Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 11 Februari 2011

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

Oleh: Fitriyani

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Shalat merupakan ibadah utama dalam Islam, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat disyariatkan dalam rangka bersyukur atas seluruh nikmat Allah swt. yang diturunkan kepada manusia. Shalat juga menjadi pembeda antara muslim dan kafir. Di samping shalat fardhu, juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunat baik muakkad maupun gairu murakkad.
Pada bulan suci Ramadhan, salah satu amaliyah yang rutin dilakukan umat Islam di seluruh dunia, selain tilawah al-Qur'an adalah shalat sunat tarawih. Mulai awal hingga akhir Ramadhan, mesjid-mesjid penuh dengan masyarakat muslim yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Bagi yang tidak sempat ke mesjid, mereka melakukan shalat tarawih di rumah.
Fakta adanya pelaksanaan shalat tarawih secara turun temurun sejak Nabi saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah tentang disyari’atkannya shalat tarawih. Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dituturkan, bahwa Nabi saw. sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Nabi saw. bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya

“Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau (HR. Bukhari).”
Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafal رمضانdan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
ح : الا يمان ٣٦
م : صلاة تامسا ثرين و فصر ها ١٢٦٤
ت : الصوم ٦١٩
ن :اصيام ٢١٦٩
د : الصلاة ١١٦٤
حم : يا فى مسند الكيثرين ٦٨٧٤
د م : الصوم ١٧١١
Untuk melengkapi shalat tarawih, maka dianjurkan melakukan shalat witir sebanyak tiga rakaat. Kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa ketika sampai lima belas Ramadhan, maka pada rakaat ketiga setelah ruku dalam shalat witir dilakukan kunut. Demikian pula pada shalat subuh, dalam masyarakat ada yang melakukan kunut dan ada pula yang tidak melakukannya, yang tentu saja masing-masing mempunyai alasan.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang shalat tarawih dan bacaan kunut, ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Pandangan fukaha tentang shalat tarawih dan bacaan kunut dalam shalat.
2. Dalil-dalil dan wijhu al-dalalah-nya tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
3. Kritik dalil (Munaqasyah al-Adillah) tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
4. Kesimpulan dari perbandingan.



II. PEMBAHASAN
1. SHALAT TARWIH
A. Pandangan Fukaha tentang Shalat Tarawih
Shalat Tara>wih; akar kata: ra>ha = lega; al-Istira>h}ah = istirahat. Shalat yang dilakasanakan dengan santai atau diselingi istirahat beberapa saat; salah satu shalat sunat yang dikerjakan umat Islam pada setiap malam di bulan Ramadhan.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari
تَرْوِيْحَةٌ , yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. Shalat tarawih juga disebut juga qiyam Ramadhan. Penamaan shalat ini dengan shalat tarawih adalah karena ketika melaksanakan shalat ini dua rakaat, jamaah dan imamnya beristirahat sejenak.
Dalam sejarah diketahui bahwa shalat tarawih di masa Rasulullah saw. disebut qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-la>il semula dilaksanakan di mesjid. Ketika jamaah melihat nabi saw. Shalat, mereka pun mengikutinya. Hal ini berlangsung pada malam kedua dan jamaah bertambah banyak. Akan tetapi pada malam ketiga (atau keempat) Rasulullah saw. tidak datang di mesjid, melainkan melaksanakannya sendirian di rumah. Pada pagi harinya sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. mengapa beliau tidak datang tadi malam. Rasulullah saw. menjawab: “saya telah melihat apa yang kalian laksanakan. Saya tidak datang bukan karena perbuatan itu, hanya saja saya khawatir kalian menganggap shalat ini menjadi shalat wajib.”
Sekalipun Rasulullah saw. tidak datang lagi ke mesjid untuk melaksanakan qiya>m Ramadhan, namun jsmaah tetap melaksanakannya. Ada yang melaksanakannya secara sendiri dan ada yang melaksanakannya secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang imam. Hal ini berlangsung terus sampai masa khalifah Umar bin Khattab. Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklah shalat tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Ka’ab.
Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut seraya mengomentari, ”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yaitu sesuatu yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Menurut para fukaha, qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-lail bagi Nabi saw. hukumnya wajib. Tetapi menurut jumhur ulama fikih, shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya sunah mu’akkad (sunah yang dianjurkan). Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at-Tahawi, tokoh fikih mazhab Hanafi, menyatakan bahwa shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya wajib kifayah. Apabila dalam satu kampung atau daerah tidak dilaksanakan shalat tarawih maka seluruh warga kampung atau daerah itu berdosa.
Shalat tarawih hukumnya sangat disunahkan (sunah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikan oleh para sahabat dan ulama.
Ada beberapa pendapat tentang rakaat shalat tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at. Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut ini:

Pertama, hadis Aisyah:
“Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan.”
Kedua, Imam Malik dalam al-Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dri untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat.
Ketiga, Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibn Mubarak dan Imam Syafi’i.
Keempat, bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya.
Kelima, Imam Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran.
Dari riwayat di atas jelas, bahwa akar persoalan dalam perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah persoalan jumlahnya melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. al-Hafiz Ibn Hajar berpendapat:
”Bahwa perbedaan jumlah rakaat dalam rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang hendak didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syafi’i,
“Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika sholatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.”

Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan Tarwih 8 rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw. dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar ra, sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi sahabat dan tabiin. Bahkan menurut Imam Malik ra. hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat Tarwih; melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam az-Zarkani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibn Hibban bahwa Tarwih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang namun bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan ummat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama.
Sedangkan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah berkata, “Jika seseorang melakukan shalat Tarwih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad yaitu 20 rakaat atau sebagaimana Mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, “Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiya>m-nya.”
B. Dalil-dalil dan Wijhu al-Dalalahnya
a. Dalil untuk jumlah 11 rakaat dalam shalat tarawih berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya

“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari).

Aisyah dalam hadis di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan nabi di malam hari dari lainnya.”
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau wafat.”
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
Artinya

“Umar bin Khattab memerintahkan pada Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Malik)
Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: Dan (hadis) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari Umar, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan sunnah, apabila Rasulullah saw. tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).
b. Dalil-dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih 23 rakaat:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
Artinya

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa Umar bin Khaththab 23 rakaat.” (HR. Malik)

Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafaz ركعة dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : صلاة المسافرين و قصر ها ٬١٢٧٥٬١٢٧٤
ت : الصلاة ٢١٥
ن :الغسل و التيمم ٤٣٦
د : الطها رة ٥٣
حم : من مسند بنى ها شم ١٧١٢٬١٧٨٤
Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar”, (nukilan dari kitab Nashbu al-Rayah), maka sanadnya munqathi/terputus). Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa.
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
Artinya

“Sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Thabrani).

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah) Shalat Tarawih
Dalil tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang diriwayatkan oleh Aisyah menyebutkan bahwa nabi saw. senantiasa melakukan qiyam Ramadhan atau qiyam al-lail, baik di dalam maupun di luar bulan ramadhan sebanyak 11 rakaat. Bagi para ulama pendukung shalat tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadis itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi saw., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.
Ijtihad Umar bin Khathab tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw., karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti). Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa posisi sahabat Nabi saw. sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam hadis Nabi saw:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
Artinya

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al- Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat tarawih hukumnya sunah yang jumlahnya 20 raka’at:
وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحّ َ

Artinya

“Shalat tarawih hukumnya sunah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua rakaat baru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah”

Dalam “Fath al-Bari” Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadis tentang jumlah rakaat shalat tarawih adalah 23 rakaat, beliau menyatakan: “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadis Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat ditambah witir, sanad hadis ini adalah dhai>f. Hadis Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadis itu, padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah saw. pada waktu malam daripada yang lainnya”. Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh az-Zailai’ dalam “Nashbu al-Rayah”.
Tentang hadis dari Abu Syaibah Ibrahim bin Usman, Imam ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.”
Dalam kitab Nashbu al-Rayah dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadis yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah: “Bagaimana shalat Rasulullah saw. di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).
D. Kesimpulan Perbandingan

Perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih yaitu pada masa Rasulullah saw. adalah 8 rakaat dengan dilanjutkan 3 rakaat witir. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab menjadi 20 rakaat dilanjutkan dengan 3 rakaat witir. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Ibnu Taimiyah, tokoh mazhab Hanbali, mengatakan semua pendapat itu adalah baik, karena tidak ada dalil yang pasti (qath’i) yang menunjukkan jumlah rakaat shalat tarawih tersebut. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa persoalan 11 atau 23 rakaat tersebut amat tergantung kepada jumlah ayat yang dibaca. Jika ayat yang dibaca pada setiap rakaat panjang-panjang, maka sebaiknya shalat ini disingkat. Tetapi kalau jumlah ayatnya singkat, maka lebih baik jumlah rakaatnya ditambah menjadi 23 rakaat.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang mendasar untuk mempertentangkan satu pendapat dengan pendapat lainnya dalam jumlah shalat tarawih; apalagi menjadi sebab perpecahan umat Islam. Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsens dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersamaNya dimanapun berada.
2. BACAAN KUNUT DALAM SHALAT
A. Pandangan Fukaha Mengenai Bacaan Kunut dalam Shalat
Disebutkan dalam kitab al-Nihayah, bahwa kata kunut mempunyai delapan makna, yaitu taat, khusyu’, shalat, doa, ibadah, berdiri, lama berdiri, dan diam.
Kunut berarti taat, menghinakan diri kepada Allah swt., dan lama tegak dalam shalat. Doa yang dibaca pada shalat tertentu dan karena keadaan tertentu. Kunut mempunyai arti yang sama dengan doa dan tadharru’ yang berarti mendoakan musuh.
Kunut dibagi dua macam, yaitu kunut witir atau kunut subuh dan kunut nazilah. Kunut witir atau kunut subuh adalah kunut yang dibaca dalam shalat witir atau shalat subuh. Sedangkan kunut nazilah adalah kunut yang dibaca dalam shalat fardhu ketika umat Islam menghadapi tantangan, bencana, dan permusuhan dari orang-orang kafir.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa sunat membaca kunut dalam shalat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan pada shalat mana, kapan, lafal, dan tata cara kunut dibacakan.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali menggunakan istilah kunut witir, yaitu kunut yang dibaca pada rakaat terakhir shalat witir. Sedangkan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i menggunakan istilah kunut subuh, yaitu kunut yang dilakukan pada rakaat terakhir shalat subuh.
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya kunut subuh.
pertama : Kunut subuh disunahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.
Pendapat kedua : Kunut subuh tidak disyariatkan karena kunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Kunut pada shalat subuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada shalat subuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya al-Laitsy dan ahli fikih dari para ulama ahlul hadis.

B. Dalil-dalil dan Wijhu Dalalahnya
Dalil pendapat pertama:
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap kunut subuh itu sunah adalah hadis Abu Ja'far ar-Rozy dari ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ فجر حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya

"Rasulullah saw. terus menerus kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Kemudian sebagian para ulama Syafi'iyah menyebutkan bahwa hadis ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, antara lain:
Pertama : dari jalan Hasan al-Basry dari Anas bin Malik, beliau berkata:
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
Artinya

"Rasulullah saw., Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" kunut sampai saya berpisah dengan mereka".

Kedua : dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qatadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
Artinya
"Saya shalat di belakang Rasulullah saw. lalu beliau kunut, dan dibelakang 'Umar lalu beliau kunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau kunut".

Ketiga: dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin Abdillah, dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ


Artinya

"Terus-menerus Rasulullah saw. kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggal".

Takhrīj hadis yang berkaitan dengan kunut, dilakukan dengan menggunakan lafal يقنت dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : الصلاة ٥٩
ح : الأذان ٧٥٥
ت : الصلاة ٣٦٧
ن : التطبيق ١٠٦٦
د : الصلاة ١٢٢
حم : أ و ل مسند الكو فيين ١٧٧٤
د م : الصلاة ١٥٤٩
(Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam al-Qunut dan Ibnu al-Jauzy dalam al-Tah)
Dalil Pendapat Kedua:

Mereka berdalilkan dengan hadis Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ) : لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ)




Artinya

"Adalah Rasulullah saw. ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (i'tidal) berkata: "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakwan dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim".

Berdalilkan dengan hadis ini menganggap mansukh-nya kunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang gaib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah:

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Artinya

Dari Abi Hurairah ra. beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah saw. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Subuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa kunut nazilah belum mansukh. Andaikata kunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi saw. dengan kunut nazilah .
Dalil pendapat ketiga:
Pertama : Hadis Sa'ad bin Thoriq bin Asyam al-Asyja'i
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".


Artinya:

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullah saw. dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali Radhiyallahu 'Anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan kunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (kunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". (HR. Tirmidzy).

Kedua : Hadis Ibnu Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
Artinya

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya shalat bersama Ibnu Umar shalat subuh lalu beliau tidak kunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku". (HR. ath-Thabrany)

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah)

Mengenai dalil bagi pendapat pertama, an-Nawawi dalam al-Majmu’nya mengatakan bahwa hadis tersebut shahih dan diriwayatkan oleh sejumlah penghafal hadis, dan mereka menshahihkannya. Di antara yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa judul kitabnya, dan al-Baihaqy. Hadis itu diriwayatkan juga oleh ad-Daruqutni dari berbagai jalan periwayatan dengan sanad yang shahih.
Menurut Hasan bin Ali as-Saqqaf, hadis ini dhaif karena ada Abu Ja’far ar-Razi dan Isa bin Mahan dalam sanadnya. Abu Ja’far itu dhaif dalam meriwayatkan hadis dari Mughirah saja, sebagaimana dikatakan oleh para imam ahli hadis yang menganggap bahwa Abu Ja’far itu tsiqah. Mereka yang menganggapnya tsiqah, seperti Yahya bin Mu’in dan Ali bin al-Madini. Hadis ini tidak diriwayatkan oleh Abu Ja’far dari Mughirah, tetapi ia meriwayatkannya dari ar-Rabi bin Anas, sehingga di sini hadisnya shahih. Berkenaan dengan hal tersebut, as-Saqqaf telah membuat karangan yang diberi judul al-Qaul al-Mabtût fi Shihhati Hadits Shalah as-Shubh bi al-Qunut.
Menurut golongan ketiga, tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada shalat subuh secara terus-menerus. Qunut subuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para sahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".
Mereka juga beralasan bahwa nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya kunut subuh dari beberapa orang sahabat bahwa mereka melakukan kunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shahih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan kunut subuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Mereka menambahkan bahwa setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya kunut subuh secara terus-menerus dengan membaca do'a kunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah shalat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadis yang lemah.
Andaikan dikatakan hadis itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk kunut terus menerus dikarenakan perkataan (kunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma’ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :
1. (QS. ar-Rum /30: 26.
         
Terjemahnya

Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. semuanya hanya kepada-Nya tunduk.
2. (QS. al-Ahzab/33 :31
               
Terjemahnya
Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
3. QS. al-Baqarah /2 :238.
        
Terjemahnya
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadis Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do’a ketika i’tidal yang disyariatkan, bukan do’a kunut yang mereka maksudkan karena dalam i’tidal harus khusyuk, tuma’ninah, dan tenang, tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadis Anas itu adalah ucapan “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst. ” serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan doa khusus qunut subuh yang berbunyi “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst.”
D. Kesimpulan Perbandingan

Persoalan kunut, terutama kunut subuh, adalah masalah yang terus menerus dipertentangkan, meskipun telah banyak kajian atau pembahasan mengenai hal tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan di atas tentang golongan yang menyetujui adanya kunut subuh maupun golongan yang menolak kunut subuh, dengan dalil-dalil yang diungkapkan masing-masing, dan menganggap bahwa dalil yang mereka gunakan adalah shahih.
Menurut penulis, dalil dan argumen yang dikemukakan masing-masing golongan, baik yang menyetujui kunut subuh maupun yang menolak, semuanya dapat diterima karena mereka menguraikan dengan jelas dalil dan argumentasinya, yang semuanya bersumber dari Rasulullah saw. untuk menilai mana dalil yang terkuat, penulis belum mampu menentukan karena keterbatasan penulis dalam menganalisis keshahihan hadis yang dijadikan dalil masing-masing golongan.
Bagi penulis, persoalan kunut adalah furu’iyah yang tidak perlu dipermasalahkan. Karenanya, bagi mereka yang meyakini bahwa kunut subuh itu sunat, maka tak mengapa dilakukan sebab ada dalil-dalil yang mendasarinya. Begitupun bagi yang meyakini bahwa kunut subuh itu tidak disunahkan, maka tak mengapa ditinggalkan karena ada juga dalil yang mendasari hal tersebut.



































DAFTAR PUSTAKA
al-Albani, Nashiruddin. Shalat al-Tarawih, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir al-Maidani dengan judul Shalat Tarawih, Pustaka At-Tibyan.

al-Ansary, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arabi, Juz 2, Beirut: Dar al-Shadr, t.th.

al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh al-Bukhary, Juz 4, t.t: Maktabah Salafiyah, t.th.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 dan 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Dzulqarnain, Abu Muhammad. Hukum Qunut Subuh, dalam http://darussalaf.or.id. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2008.

Al-Jaziry, Abdul Rahman. al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, al-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Malibari, Zainuddin. Fath al-Mu’in, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ikhtilafiyah, Makassar: Berkah Utami, 1999.
Ibn Ismail Muhammad. al-Bukha>ri, ja>mi> al-Risa>lah Juz. V. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Ibnu Qudamah, al-Mugny, Juz 3. Riyadh: Maktabah Riyadh al-Jadidah, 1980.

Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah, jilid.1, Cet. II; Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1973.
As-Saqqaf, Hasan bin Ali as-Saqqaf. Shahih Shifat Shalat an-Naby, diterjemahkan oleh Ahmad Qosim dengan judul Shalat seperti Nabi Saw.: Petunjuk Pelaksanaan Shalat Sejak Takbir hingga Salam, Cet. III; Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006.

al-Zarqani, Syarh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, Juz 1. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Rabu, 02 Februari 2011

اَلْيَقِيْنُ لاَيَزُوْلُ بِا لشَّكِّ

QAWAid al-Fiqhiyah merupakan sebuah kata terdiri dua rangkaian lafaz Qawa>id dan lafaz al-Fiqhiyah hubungan dari kedua lafaz ini, apabila dalam ilmu nahwu disebut hubungan na>t dengan manu>t atau shiffah dengan maushuf.
Qawa>id merupakaan bentuk jama’ dari lafaz kaidah yang menurut bahasa artinya asas atau dasar. Sekarang ini kaidah telah menyatuh dengan bahasa Indonesia, yang berarti aturan atau patokan.
Menurut ahli nahwu, kaidah berarti, yaitu:
االحكم الكلي المنطبق على جميع جز ئيا ته
“Hukum Kulli yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya”.

Sifat-sifat hukum-hukum kulli memerlukan suatu sifat yang harus ada padanya, yaitu “bahwa hukum-hukum ini satu sama lainnya hampir bersamaan di dalam segala syari’at, baik dalam hukum Romawi, Barat dan hukum Islam.
Oleh karena hukum-hukum juz’i berupa illat dan sebabnya haruslah hukum-hukum itu diikuti oleh kaidah-kaidah kulliyah.
Ulama-ulama dalam berijtihad, memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari perinsip-perinsip undang-undang baru di zaman modern ini, namun nama dan istilahnya berbeda-beda.
Kaidah-kaidah ini bertujuan memilihara ruh Islam dalam membina hukum mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, baik dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Oleh karena amat pentingnya kaidah-kaidah ini dan besar pengaruhnya dalam membina hukum, serta senantiasa digunkan para ahli hukum kita dari setiap mazhab. Kaidah-kaidah kulliyah meangumpulakan hukum juz’i yang bersamaan illat dan sebabnya, maka kaidah itu oleh sebagian ulama dinamakan qawa>id (kaidah-kaidah).

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengerti lebih baik pokok permasalahan, penulis mencoba membatasinya dalam rumusan masalah:
1. Bagaimana memaknai kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
2. Bagaimana aplikasi kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
3. Bagaimana kaidah-kaidah turunan yang dihasilkan dalam kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?















BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Arti dari kaidah tersebut adalah kenyakinan itu tidak bisa hilang karena keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang dinyakini keberadaanya tidak dapat hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai syak (tidak qath’i).
Adapun yang dimaksud dengan اليقين ) ) ialah:
هُوَ مَا كاَنَ ثَا بِتاً بِا لنَّظَرِ اَوِ الدّلِيْلِ
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil.”
Dengan maksud pembatasan di atas dapat dipahami, bahwa seseorang dapat dikatakan telah menyakini terhadap perkara manakala terhadap perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancaindra atau dalil. Sebagaimana orang yang merasa hadats dari wudhunya dapat dinyakinkan bahwa hadatasnya itu dengan adanya angin yang keluar dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat didengar suaranya oleh teliga dan dapat dicium baunya oleh hidung, demikan pula orang yang merasa berbuat jarimah akan dapat dinyakinkan, bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jarimah karena adanya nas yang mengatakan demikian.
Sedangkan yang dimaksud (الشك) ialah:
هُو مَاكَا نَ مُتَر دِّدًبَيْنَ الشُبُوْتِ وَعَدِمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفِى الصَوَابْ وَاْلحَطاَءِِ دُُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِما عَلىَ ا لآخَرِ
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tampa dapat diterjihkan salah satunya.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah menyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah dinyakini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan-keraguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Seperti orang yang telah wudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah dinyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
Mengenai keraguan-keraguan ini, menurut asy-Syakh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam yaitu:
1. Keraguan-karaguan yang berasal dari haram. Misalnya ada seekor kambing yang disembelih di suatu daerah yang penduduknya campuran antara muslim dan majuzi. Maka selebihnya tersebut haram dimakan, karena pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui pada umumnya yang menyembeli adalah seorang muslim atau yang diketahui bahwa memang yang menyembelih itu benar-benar orang Islam (Muslim).
2. Keraguan-keraguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang. Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci.
3. Keragu-raguan atau sesuatu yang tidak diketahui asalnya. Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram, dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal. Maka keadaan seperti ini dibolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun terdapat kekhawatiran maka hukumnya makrih.
Perlu juga menjadi catatan, bahwa keragu-raguan (syak) dan sangkaan (dhan) itu pengaruhnya dalam hukum sama. Misalnya seseorang bertamu kerumah temannya. Kemudian telah sampai dirumahnya, kemudian rumah tersebut tertutup, lalu timbul dalam pikirannya bahwa “temanya ini, boleh jadi pergi dan mungkin. sebaliknya ia sedang tidur” hal seperti ini dikatakan keraguan (syak). Tetapi kemungkinan besar ia masih berada daalm rumah sebab kendaraanya masih ada di depan rumahnya”, hal seperti itu disebut dengan sangkalan (dhan).
Dasar-dasar pengabilan kaidah:

1. QS. Surah Yunus 10/ :36.
      •      

Terjemahnya

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
1. Hadis riwayat Muslim
اِذَاوَجَدَ اَحَدُ كُمْ فِي بَطْنِننهِ شَيْئًا فَاشْكَلَ عَلَيْهِ اََحْرَجَ مِنْهُ شَْيئٌ اَمْ لاَ فَلاَ يَْخْْرُُجْنَّ مِنَ اْلمَسْجِدِ حَتىَّ يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْيَجِدُ رِيْحاً. (رواه مسلم)

Artinya
“Apabila seseorang diantara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid hingga mendaptkan baunya.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menujukkan adanya keraguan bagi yang sedang shalat atau menuggu (duduk di mesjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Oleh karena itu, kita dapat memprediksikan yang masuk ke mesjid telah berwudhu (bersuci). Ketika shalat berjamaah, ia ragu akan keabsahan wudhunya: batal atau tidak; orang tersebut tidak perlu membatalkan shalatnya sebelum mendapatkan bukti yang menyakinkan tentang ketidak abasahan wudhunya.
2. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
شَكىَ اِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَلرَّجُلُ يَحيِلُ اِلَيْهِ اَنَّهُ يَجِدُ اَلْشَيءَفِىْ الصََلاََةِ قَالَ لايَنْصَرِفُ حَتىَّ يسمعَ صَوتاَ اَوْ يَجِدَ ريحاً (واه البحاري ومسلم)
Artinya

Nabi mendapat pengaduan bahwa seeorang merasa bingun oleh sesuatu dalam shalatnya, janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau mendapatkan baunya (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadis tersebut berkata bahwa hadits tersebut merupakan salah satu dasar hukum Islam yang fundemental (ashl min ushul al-ahkam) dan melahirkan kaidah fiqh asasi. Atas dasar pertimbangan tersebut.




3. Hadis riwayat Turmuzi
قَوْلُه ُصلى الله عليه وسلم : اِذَ شَكَّ ا!حَدَُ كُمْ فىِ صَلاِتهِ فَلَمْ يَدْرِ كُمْ صلىّ، َ اَثَلاَُثاًت اَمْ اَرْ بَعَاً فَلْيَطْرَحْ اَلشَّكَّ َلْيَمِيْنَ عَلىَ مَا سَتَيَقَّنَ ثُمَّ يَجِدُسجدنبن قبل ان يلم (رواه الترمذى)
Artinya

Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada yang menyakinkan. (HR. Turmuzi)
Imam al-Turmudzi meriwayatkan hadis tersebut dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf tentang seseorang yang ragu mengenai jumlah rakaat shalat secara mendetail. mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Bila seseorang lupa tentang jumlah rakaat shalatnya: satu atau dua rakaat; Hendaklah yang dijadikan patokan adalah yang satu rakaat, bila ragu dua atau tiga rakaat; hendaklah yang dinyakini itu dua rakaat, bila ragu tiga atau empat rakaat maka yang dinyakini adalah yang tiga rakaat dan yang dijadikan patokan, dan sujudlah dua kali (sujud sahwi) sebelum salam.

Dalil aqli (akal) bagi kaidah kenyakinan dan keraguan adalah bahwa kenyakinan lebih kuat daripada keraguan; karena dalam kenyakinan terdapat hukum qath’i yang menyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dikatakan bahwa kenyakinan tidak boleh hilang dirusak karena keraguan.
4. Menurut logika
Kenyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab di dalam kenyakinan terdapat keputusan (hakim) yang pasti dan tidak hilang oleh keraguan.
B. Hasil aplikasi hukum kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Para fuqaha selalu memperkatakan bahwa kaidah ini dan selalu menybut-nyebutnya, karena hampir tiga per empat hukum fiqh ditakhrijkan daripada ini.
Masuk dalam kaidah ini apa yang dikatakan Al-Qara>fi dalam kitab Al-Furuq
كل مشكوك فيه يجعل كا المعدوم الذى يجزم بعد مه
Artinya

Segala yang diragui kepadanya dianggap sebagai barang tidak ada yang dipastikan ketidak adaanya.
Dinatara hukum-hukum aplikatif yang menjadi contoh peberapan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Apabila seorang menghilang dalam jangka waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka ahli waris tidak boleh membagi harta peninggalannya sebelum adanya kepastian mengenai kematiannya atau adanya keputusan hakim (pengadilan) mengenai kemetiannya berdaskan asumsi kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia disertai bukti-bukti kuat yang meandukung asumsi tersebut dan menetapkannya sebagai sebuah keyakinan; misalnya orang tersebut menghilang setelah berkecamuk perang, wabah penyakit atau gempa bumi dahsyat. Hal ini dikarenakan status orang tersebut sebelum meninggal merupakan hal yang terbantahkan dengan segala keyakinan, dan baru ketika menghilang muncullah keraguan akan status kehidupanya, maka dalam hal ini keraguan yang muncul belakangan tidak dapat menggugurkan hukum keyakinan.
2. Apabila ada dua orang melakukan perkongsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
C. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah pokok al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Adapun kaidah cabang dari kaidah pokok yang dihasilakan kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ialah:
1. اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
“Yang menjadi pokok adalah tepatnya sesuatu pada keadaan semula”
Redaksi kaidah ini identik dengan dalil Is}tisha>b yang digunakan oleh ulama us}hu>l fiqh, yakni memperlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan atau telah ada pada masa yang lampau, sampai pada ketentuan lain yang mengubahnya.
Adapun dalil kaidah tersebut sebagai berikut:
اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُسْبِتَ مَا يُغَيِّرُهُ
“Pada asalnya sesuatu itu tetap menurut adanya, sehingga terbukti ada sesuatu”
Menurut kaidah ini, apabila seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum sesuatu perkara, maka diperlukan hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa yang telah lalu, sehingga sampai ada hukum lain yang meangubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat dinyakini.
Misalnya dalam bidang muamalat apabila seorang hakim menghadapi perkara yang terjadi karena suatu perselisihan antara seorang debitur dan kreditur, dimana debitur mengatakan bahwa ia telah melunasi hutangnya kepada kreditur, namun kreditur menolak perkataan si debitur tersebut, yang dikuatkan dengan sumpah. Maka berdasarkan kaidah ini, bahwa seorang hakim harus menetapkan bahwa hutang tersebut masih ada (belum lunas). Sebab yang demikian inilah yang dinyakini akan adanya. Keputusan ini bisa beruba manakalah ada bukti lain yang dinyakinkan yang menyakinkan bahwa hutang tersebut telah lunas.
2. اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
“Hukum dasar adalah kebebasan orang dari tanggung jawab”.

Pada dasarnya kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa dia lahir dalam keadaan bebas belum mempunyai tanggungan apa pun, ini menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang dilakukannya setelah dia lahir.
Untuk itulah para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang diketemukan orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak sebab kemerdekaannya itu menjadi asal.
Menurut kaidah tersebut di atas, misalnya seseorang itu harus dimintakan bayyinah (keterangan) kepada yang menggugat, sebab ia menggugat sesuatu yang berbeda dengan asalnya. Apabila berselisih antara si penggugat dan si tergugat tentang harta yang dirampas atau dirusakkan, maka perbuatan yang diterima adalah perkataan orang yang harus membanyar, karena menurut asalnya, dia harus dibebaskan dari membanyar harga tambahan.
Contoh lain apabila seseorang menghadiakan sesuatu kepada orang lain dengan syarat memberikan gantinya, kemudian dia bertengkar dengan wujud penggantiannya, maka yang dibenarkan adalah perkataan orang yang menerima hadiah. Sebab menurut asalnya ia bebas dari tanggungan memberikan gantinya.
3. اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”

Kaidah ini menujukkan kepada kita, bahwa hukum-hukum yang ada dalam Islam itu pada asalnya tidak menyulitkan dan memberatkan kepada umatnya. Ini berdasarkan QS. al-Haj/22: 78.
       
Terjemahnya

Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
      
Terjemahnya

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Memang dalil-dalil nas di atas lebih banyak dipahami dalam masalah bidang ibadah mahdah. Untuk itulah apabila kita kembali kepada kaidah di atas, misalnya kita ambil contoh bidang muamalah, seperti seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudha>rabah) melaporkan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan atau mendapatkan keuntungan, tetapi sedikit sekali, maka laporan yang akan menjalankan modal (mudharib) ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudaharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan hal yang sudah nyata, karena belum bertindak, sedangkan memperoleh keuntungan yang diharapkan merupakan hal-hal yang sudah pasti.
Contoh lain apabila Umar menyerahkan uang sebanyak Rp. 100.000,- kepada Mukhtar, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian dibagi dua. Selanjutnya selang beberapa lama, Ahmad menuduh bahwa Mukhtar telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut tetapi Mukhtar menyangkah tuduhan itu. Maka berdasarkan kaidah ini, yag dibenarkan adalah Mukhtar yang menyatakan tidak belum ada keuntungan. Sebab pada dasarnya tidak ada beban.
4. اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menujukkan keharamannya”
Kaidah ini merupakan kaidah yang dipegangi oleh Imam Syafi’i Beliau berpendapat “Allah itu Maha Bijaksana jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hambanya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa “Memang Allah Maha Bijaksana, tapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah swt. sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunkannya sebelum ada IZIN dari Allah. Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam hal ini, mengecualikan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam masalah satu ini, keduanya sepakat menghukuminya haram. Misalnya di dalam sebuah desa, ada sepuluh perempuan satu diantaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan seorang laki-laki, tetapi belum /tidak tahu manakah diantara sepuluh orang perempuan itu, yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut.
5. اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
“Pada asalnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”
Redaksi kaidah ini menujukkan kepada kita, apabila kita menemukan sesuatu yang membuat kita ragu-ragu, maka untuk menetapkannya adalah pada waktu terdekat dari peristiwa itu (pada waktu diketahuinya).
Contoh, seorang dokter dalam mengoperasi kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalamnya berhasil dengan sukses, bayi yang telah dikeluarkan dapat hidup dalam beberapa hari, tapi seminggu kemudian bayi tersebut meniggal. Maka dalam persoalan ini, sang dokter tidak bisa diminta pertanggungjawabannya. Sebab ada kemungkinan kematianya dikarenakan oleh sebab-sebab lain yang mendekati (lebih dekat) waktu-waktu kematiannya.
6. مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
“Barangsiapa yang ragu-ragu apakah sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut asalnya dianggap tidak pernah melakukan”

Maksudnya bahwa apabila seseorang ragu-ragu apakah ia telah mengerjakan pekerjaan atau belum, maka berdasarkan kaidah ini maka orang tersebut dianggap belum maengerjakan pekerjaan tersebut.
Contoh, apabila seseorang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, bahwa yang dimenangkan ialah yang belum berwudhu. Sebab belum berwudhu merupakan hukum asal, yakni manusia itu pada dasarnya lepas bebas sedangkan wudhu adalah salah satu bentuk beban.

7. مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ

“Barangsiapa telah yakin telah berbuat sesuatu, tapi ragu-ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”.
Contoh, dalam kaidah ini, yaitu apabila seseorang sedang shalat isya merasa ragu apakah telah mengerjakan empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka berdasarkan kaidah ini, yang dihitung ialah dia baru mengerjakan tiga rakaat dan harus menambah satu rakaat lagi.
8. اَلأَصْلُ فِىْ الْكَلاَ مِ الْحَقِقَةُ
“Hukum asli itu dalam memahami kalimat adalah makna hakikat”
Kaidah ini memebri maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya, yakni sebagaimana yang dimaksudkan sebagai pengertian yang hakiki. Kebalikan dari arti hakiki adalah majazi, yakni suatu arti yang berbeda dengan pengertian yang biasa, tetapi antara arti yang majaz dengan arti yang hakiki itu masih ada hubungannya, yang mengharuskan untuk mengartikan kepada arti yang majaz tersebut, bila ada qarinah (tanda) yang menujukkan kepada arti yang bukan hakikat. Selain itu kaidah ini menetapkan apabila terjadi suatu petrselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman ialah penafsiran menurut arti hakikat lafaz itu sendiri.
Dalam kaidah ini dapat diambil contoh, seumpama ada orang yang mengatakan: “Aku akan mewakafkan atau mewasiatkan sebagian hartaku ini buat anak si Ahmad”. Maka dalam hal ini perkataan ‘anak” harus diartikan anak dalam arti yang sebenarnya, bukan berarti cucu dan sebagainya.

9 لاَ عِبْر ة َ بِالظَّنِّ اَلْبَيِّنُ خَطَؤُ هُ
“Tidak dapat diterima/diperhitungkan suatu yang didasarkan pada dhan yang jelas salahnya”
Muksud dengan dhan alam kaidah ini adalah suatu pendapat yang lebih cendrung kepada tetapnya atau benarnya daripada tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan kaidah ini ialah: bahwa suatu keputusan hukum yang di dasarkan pada dhan, tetapi padanya jelas terdapat kesalahan, maka kebutuhan tersebut tidak berlaku /batal.
Misalnya apabila seorang debitur telah melunasi hutangnya, kemudian wakilnya atau penaggungnya (kafil) juga melunaasi hutan itu, sebab ia menyangka, bahwa hutang tersebut belum dilunasi, maka kafil (penanggung) yang melunasi hutang tersebut boleh meminta kembali uang yang di banyarnya.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang Qawaid Fiqhyyah Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai beriku:
1) al-yaqi>n (keyakinan) adalah kepastian akan tetap tidaknya sesuatu, sedangkan asy-syakk (keraguan) adalah ketidak pastian antara tetap tidaknya sesuatu.
2) Adapun hasil aplikatif dari kaidah ini sangat luas, mencakup berabagai masalah-masalah fiqh diantaranya; Apabila ada dua orang melakukan perkonsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
3) Adapun kaidah cabang yang dihasilkan yaitu:
• اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
• اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
• اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
• اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
• اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
• مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
• مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ



DAFTAR PUSTAKA

ash Shiddieqy Hasbi. Falsafah Hukum Islam . Cet. 5; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993.

Burhanuddin. Fiqh Ibadah. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Hassan Abdul Qadir. Us}hu>l Fiqh. t.tp. Al-Muslimu>n, t.th.

Muhammad Azzam Abdul Azis. Qawa>id al-Fiqhnyah al-Isla>miyah. Mesir: Makatabah al-Risa>lah Dauliyah, 1998-1999.

Musbikin Imam. Qawaid Al-Fiqhiyah, Ed. I. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Syafe’i Rachmat. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. III; Jakarta: Pustaka Setia, 2007.

Washil Muhammad dan Muhammad Azzam. al-Madhul fi> Qawa>id al-Fiqhiyyah wa asruha> fi> Ahka>mi Syari>yah, Diterj. oleh, Wahyu Setiawan, Qawa>id Fiqhiyyah. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009.

SETIAP YANG TIDAK ADA ATURANNYA DALAM AGAMA DAN BAHASA MAKA RUJUKANYA URF

كل ما وردبه الشرع مطلقا ولا ضا بط له من الشرع ولا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف
SETIAP YANG TIDAK ADA ATURANNYA DALAM AGAMA DAN
BAHASA MAKA RUJUKANYA URF
-----------------------------------------------
Oleh : Fitriyani
Makna kaidah
Kaidah ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam syara’ secara mutlak, tampa ada batasan, ikatan, (serta) perkiraan, dan dia diikat oleh aturan syara’ dan bahasa, maka adatlah (urf’) yang menjadi pegangan hukumnya.
Kaidah tersebut menjadi kemudahan dan rahmat bagi masyarakat Islam (manusia) serta menjaga kemaslahatannya. Agar supaya setiap mukallaf akan terus menjaga perintah Allah berdasarkan kemampuan dan kesanggupannya dan menolak kesulitan (dosa) dan kesusahan (maksiat).
Cabang-cabang kaidah
Kaidah ini meliputi beberapa cabang. Berikut ini diantara cabang-cabang yang dipilih:
Pertama: Cukup dengan niat shalat sebagai perbandingan dengan urf , dimana niat shalat dianggap ketika hendak melaksanakan shalat.
An-niyyat, secara simetris berarti maksud, keinginan, kehendak, cita-cita, tekat, dan menyegaja. Secara terminologis, ulama fikih mendefinisikan denagn “tekad hati untuk melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah”. Niat merupakan salah satu unsure yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu ibadah dan juga menetukan bagi keabsahan beberapa jenis muamalah. Ajaran Islam menuntut umatnya agar memulai pekerjaan dengan niat.
Dasar Hukum Niat. Niat mempunyai dasar yang kuatdalam syariat Islam, baik di dalam Alquran maupun dalam sunah Rassulullah saw. Allah berfirman dalam surah al-Bayyinah/98:5
            •     
Terjemahnya
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurusdan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Posisi niat dalam Islam. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu. Maksudnya, kaidah yang berkaitan dengan niat merupakan salah satu kaidah yang berdampak luas dalam berbagai amalan dalam Islam. Secara khusus Imam Syafi’i menyatakn bahwa persoalan niat terkait dengan 70 bab fikih, dalam arti apabila tanpa niat di 70 bab fikih itu di anggap tidak sah, baik yang bersifat ibadah seluruhnya, muamalah sebagiannya, bahkan persoalan-persoaln mubah (yang dibolehkan) pun jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah saw harus dimulai dengan niat.
Syarat-syarat niat Ulama fikih mengemukakan beberapa syarat niat dalam ibadah, yaitu: 1. Islam, oleh karenanya ibdah orang kafir tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 2. Mumayyiz, oleh kerananya ibadah anak kecil dan orang gila dianggap tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 3. Memahami kandungan niat; 4.tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan niat.
Contoh aplikasi yang bisa dikaitkan dengan kaidah tersebut. Jika seseorang dalm melaksanakan shalat tidak disyariatkan niat untuk menyebut jumlah rakaat, maka jika seorang mualim berniat untuk melaksankan shalat magrib emapt rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah. Dan apabila seseorang yang akan melaksanakan shalat zhuhur, tapi niatnya menunaikan shalat azhar, maka shalatnya tidak sah.
Kedua: Memelihara (menjaga) pencuarian, membedakan jual beli kembali kepada urf’.
Ar-sariqah (pencurian), mengambil harta orang lain secara terpelihara secara sembunyi-sembunyi. Artinya pencurian dilakukan tampah sepengetahuan sipemilik barang dan pemilik barang tidak rela dengan pegambilan barangnya tersebut. Misalnya pencurian barang dilakukan ketika pemilkinya tidak ada atau sedang tidur dan sudah disimpang ditempat yang aman menurut keadaan suatu daerah sudah aman. Seperti dalam pagar dalam takaran masyarak di Indonesia sedangkan di Arab Saudi di depan Apertemenpun sudah dinaggap aman.
Ketiga: Waktu dan kadar haid dikembalikan kepada urf’.
Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita sehat dalam beberapa waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan bukan pula karena ada penyakit di dalam rahim.
Terdapat perbedaan pandangan ulama fikih dalam menetapkan lamanya haid yang dijalani oleh seorang wanita.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa seorang wanita menjalani haidnya minimal tiga hari tiga malam dan masa maksimal sepuluh hari sepuluh malam. Jika masanya lebih Dari sepuluh hari sepuluh malam, maka bukan haid lagi, tetapi telah berubah menjadi istihadah (darah penyakit yang keluar dari rahim bukan karena haid atau nifas). Alasan mereka adalah hadis dari Aisyah binti Abu Bakar yang menyatakan: “Masa haid minimal bagi wanita perawan atau sudah kawin adalah tiga hari dan masa maksimalnya sepuluh hari” (HR. at-Tabara>ni dan Daraqutni).
Menurut ulama Mazhab Maliki membedakan antara haid dan persoalan ibadah dan haid dalam masalah idah, menurut mereka darah haid dalam masalah ibadah cukup sekali keluar saja atau beberapa saat, ketika itu wanita telah dianggap haid dan apabila telah habis haidnya beberapa saat kemudian, ia wajib mandi. Pada masa haid beberapa saat itu, wanita tersebut harus membatalkan puasanya dan mengkadanya dihari lain. Menurut mereka lama haid dalam masalah idah adalah satu hari atau setegah hari. Menurut imam Malik masa haid maksimal juga berbeda antara wanita yang satu dengan wanita yang lainnya. Perbedaan itu dilihat dalam tiga keaadaan, yaitu: a. wanita yang baru haid, masa maksimal haid mereka 15 hari; b. wanita yang sudah biasa haid, masa maksimal haid mereka adalah ditambah tiga hari dari kebiasaan mereka selama ini; c. orang yang haidnya terputus-putus (satu hari keluar darah kemudian hari lain tidak keluar lagi, kemudian hari berikutnya keluar lagi dan seterusnya), masa haid maksimalnya adalah 15 hari, tidak termasuk hari ketika darah tidak kelaur, apabila lebih dari masa maksimal yang telah ditentukan tersebut, maka hal itu bukan haid lagi tapi istihadah.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa masa haid adalah minimal satu hari satu malam. Masa sedang atau bisanya adalah enam atau tujuh hari, didasarkan sabda Rasulullah saw. Kepada Mihnah binti Jahasy ketika bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah ketika itu meberikan jawaban; ”Jadilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari dengan sepengetahuan Allah. Kemudian mandilah engkau dan laksanakan shalat selama 24 hari 24 malam atau 23 malam. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmaad bin Hambal dan at-Tirmizi). Menurut mereka masa haid maksimal selama 15 hari. Jika lebih dari itu bukan darah haid lagi tapi berubah menjadi istihadah.
Keempat: Menghidupkan (lahan) yang mati dikembalikan kepada urf’.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat apabila di satu temapt terdapat lahan yang kosong tidak ada yang mengelolahnya dan pemiliknya tidak diketahui maka terkadang ada orang yang mengelolahnya sehingga suatu waktu bisa saja orang yang mengelolah tersebut diaggap sebagai milkinya.
Kelima: Penguasaan pada (harta) rampasan, yakni kedudukan orang yang merampas sebagai (pengatur, penguasa, pemilik) atas apa yang dirampas. Hal ini kembali kepada urf’.
Hal ini basa digolongkan sebagai harta qanimah (rampasan perang) harta yang didapat dalam peperangan sudah menjadi milik orang yang yang mengambilnya.
Beberapa pengecualian dari Kaidah
Ada beberapa cabang yang dikecualikan dari kaidah ini. Cabang tersebut diberi hukum dengan tidak memakai hukum kaidah tersebut, diantaranya:
Pertama: Hal saling memberi menurut kalangan Mazhab syafi’i. (pendapat ini menyatakan bahwa) jual beli tidak sah. Dengan cara saling memberi, sekalipun masyarakat telah terbiasa dengan hal tersebut. Berbeda dengan apa yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa sah mengadakan jual beli dengan cara saling memberi.
Al-bay’: menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bay dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengetian lawannya, yakni kata asy-syara> (beli) dengan demikain kata al-bay’ berarti “jual”, tetapi sekaligus berarti “beli”. Persoalan jual beli dalam Islam dibahas oleh Ulama fikih sehingga dalam berbagai literatur dikemukakan pembahasan dengan topic kitab al-buy (kitab jual beli).
Ada beberapa defenisi jual eli menurut menurut fikih. Dikalangan Mazhab Hanafi terdapat dua definisi Pertama, “ saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu” kedua, “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan barang yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”. Cara yang dimaksud ulama hanafi adalah melalui ijab Kabul (ungkapan membeli dari pemembeli) dan Kabul (menyatakan menjual dari penjual), atau juga biasa saling memberikan barang dengan harga antara penjual dan pembeli.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, jual beli adalah saling tukar menukar dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Hal ini mereka melakukan penekakanan pada kata “milik dan pemilikan” karena juga tukar menukar harta tersebut yang bukan pemilikan. Seperti sewa menyewa (ija>rah).
Dalam peraktik sekarang terkadang orang datang ke warung membeli lansung mengambil barang kemaudian menyimpang uangnya seharga barang tersebut tampa ada akad saya membeli dan saya menjual. Tapi menurut Imam Nawawi hal tersebut sah dan dibenarkan serta sudah menjadi adat urf’ dalam masyarakat.
Kedua: masuk WC pada dasarnya diwajibkan membanyar ongkos (masuk WC) tetapi apabila tidak disebutkan (pembayaran) maka tidak berlaku ongkos tersebut. Karena pengguna telah menikmati/memakai pemanfaatan WC dan pemilik WC telah menyediakannya (asas manfaat).
Ketiga: Jika seorang menyerahkan baju kepada tukang jahit (penjahit) untuk dijahit, atau duduk dihadapan tukang cukur lalu ia dicukur, atau duduk dihadapan tukang pijat lalu ia dipijat, atau minta izin masuk perahu lalu dibawa ke pantai, maka tidak wajib dikenakan pembayaran. Hal tersebut berbeda dengan kaidah.

Rabu, 27 Oktober 2010

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS (Bentuk-bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi, Periwayatan Lafal dan Makna, Tahammul wa Ada’ al-Hadis)*

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS
(Bentuk-bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi, Periwayatan Lafal dan Makna, Tahammul wa Ada’ al-Hadis)*

Oleh: Hj.Fitriyani, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alqur’an merupakan sumber ajaran Islam yang berasal dari Allah swt, sedangkan hadis adalah merupakan sumber kedua sekaligus sebagai penjelas (Bayan) dari Alqur’an yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik melalui Perkataan (Qauliyah) ialah yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (syari’at), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya, Perbuatan ( Fi’liyah ) yang merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaanya , dan Taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang dilakukan atau apa yang diperkatakan sahabat di hadapan beliau.
Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenarannya sedangkan hadis Nabi belum dapat di pastikan periwayatannya apakah berasal dari Nabi atau tidak Apakah periwayatnya dapat dipercaya atau tidak.
Adapun dalam kondisi faktualnya terkadang manusia terbentur dengan adanya hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria tertentu atau yang lebih dikenal dengan hadis lemah atau tertolak baik dari segi sanad maupun matannya padahal kedua aspek tersebut sangat menentukan apakah hadis itu dapat diterima atau tidak. Sehingga dalam meriwayatkan hadis ada yang dikenal dengan Ilmu Hadis Riwayah ialah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar maupun lain sebagainya. Dan ada juga yang dikenal dengan Ilmu Hadis Dirayah yang merupakan Undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal, sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadis, sifat-sifat rawi dan sebagainya.
Dari uraian di atas maka perlu diketahui Tekhnik Periwayatan Hadis dari Nabi terhadab sahabat dan cara sahabat meriwayatkan hadis, sehingga dapat membedakan hadis yang shahih dan daif.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran di atas maka di rumuskan masalah pokok: “Bagaimana Teknik Periwayatan Hadis” yang meliputi tiga aspek yaitu:
1. Bagaimana bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi ?
2. Bagaimana periwayatan dengan lafal dan makna ? dan
3. Bagaimana Tahammul wa Ada’ al-Hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS


A. Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi
Dalam kamus besar Indonesia Periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, telah berhasil membimbing ummat kepada ajaran Agama yang dibawanya. Walaupun dia sukses dalam membimbing ummatnya, tapi kehidupan sehari-harinya tetap sederhana, tidak jarang ia terlihat menjahit sendiri pakaiannya yang robet. Dalam pada itu dia juga sebagai kepala rumah tangga yang hidup dalam lingkungan masyarakat.
Apabila kedudukan Nabi dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya, maka dapat dikatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi sendiri dengan berbagai cara. Berikut contoh Nabi menyampaikan hadisnya:
قالت النساء للنبي ص م غَلَبَنَا عَلَيْكَ الِرّجَالُ فَاِجْعَلْ لَنَا يَْوَما مِنْ نَفْسِكَ فَوَ عَدَ هُنَّ يَوْمَا لَقِيَهَنَّ فِيْهِ فَوَ عَظَهُنَّ وَأَمَرَ هُنَّ فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ أَمْرَ أَةٌ تُقَدِّمُ ثَلااثَةً مِنْ وَلِدِ هَا إِلاكَانَ لَهَاحِجَابًامِنْالنَارِفَقَالتَْ اَمْرَأَةٌ وَاَثْنَتَيْنِ-فَقَالَ: وَاَثْنَتَيْنِ
Artinya

Kaum wanita berkata kepada Nabi: “kaum peria telah mengalahkan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu mohon anda menyiapkan waktu satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi menjanjikan untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu (dalam pengajian itu) Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan. Nabi bersabda kepada kaum wanita tidaklah seorang dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya menjadi dinding baginya dari ancaman apai neraka. (Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari).

Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki dan
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadia dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Riwanyat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.
Yang penting dari hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.

B. Periwayatan dengan Lafal dan Makna
Sebagimana telah disinggung pada pembahasan diatas bahwa adakala Para Sahabat meriwayatkan hadis dengan lafal aslinya dan adakala dengan maknanya saja, dan disini penulis akan lebih memperjelas cara-cara beriwayatan hadis dengan lafal dan makna sebagai berikut:
1. Periwayatan dengan lafal
Lafal periwayatan hadis bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya, lafal-lafal itu tersusun sebagai berikut:
سَمِعْتُ : Saya telah mendengar
سَمِعْنَا : Kami telah mendengar.
Lafal ini menjadikan nilai hadis yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengarkan sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberinya atau yang dibelakang tabir.
Seperti lafal:
حَدَّثَنِى : Seorang telah bercerita kepadaku
حَدَثَنَا : Seorang telah bercerita kepada kami
Lafal-lafal tahdits ini; oleh jumhur kadang-kadang di rumuskan dengan:

ثَنِى، نِى، دَثَنى، ثَنَا، نَا، دَثَنَنا
اَخْبَرَنِى : Seorang telah mengabarkan kepadaku
اَخْبَرَنَا : Seorang telah mengabarkan kepada kami

Lafal ihbar ini oleh muhadditsin di rumuskan dengan:

اَنَا، اَرَناَ، اَبَانَا، اَخَانَا
lafal haddatsana itu untuk rawi yang mendengar langsung .
Disamping lafal-lafal di atas ada kadang-kadang kita jumpai rumusan-rumusan sebagai berikut:
قَثَنَا : berarti خَدَّ ثَنَا
قَثَنِى : berarti خَدَّ ثَنِىْ قَالَ
ح : menurut muhadditsin, juga Imam Nawawy, bahwa rumus itu untuk satu hadis yang mempunyai dua sanad atau lebih. Jika penulis hadis telah menulis sanad pertama di tulislah rumus itu, apabila ia hendak beralih menulis sanad yang lain. Rumus “h” adalah singkatan dari tahawwul (beralih).
Demikianlah tadi periwayatan hadis dengan lafal. Dan adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, sebagai berikut:
2. Periwayatan Hadis dengan Makna
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul sebagaimana yang akan dibahas pada sub bahasan berikutnya ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinkilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafas yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu.
Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya.
Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.

“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.

Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.

C. Tahammul wa Adâ’ al-Hadis
Tahammul merupakan suatu cara pencarian hadis sedangkan Ada” adalah penyampaian (periwayatan). Para ulama dan peneliti lebih-lebih para pembaca umumnya masih banyak yang beraaggapan bahwa Hadis Nabi saw tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti pendapat yang termasyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin Hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Adalah suatu kekeliruan yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah al-Zuhri.
Dari data-data termaktub bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad saw masih hidup, dalam hal itu berlangsung sampai kurung waktu sesudahnya.
Adapun syarat-syarat Tahammul 1). mendengarkan hadis 2). boleh laki-laki atau perempuan Islam, baliq, adil, dhabit 3) ketika mendengar ia dalam kedaan sehat, memahami dan bagus hapalannya baik dalam hati maupun tertulis 4). bolah bagi anak-anak yang sudah berusia lima tahun asalkan sudah bisa membedakan antara kuda dan sapi. sedangkan syarat-syarat Ada’ 1). sebelum baliq tidak boleh meriwayatkan hadis 2). anak kecil belum bisa menyampaikan hadis karna siapa tau bohong 3). orang yang selalu bertaqwa 4). periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat itu bisa diterima sebab sewaktu gila ia hilang kesadarannya ada ke-dhabith-an.
Adapun jenis-jenis Tahammul (mendapatkan hadis) yang dilakukan oleh ulama dalam meneliti rawi baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan keadaan yang bersifat umum, segi daya hapal, dan segi kecermatannya, yakni dengan meneliti bagaimana si perawi itu memperoleh hadis dari gurunya. Dan kemudian dibahas bagaimana cara mereka menerima dan menyampaikan kepada rawi lain, yang dalam masalah ini kita kelompokkan sebagai berikut:
1. Sima’. yakni seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hapalan atau tulisannya kepada muridanya. Dan murid-muridnya mendenngar, menghapal, dan menulisnya. walaupun mendengar dibalik hijab, asal berkeyakinan bahwa yang suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain. Dan ini merupakan cara sima’ yang paling tinggi seperti:
حَدَّ ثَنا، اَخْبَرَنَا، خَبَّرَنَا، اَنْبَأَنَا، عَنْ، قَالَ، حًكَى، إِنَّ َفُُلاَنًاقَالَ
2. Seorang murid membacakan hapalan atau tulisannya di hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. seperti
قَرَأْتُ عَلَيْهِ “Saya telah membacakan di hadapannya”
قُرِئَ عَلى فُلاَنِ وَاَناَ اَسْمَعُ “ Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarnya”

3. Seorang murid mendengar dari murid yang lainnya yang sedang membaca dihadapan guru mereka.
4. Munawalah (menyerahkan) dengan disertai ijazah, yakni seorang guru memberikan catatan asli atau salinannya kepada muridnya seraya menyebutkan bahwa salinan tersebut merupakan hasil catatanya, dan mengatakan, “Saya ijazahkan kepadamu dan kalian boleh meriwayatkannya.” seperti diberi ijazah:
هَذَا سَما عىِ اَوْ رِوَايتِيْ عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِهِ
“Ini adalah hasil pendengaranku dan periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah”

5. Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya. Dalam hal ijazah ini, banyak macam ragamnya, yaitu mengijazahi tulisan dengan disertai izin.
اَجَزَتُ لَكَ رِوَايَةَ اْلِكتَابِ اْلفُلاَنِى عَنِّى
“ Aku Ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya”

6. Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar,” tampa mengatakan kepada muridnya, “Riwayatkan hadis ini dari saya! Atau saya ijazahnya periwayatan hadis kepadamu.” Dan pendapat yang sahih menurut ulama bahwa periwayatan yang semata-mata munawalah (penyerahan) saja itu tidak dapat diterima.
7. I’lam yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterimah dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Lafaznya:
اَعْلَمَنِى فُلاَنُ قَالَ حََدَّثَناََ: “ seorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah berkata kepadaku"

8. Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya. Dan ulama menolak hadis penyampaian dengan cara wasiat ini.
9. Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijazikan kepadaku,” Di dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal dari Periwayatan anaknya, banyak hal seperti ini. Imam An-Nawawi berkata, Mengamalkan dengan cara wijadah menurut sebagian ulama tidak boleh. Dan menurut ulama lainnya tergantung kepada penemunya. Jika si penemu itu tsiqah (terpercaya dikenal ‘adil maka wajib diamalkan secara mutlak. Dan jika tidak, maka tidak boleh diamalkan. Kemudian sebagian ulama itu berkata, “Ini adalah pendapat yang benar yang ditujukan pada waktu itu bukan pada waktu-waktu lainnya.”
Demikianlah tingkatan-tingkatan Tahammul yang dilakukan oleh para ulama dalam meneliti kehidupan rawi baik yang berkaitan dengan keadaan umum maupun khusus. Jika kita amati bahwa adakalanya tinkatan ini di bolehkan menggunakan dalam meriwayatkan hadis seperti tingkatan sima’ yang merupakan cara yang paling tinggi, dan adakahnya tidak dibolehkan seperti wasiat jika seorang guru berpesan kepada seorang muridnya menjelang dia meninggal ulama menolak penyampaian hadis dengan cara wasiat.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Teknik Periwayatan Hadis” dan kaitanya dengan Bentuk-bentuk Periwayatan hadis dari Nabi, Priwayatan dengan lafal dan makna, dan Tahammul wa Ada’Hadis. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Periwayatan Hadis dari Nabi dan Para Sahabat, sebagaima kita ketahui bahwa Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terkadang menurut suatu riwayat bahwa beliau terkadang menyampaikan hadis dengan cara pengajian secara rutin dihadapan orang banyak dan secara lisan. Sedangkan para sahabat dalam menyampaikan riwayat hadis adakala dengan lafal asli dan adakalanya dengan maknanya saja.
Kedua, Menurut para ulama periwayatan hadis dengan lafal lebih kuat kebenaranya dari pada dengan makna.
Ketiga, Adapun tingkatan-tingkatan Tahammul ialah dengan Sima’, Munawalah (menyerahkan), Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya, Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar”, I’lam yakni seorang guru berkata kepada muridnya, “Kitab ini yang saya dengar, “tampa memberi izin meriwayatkan, Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya, Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijazikan kepadaku.
Demikian pembahasan ini semoga dapat memberikan gambaran secara global tantang Teknik Periwayatan Hadis dan Saya hanya bisa berharap muda-mudahan saya telah di beri taufiq oleh Allah SWT dalam penulisan makalah ini dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang saya miliki.
“Tidak ada taufiq bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.”
الله علم بالصواب





DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an Alqarim
Ash Shiddieqy Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: Penyebaran Buku-buku, 1995.

_______,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid. II. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1958.

________,Ilmu Dirayah Hadis, Jilid. II, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Athhãn Mahmud, Taisyir Musthalahul Hadis, tt: Dar-Fikr, t.th.

Azami Muhammad Mustafa, Dirasat fi al-Hadists al-Nabawi, diterjemahkan oleh H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya Cet. I; Jakarta:PT Pustaka Firdaus, 1994.

Bukhari Imam , Shahih Bukhãri, dalam Kitab Al-Ilmu, Bab. Hal Yaj’ala linnisãi Yaum alã Haddat fî ilmi, Nomor Hadis 99, Cet. I; Bairut Libanon: Dar Kutub Ilmiah, 1994.

Chumaidy A Zarkasyi, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. II; Jakarta: Bali Pustaka, 1990.

Nuruddin ‘ltr, Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulum Al-Hadis, diterjemahkan oleh Drs. H. Endang Soetari Ad, Ulum Al-Hadits 1 Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Muhammad Šakir Ahmad , Ihtišar Ulum Al-Hadis Berut: Dâr Kutub Ilmiah, t.th.

Rahman Fathul, Ikhtisar Mustahalul Hadits Cet. I; Bandung: PT. Alma’arif, 1974.

Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis Cet. II; Bandung: Amal Bakti Perss, 1997.

Watt W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statemen, diterjemahkan oleh Syuhudi Ismail: Kaedah-kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Pendekatan dengan Ilmu Sejarah, Cet. II; Jakarta: Bulang Bintang, 1995.

Manthu>q Wa Mafh}u>m (Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)

Manthu>q Wa Mafh}u>m
(Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)
Oleh:
Abu Muslim
Fitriyani
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar

Belakang Masalah

Nash Alquran dan sunah itu dengan bahasa Arab. Dengan bahasa Arab inilah orang memahami hukum. Dengan bahasa Arab inilah terdapat pemahaman yang benar. Yaitu apabila diresapkan cara-cara dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam bahasa Arab. Serta jalan-jalan yang menujukkan, yaitu apa yang diajukan oleh lafaz-lafaz, baik yang mufrad maupun yang murakab (kata-kata yang berdiri sendiri maupun kata-kata yang tersusun). Dalam hal ini us}hu>l mengatakan, metode-metode bahasa Arab yang sudah diterapkan, ibarat-ibaratnya, mufrad-mufradnya itu, di sini orang minta bantuan kepada ketetapan ini. Dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh ahli-ahli bahasa dan baris-barisnya.
Di samping dengan hal-hal yang berlaku untuk memahami hukum-kukum dari nash-nash syari’at. Disesuaikan apa yang dipahamkan itu, di antaranya nas-nas yang terdapat dalam bahasa Arab itu sendiri. Juga dihubungkan dengan penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang tidak berdasarkan nas}-nas dan membuang yang bertentangan menurut zahirnya, serta mentakwilkan apa-apa yang ditunjukan oleh dalil terhadap yang ditakwilkan itu. Selain ini, juga apa-apa yang bersangkutan dengan penggunaan nas}-nas} hukum.
Adapun dalam melakukan ist}inba>t hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat, yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi memperhatikan juga yang tersirat seperti isyarat yang terkandung di balik lafal nash serta begitu pula dengan dala>lahnya.
Berkenaan dengan cara penujukan dala>lah lafal nash, ternyata dikalangan ulam us}hu>l terdapat perbedaan cara/metode yang mereke tempuh, paling tidak terdapat dua kelompok mazhab yang berbeda, yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Mutakallimin yang diwakili oleh Mazhab Syafi’i.
Untuk lebih jelasnya tentang lafaz dalil-dalil hukum, metode jumhur ulama yang berkaitan dengan manthu>q wa mafh}u>m akan dibahas pada makalah ini pada bab berikut.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana memaknai dila>lah?
2. Bagaimana metode jumhur berhujjah dengan dila>lah Mantu>q wa Mafh}um?

II. PEMBAHASAN

A. Pembahasan Umum tentang Dila>lah
Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebutkan dua kalinya disebut “dalil” / دليل (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Dalam kalimat “asap menujukkan adanya api”, kata “api” disebut madlu>l sedangkan “asap” yang menujukkan adanya api disebut dalil.
Pembahasan tentang “dila>lah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan us}hu>l fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dila>lah.
Di dalam Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh juga dijelaskan bahwa:
اَاْلدَلاَلةُ ماَ يَقْتَضِيْهِ الْلَفْظُ عِنْدَاْ لإِطْلاَقِِ
Dala>lah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara manthu>q.
Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
1. Dila>lah lafzhiyah/ الدلالة اللفظيه(penunjukan bentuk lafaz) yaitu dila>lah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menujukan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit, meskipun tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dila>lah seperti disebit “thabi ‘yyah (طبيعيه) ; secara lengkap biasa disebut dila>lah lafzhiyyah thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه)
b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan sacara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عقليه) secara lengkap biasa disebut “dila>lah lafzhiyah ‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية)
c. Melalui “istilah” yang dipahami dan dipahami bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadhi’yah (وضعية); secara lengkap biasa disebut dila>lah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية الو ضعية)
Dari berbagai ketiga bentuk dila>lah diatas, dila>lah bentuk © (melalui istilah) yang paling dominan dibicarakan dalam us}hu>l fiqh, Karena itu akan dibahas secara lebih rinci.
1) Mut}a>biqiyyah (مطا بقية), yaitu bila istilah digunakan sebagai dila>lah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut. Contoh istilah “binatang yang mengeong” untuk “kucing” merupakan istilah yang lengkap dan memenuhi syarat ajmi’-mani (pargenus et differentium) dalam suatu istilah.
2) Tad}ammuniyah (تضمنيه), yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dila>lah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menujukkan maksud yang dituju. Umpamanya kata yang mengeong” yang hanya berbentuk unsur “fasal” dalam istilah, tetapi semua orang sudah tau maksudnya bahwa itu “kucing”.
3) Iltiza>miyyah ((لتزاميه, yaitu bila dila>lahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut, melalui penyebutan sifat yang lazim itu orang mengatahui bahwa apa yang dimaksud. Umpamanya menggunakan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4. ‘Bilangan genap” bukanlah arti sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu sebenarnya 2+2 atau 6-2 atau yang lainnya. Penggunaan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan merupakan arti sebenarnya.
2. Dila>lah Ghairul Lafzhiyyah (دلاله غير لفظيه)atau dila>lah bukan lafaz, yaitu dali>l yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang yang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tampa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dalam sendirinya dari rasa takut. Penujukan seperti ini disebut “thabi ‘yah”. secara lengkapnya:
b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Umpamanya asap yang mengempul dari sesuatu menujukkan asap api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan asap dimana ada asap pasti disitu ada api penujukkan dalam bentuk ini disebut (دلالة غير لفظيه عقلية)
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan nama seseorang menujukkan bahwa itu sudah melakukan ibadah haji. Hal itu dapat diketahui karena sudah menjadi kebisaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada yang mengatakan bahwa ia sudah haji, namun dari adanya huruf H di depan namanya, maka semua orang tahu bahwa ia sudah haji.
Kedua bentuk dila>lah di atas (dila>lah lafziyah dan dila>lah gairu lafzhiyah), selain dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu Us}hu>l fiqh, meskipun diantara meraka ada perbedaan dalam menggunakan peristilahannya.
Bentuk dila>lah yang luas penggunaanya adalah dila>lah lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dila>lah dengan “diam” dalam dila>lah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penujukannya terhadap hukum, tetapi mengandung banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama us}hu>l fiqh. Sebagaimana yang akan diabahas berikut ini tentang metode jumhur dalam penggunaan dila>lah lafzhiyah dan gairu lafzhiyah
B. Manth}u>q wa Mafhu>m
Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Muhammad Jawa>r Mugniyah yang berjudul Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d membangi dala>lah menjadi dua bagian yaitu mantu>q wa mafh}u>m. Begitu pula pandangan Ulama Syafi’i membagi dila>lah menjadi dua mant}u>q wa maf}hu>f.
1. Mant}u>q
Secara bahasa المنطوق isim maf’ul dari kata نَطَقَ fa>il dari kata الَنَا طِقُ fi>il mud}a>riy dari kata يَنْطِقُmas}dar dari kata نُطقًا yang berarti تكلم (sesuatu yang diucapkan). Sedangkan menurut istilah us}hu>l fiqh mant}u>q berarti pengertian harfiyah dari suatu lafaz yang diucapkan. Adapun dila>lah mant}u>q dalam pandangan ulama Syafi’ah yang dikutip dalam bukunya Amir Syarifuddin adalah:
دَلاَلَةُ الّلفْظِ فِىْ مَحَلِّ اْ لنُّطْقِ عَلَى حُكْمِ اْ لمَذْ كُوْرِ
Penujukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu.

Menurut ulama us}hu>l fiqh, mant}u>q dibagi kepada mant}u>q sharih dan mant}u>q gairu sharih. Mant}u>q sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti dikemukan oleh Mustafa Sa’id al-Khin, ialah:
ما و ضع اللفظ له، فيدل با لمطا بقة أو با لتضمين
Makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafaz sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh baik berupa bagiannya.

Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa>(4):3:

                              

Terjemahnya

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat tersebut, mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat-syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja manth}u>q sharih dikenal dengan ‘Ibarat al-Nas dikalangan ulama syafi’yah. Berdasarkan penegrtian dan pembagian dila>lah manth}u>q menurut syafi’i maka mant}hu>q sarih dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1) Mut}a>baqah, yaitu mant}hu>q yang secara jelas menujuk kepada makna yang dikehendakinya secara keseluruhan (sempurna). Misalnya. Lafal al-insa>n yang bermakna al-H}ayawa>n an-na>tiq (hewan yang berpikir). Atau lafal shalat yang menujukkan kepada ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
2) Tadammuniyah, yaitu hal yang secara jelas menujuk pada sebagian makna yang dikehendakinya. Misalnya lafaz al-bai’ yang dipahami oleh orang yang mendengarnya sebagai barang yang diperjualbelikan saja atau harganya saja.
Adapun yang dimaksud dengan mant}hu>q gairu sarih sebagaimana yang telah dijelaskan di atas ialah lafaz yang secara tidak jelas makna yang dikehendakinya. Mant}u>q ini terbagi atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Dala>lah al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditujukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Misalnya firman Allah QS. An-Nu>r (24):2.
• •  •                         
Terjemahnya
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat ini menujukkan bahwa perzinaan menjadi sifat illat hukum dera. Seandainya perzinaan itu bukan menjadi illat bagi hukum dera, tentu tidak perlu menyebutkannya beserta dengan hukumannya. Karena, perzinaan itu diketahui sebagai illat hukum melalu syarat (ima>), maka disebut dila>lah ima>. Ini adalah bagian dari ‘ibarah al-nash di kalangan Hanafiyah.
b. Dala>lah isyarah, suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pegertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mant}u>q, maka hukum yang ditarik melalui dala>lah al-Isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh manthu>q secara tegas. Contohnya firman Allah QS. al-Ahqa>f (46):15.
   •           •  •                                 

Terjemahnya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Dan firman Allah QS. al-Luqman (31):14
     •            
Terjemahnya

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Mant}hu>q ayat pertama menjelaskan jumlah masa kandung dan masa menyusukan selama tiga puluh bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan dua puluh empat bulan (2 tahun). Hal itu menujukkan (dala>lah isyarah bahwa sisanya, yaitu 6 (enam) bulan adalah masa minimal dalam kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya ayat, tetapi merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari dua ayat tersebut. Dila>lah isyarah atau isyarah an-nas dikalangan hanafiyah.
c. Dala>lah iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemehaman) pada redaksi tertetu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adannya penyisipan itu. Abu Zahrah secara sederhana mendefenisikan sebagai berikut sebagaimana yang dikutib dalam kamus us}hu>l fiqh:
دَلاَلَةُ اللَّفظُ عَلىَ كُلِّ اَمْرٍ لاَ يَسْتٌَِيْمُ المَعْنَى اِلاَ بِتَقْدَيْرِهِ
Penujukan lafal kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tampa memunculkannya.

Contohnya firman Allah QS. Yu>suf (12): 82.
   •         
Terjemahnya
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".

Menurut zahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaiman mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan mahkuk hidup. Karenanya dirasakan mamunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.

2. Mafh}u>m
Secara bahasa kata مَفْهُوْمْ berasal dari kata فَهِمَ isim masdar dari kata اَلْفَهْمُ yang berarti “tersirat” atau sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafh}u>m muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari penegertian lafal yang dicapkan (mafh}u>m mukhalafah).” Mafh}u>m menurut mayoritas ulama us}hu>l fiqh, seperti yang tergambar dalam defenisi di atas dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafh}u>m muwafaqah, dan mafh}u>m mukhalafah.
1) Mafh}u>m Muwa>faqah, adalah mafh}u>m yang lafalnya menujukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan lafal.
ماَكَاَنَ اْلمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَا فَقًا لِلْمَنْطُوْقِِ
Petunjuk lafal kepada bersamaan hukum yang tidak disebut dan yang disebut.
Dala>lah mafh}um muwa>faqah adalah pengertian yang menujkkan lafal kepada berlakuknya suatu arti hukum disebutkan oleh lafal dalam suatu peristiwa yangtidak disebutkan hukumnya oleh lafal yang disebutkan karena keduanya terdapat persamaan ‘illat. Illat hukumnya semata-mata dipahami dari segi bahasa dari lafal tersebut dan bukan diambil dengan jalan ijtihad.
Sedangkan dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan mafh}u>m muwafaqah terbagi dua, yaitu:
a. Maf}hu>m au>lawi> ( مفهوم الاولوي) atau disebut juga فحوى الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada mantu>qnya. Umpamanya firman Allah QS. al-isra> (17): 23
        •  •                 


Terjemahnya

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

Maksudnya memukul orang tua adalah haram sebagaimana hukumnya mengucapkan kata “ah”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar ‘ah”.
b. Mafh}u>m musawi> (مفهم المسوي) atau disebut juga لحن الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan pada manthu>q. Contohnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 10.
•              
Terjemahnya

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Mantu>q dari ayat tersebut menujukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafh}u>m muwafaqah-nya tampa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan sebagainya, adalah haram hukumnya.
Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafh}u>m muwa>faqah. Hanya kalangan Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafh}u>m sebagaimana juga menolak menggunakan qiya>s, karena menurut mereka mafh}u>m muwa>faqah dalam hal ini sama dengan qiya>s.
2) Mafh}u>m Mukhalafah, menurut jumhur ulama us}hu>l fiqh, adalah penujukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafh}u>m Mukhalafah didapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu, sehinggah hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama us}hum Mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum.
Menurut pandangan mazhab Hanafi, mafh}u>m mukha>lafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori methodologi penafsiran nas-nas Alquran dan hadis. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka tidak menggunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Nas-nas syara’ telah menujukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunkannya mafh}u>m mukha>lafah. Contoh dalam QS. al-Taubah (9): 36.
•                                    •    



Terjemahnya

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Jika menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, maka dapat dipahami bahwa perbuatan zalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain pada empat bulan tersebut perbuatan zalim tidak diharamkan. Padahal perbuatan zalim itu diharamkan sepanjang masa (selama-lamanya).
b. Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nas Alquran dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan. Misalnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
           
Terjemahnya

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa apabila sifat (qayd) tersebut idak ada, maka menurut mafh}u>m mukha>lafah, suami tersebut halal menikahi anak tirinya. Akan tetapi ternyata Alquran tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, bahkan untuk menjelaskan halalnya seorang suami menikah dengan anak tirinya, disebutkan dengan jelas dalam Alquran sebagai kelanjutan ayat di atas yang bersembunyi sebagai berikut:
فَاِنْ لَمْ تَكُوْ نُوْا دَحَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَا حَ عَلَيْكُمْ
Terjemahnya
Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya”

Sedangkan sifat pertama dalam ayat di atas tidak mungkin didekati dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, yakni bila anak tiri tersebut tidak ada dalam pemeliharaan suami. Hal ini adalah bertentangan dengan ijma’ ulama (selain ibn Hazm dan mazhab Zhahiriyah) yang menyatakan bahwa sifat yang pertama di atas bukanlah untuk membatasi hukum (qayd), tetapi semata-mata bertujuan seorang suami tidak menikahi anak tirinya yang pada umumnya ia pelihara.
c. Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya mempunyai sebab illat dan illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nas. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan qayd itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nas. Sehinggah secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan karena terkadang hukum itu tidak mempunyai illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah.
Demikian pandangan Hanafi. Sebagai konotasi logis dalam pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nas Alquran dan hadis mereka menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, tapi hanya menggunkan dila>lah yang berorientasi pada manthu>q atau yang berhubungan dengannya. Pandangan Hanafi tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nas Alquran dan hadis. Dan itu sikap yang baik. Akan tetapi mazhab Syafi’i, Maliki dan manyoritas ulama-ulama Hambali mempunyai pandangan lain, yaitu; bahwa suatu batasan (qayad) yang disebutkan dalam nas Alquran dan hadis, tentu mempunyai sebab.
Dalam mempergunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai salah satu metode penggalian hukum, mereka (mazhab Syafi’i, Maliki, dan mayoritas mazhab Hambali)berhujjah, bahwa mafh}u>m mukha>lafah adalah sesuai dengan logika yang benar karena sifat, syarat dan tujuan. Tidak mungkin disebutkan tampa tidak adanya sebab. Bila tidak demikian, niscaya menyebutkan sifat, syarat, dan tujuan tersebut akan sia-sia. Jika dalam menyebutkan sifat, syarat dan tujuan tersebut tidak dimaksudkan dengan dorongan (targhib), atau peringan (tarhib), atau agar dijauhi (tanfir), maka penyebutan hal tersebut hanyalah untuk membatasi suatu hukum dengan suatu qayyid. Dengan demikian, suatu nas} itu sekaligus dapat menujukkan pada hukum aktif dan fasif.
Adapun Abdul Wahab Khallaf membagi Mafh}u>m Mukhalafah kepada lima, yaitu:
a) Mafhu>m washaf, ialah menetapkan hukum dalam bunyi manthu>q suatu nas yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat itu telah hilang maka terjadilah kebalikan hukum tersebut. seperti firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
وَحَلاَ ئِلُ اَبْنَا ئِكُمْ الَّذِ يْنَ مِنْ اَصْلاَبِكمْ

Terjemahnya
Dan diharamkan bagimu isteri-isteri kandungmu dan menantumu.

Mafh}u>m Mukhalafah dari ayat ini adalah hal anak-anak yang bukan berasal dari sulbi sendiri, tetapi anak susuan.
b) Mafhu>m ghayah, bermakna batasan maksimal adalah petunjukan lafal yang memfaedakan sesuatu hukum sampai kepada batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang telah ditentukan maka berlaku hukum sebaliknya. Seperti firman Allah QS. al-Baqarah (2): 230.
                    •            

Terjemahnya

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini adalah bahwa larangan menikah dengan wanita yang telah ditalak tiga itu memiliki batas tertentu, yaitu sampai istri tersebut menikah dengan laki-laki lain. Jika istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, maka boleh dinikahi lagi oleh bekas suaminya.
Para ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menetapkan hukum syara’ berdasarkan mafh}u>m al-gha>yah ini. Sementara itu, mazhab Hanafi dan sebagian fuqaha> tidak mau menggunkan mafh}u>m al-gha>yah dan mafh}u>m yang lain untuk menetapkan hukum yang lain untuk menetapkan hukum syara’. Berkenaan dengan ayat menjelaskan tentang talak tiga mereka berpendapat, bahwa hukum asal, adalah memperbolehkan menikahi istri yang telah ditalak tiga, demi kemaslahatan istri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (diberi qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal. Mafh}u>m al-gha>yah ini diterapkan pula dalam undang-undang moderen dan peraturan pemerintah.
c) Mafh}u>m syarat, adalah petunjuk lafal yang memfaedakan adanya hukum yang menghubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafal itu. Contohnya firman Allah QS. ath-Thalaq/ 65: 6.
وَاِنْ كنَّ أُو لَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ
Terjemahnya

Dan jika istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini ialah jika istri-istri itu tidak hamil. Karena hukum yang disebut oleh lafal ayat di atas (dala>lah mantu>qnya) yakni wajib memberi nafkah istri yang ditalak dalam keadaan hamil sampai melahirkan kandungannya, sehinggah kehamilan bagi istri yang ditalak menjadi syarat adanya kewajiban bekas suami memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syaratnya tidak wajib bagi bekas suami memberikan nafkah kepada istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil.
d) Mafh}u>m adad, petunjuk lafal yang memberi faedah suatu hukum ketika dikaitkannya dengan suatu bilangan, kapada lawan hukum pada yang lain bilangan itu. Contoh firman Allah QS. an-Nu>r (24): 4.
فَا جْلِدُوْ هُمْ ثَماَنِيْنَ جَلْدَةً

Terjemahnya

Maka deralah mereka delapan puluh deraan.

Mafh}u>m mukhalafah ayat ini paling sedikit dera itu delapan puluh kali. Hukuman dera yang dikenakan pada orang yang berzina (gairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafal ayat di atas yaitu seratus kali. Maka dengan demikian mafhm>, adadnya tidak memadai mendera orang berzina (gairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali dan tidak boleh lebih dari itu.
Akan tetapi mazhab Hanafi tidak menetapkan hukuman tersebut berdasarkan mafh}u>m mukha>lafah, Hanafi didasarkan pada ketetapan jumlah bilangan hukuman tersebut. Misalnya kafarat zhihar adalah puasa enam puluh hari berturut-turut. Tapi jika tidak mampu, diganti dengan memberi makanan enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang, Jika kurang, maka berarti ia belum Membanyar kafarat, apabila lebih maka kelebihannya tidak dimasukkan dalam kategori kafarat, tapi merupakan shadaqah atau puasa sunnat yang diperbolehkan. Adapun penambahan dalam hukuman, berarti berbuat aniaya. Sedangkan menguragi, berarti meniadakan sebagian hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah swt., dan telah menjadi hak-Nya. Dengan demikian menambah hukuman berarti menyalahi hak manusia, sedang mengurangi hukuman berarti menyalahi hak Allah swt., yang kedua-duanya tidak dibolehkan.
e) Mafh}u>m lugab, ialah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nas. Seperti firman Allah QS. an-Nisa> / 4: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَا تُكُمْ

Terjemahnya

Diharamkan kepadamu mengawinkan ibu-ibumu.

Mafh}u>m mukhalafahnya ayat ini adalah selain dari ibu-ibu.
Sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lagab yang timbul dari sifat dapat diambil mafh}u>m mukha>lafahnya, karena hal tersebut tidak jauh dari mafh}u>m al-wasfi, sebagaimana yang dijelaskan. Akan tetapi jumhur fuqaha berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lugab tidak dapat diambil mafh}ulafahnya, karena tidak ada sesuatu yang menujukkan batasan (qayd).
III. PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Dalil-dalil hukum” dan kaitanya dengan manthu>q wa mafh}u>m. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri. Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
2. Manthu>q secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan” sedangkan dalam istilah ush}u>l fiqh berarti pengertian harfiah suatu lafal yang diucapkan. Menurut ulama us}hu>l fiqh manth}u>q terbagi atas dua yaitu manth}u>q sharih dan manth}u>q gairu sharih. Adapun manth}u>q gairu sharih terbagi lagi atas tiga bagian yaitu: 1). Dala>lah al-ima’; 2). Dala>lat al-isyarat; 3). Dala>lat al-Iqtida’
3. Mafh}u>m secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dalam suatu teks, dan menurut istilah pengertian tersirat dalam suatu lafal. Mafh}u>m ini mempunyai dua bagian yaitu mafh}u>m muwa>faqah dan mafh}u>m mukha>lafah. Kemudian mafh}u>m mukha>lafah ini terbagi lagi yaitu: 1) Mafhu>m washaf; 2). Mafh}u>m gayah; 3). Mafh}u>m syarah; 4). Mafh}u>m lugah; 5). Mah}u>m adad.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik et.al., Ensklopedi Tematis Dunia Islam. jil. 3. Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 2002.

Azis Dahlan, Abdul et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jil. 3. Cet. I; Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung: Diponegoro, 2006.

Effendi, Satria. Us}hul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005.

Ibnu Fa>ris, Ah}mad. Mu’jam Maqa>siy al-Lugah. Juz. V. Cet. II; Baerut: Dar Fikr, 1972M/1392H.

Jumantoro,Totok. dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. I; t.t.; Amzah, 2005.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. XII; t.t, Lit}ba> ‘at wa Nasyar wa Tawzy, 1978 M/1398 H.

Syarifuddin, Amin. Us}hu>l Fiqh, Jilid II. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mugniyah, Muhammad Jawa>r. Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d . Cet. I; Baerut: Da>r Ilmi lil Mukayyin, 1975.

al-Manz}u>r, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab. jil. X, Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.
Romli. Muqa>ranah Maza>hib fil Us}hu>l. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Zahrah, Abu. Us}hu>l al-Fiqh, terj. Saefullah Mas’hum, et. al., Us}hu>l Fiqh. Cet. V; t.t.: Pustaka Firdaus, 1999.

al-Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Waji>z fi> Us}hu>l al-Fiqh. Cet. II; Baerut-Libanon: Dar Fikr, 1995.