Fiqih  Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Umam, Kahirul dkk.  Us}hu>l Fiqih 1.  Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.

al-Zuh}ayi, Wahbah. Al-Wajai>z fi> Us}hu>l al-Fiqh. Bairut-Libanon: Da>r al- Fikr Mua>s{ir, 1995.



*Makalah Us}hu>l Fiqih pada Program Studi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, yang dipanduh oleh Dr. H. Abd. Rauf M. Amin, Lc, MA. dan Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, Lc., MA.

[1]Menurut Istilah, Us}hu>l fiqh ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang dengannya akan sampai pada pengambilan hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci. Lihat, Abdul Wahab Hallaf, ‘Ilm Us}hu>l al-Fiqh (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1978), h. 11.
[2]Burhanuddin,  Fiqih Ibadah (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 16.

[3] Ibid.,  h. 82.
[4]Ibnu al-Manz}u>r, Lisan al- Arab Juz. VII  (Baerut; Da>r- Sa>dir: t.t), h. 187.

[5]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh ( Cet. I; t.t.; Amzah, 2005), h. 270.

[6]Zaky al-Din Sya’ban,  Us}hu>l al-Fiqh al-Isla>mi  (Mesir: Matba’ Da>r al-Ta’lif, 1965), h. 98.
                                                                                                                  
[7]Dajazuli dan Nurul Aen,  Us}hu>l Fiqh  Metodologi Hukum Islam  (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada: 2000), h. 121.

[8]Totok Jumantoro,  loc. cit.
[9] Muhammad Abdul Gani al-Bayiqa>ni, al-Madkhal Ila> Us}hu>l al-Fiqh al-Maliki (Bairut-Libanon: Da>r Ribnan Littiba’ wa al-Nasyr, 1968), h. 107.

[10] Lihat: Syaikh al-Khuda<>ri Beik, Us}hu>l al-Fiqh  (Cet. VII: Mesir: Da>r al-Tukr, 1981), h. 289.

[11] M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, AM.,  Kamus Istilah Fiqih  (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 286.

[12]Ibid.

[13] Nazar Bakry, Ed, Fiqh dan Us}hu>l Fiqh  (Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 50.

[14]Satria Effendi,  Us}hu>l Fiqh (Cet. I; Jakarta: Kencana: 2005), h. 133-134.
[15]Ibid.

[16]Ibid.,  h. 134-135.
[17] Ibid.,  h. 135-136.

[18]Wahbah al-Zuh}ayi>, Al-Wajai>z fi Us}hu>l al-Fiqh (Bairut-Libanon: Da>r al- Fikr Mua>s{ir, 1995), h. 59.

[19]Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya (Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006), h. 545.

[20]Kahirul Umam dkk,  Ushul Fiqih 1 ( Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 102.

[21]Departemen Agama, op. cit.,  h. 87.

[22]Kahirul Umam, lo. cit.,  h. 102.

[23] Ibid.

[24] M. Ali Hasan,  Perbandingan Mazhab  (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). h. 156.
[25] Ibid.

[26] Departemen Agama, op. cit.,  h. 132.

[27] Wahbah al-Zuh}ayi>, op. cit., h. 63.

[28] Ibid.,  h. 103.
[29]Hasbi Ash Shiddieqy,  Pengantar Ilmu Fiqh (Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 190.

[30]Romli SA,  Muqa>ranah Maza>hib fil Us}hu>l  (Cet. I; Jakarta: Radar Jaya Pratama, 1999), h. 124.

[31]Wahbah al-Zuh}ayi, op. cit., h. 75.

[32] Romli SA,  op. cit., h. 124.

[33]Departemen Agama, op. cit., h. 546.

[34]Romli SA, op. cit., h. 124-143.

[35] Ibid.,  h. 126-127.

[36]Djazuli dan Nurol Aen, op. cit., h. 150.

[37]Burhanuddin,  op. cit., h. 121-122.

[38] Ibid.

[39] Romli SA,  op. cit., h. 199-130.

[40] Ibid.,  h. 125-126.

[41] Ibid.

[42]Sadik Hasan Khan, Mukhtamar Husu>l al-Ma’mul Min ‘Ilm al-Us}hu>l (Kairo: Da>r al-Sahwah, 1403. H), h. 270.
[43] Romli, op. cit., h. 128.

[44] Ibid., h. 129.