Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 27 Oktober 2010

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS (Bentuk-bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi, Periwayatan Lafal dan Makna, Tahammul wa Ada’ al-Hadis)*

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS
(Bentuk-bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi, Periwayatan Lafal dan Makna, Tahammul wa Ada’ al-Hadis)*

Oleh: Hj.Fitriyani, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alqur’an merupakan sumber ajaran Islam yang berasal dari Allah swt, sedangkan hadis adalah merupakan sumber kedua sekaligus sebagai penjelas (Bayan) dari Alqur’an yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik melalui Perkataan (Qauliyah) ialah yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (syari’at), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya, Perbuatan ( Fi’liyah ) yang merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaanya , dan Taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang dilakukan atau apa yang diperkatakan sahabat di hadapan beliau.
Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenarannya sedangkan hadis Nabi belum dapat di pastikan periwayatannya apakah berasal dari Nabi atau tidak Apakah periwayatnya dapat dipercaya atau tidak.
Adapun dalam kondisi faktualnya terkadang manusia terbentur dengan adanya hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria tertentu atau yang lebih dikenal dengan hadis lemah atau tertolak baik dari segi sanad maupun matannya padahal kedua aspek tersebut sangat menentukan apakah hadis itu dapat diterima atau tidak. Sehingga dalam meriwayatkan hadis ada yang dikenal dengan Ilmu Hadis Riwayah ialah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar maupun lain sebagainya. Dan ada juga yang dikenal dengan Ilmu Hadis Dirayah yang merupakan Undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal, sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al-Hadis, sifat-sifat rawi dan sebagainya.
Dari uraian di atas maka perlu diketahui Tekhnik Periwayatan Hadis dari Nabi terhadab sahabat dan cara sahabat meriwayatkan hadis, sehingga dapat membedakan hadis yang shahih dan daif.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran di atas maka di rumuskan masalah pokok: “Bagaimana Teknik Periwayatan Hadis” yang meliputi tiga aspek yaitu:
1. Bagaimana bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi ?
2. Bagaimana periwayatan dengan lafal dan makna ? dan
3. Bagaimana Tahammul wa Ada’ al-Hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN

TEKNIK PERIWAYATAN HADIS


A. Bentuk-Bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi
Dalam kamus besar Indonesia Periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, telah berhasil membimbing ummat kepada ajaran Agama yang dibawanya. Walaupun dia sukses dalam membimbing ummatnya, tapi kehidupan sehari-harinya tetap sederhana, tidak jarang ia terlihat menjahit sendiri pakaiannya yang robet. Dalam pada itu dia juga sebagai kepala rumah tangga yang hidup dalam lingkungan masyarakat.
Apabila kedudukan Nabi dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya, maka dapat dikatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi sendiri dengan berbagai cara. Berikut contoh Nabi menyampaikan hadisnya:
قالت النساء للنبي ص م غَلَبَنَا عَلَيْكَ الِرّجَالُ فَاِجْعَلْ لَنَا يَْوَما مِنْ نَفْسِكَ فَوَ عَدَ هُنَّ يَوْمَا لَقِيَهَنَّ فِيْهِ فَوَ عَظَهُنَّ وَأَمَرَ هُنَّ فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ أَمْرَ أَةٌ تُقَدِّمُ ثَلااثَةً مِنْ وَلِدِ هَا إِلاكَانَ لَهَاحِجَابًامِنْالنَارِفَقَالتَْ اَمْرَأَةٌ وَاَثْنَتَيْنِ-فَقَالَ: وَاَثْنَتَيْنِ
Artinya

Kaum wanita berkata kepada Nabi: “kaum peria telah mengalahkan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu mohon anda menyiapkan waktu satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi menjanjikan untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu (dalam pengajian itu) Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka untuk berbuat kebajikan. Nabi bersabda kepada kaum wanita tidaklah seorang dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya menjadi dinding baginya dari ancaman apai neraka. (Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari).

Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki dan
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadia dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Riwanyat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.
Yang penting dari hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.

B. Periwayatan dengan Lafal dan Makna
Sebagimana telah disinggung pada pembahasan diatas bahwa adakala Para Sahabat meriwayatkan hadis dengan lafal aslinya dan adakala dengan maknanya saja, dan disini penulis akan lebih memperjelas cara-cara beriwayatan hadis dengan lafal dan makna sebagai berikut:
1. Periwayatan dengan lafal
Lafal periwayatan hadis bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya, lafal-lafal itu tersusun sebagai berikut:
سَمِعْتُ : Saya telah mendengar
سَمِعْنَا : Kami telah mendengar.
Lafal ini menjadikan nilai hadis yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawi-rawinya mendengarkan sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberinya atau yang dibelakang tabir.
Seperti lafal:
حَدَّثَنِى : Seorang telah bercerita kepadaku
حَدَثَنَا : Seorang telah bercerita kepada kami
Lafal-lafal tahdits ini; oleh jumhur kadang-kadang di rumuskan dengan:

ثَنِى، نِى، دَثَنى، ثَنَا، نَا، دَثَنَنا
اَخْبَرَنِى : Seorang telah mengabarkan kepadaku
اَخْبَرَنَا : Seorang telah mengabarkan kepada kami

Lafal ihbar ini oleh muhadditsin di rumuskan dengan:

اَنَا، اَرَناَ، اَبَانَا، اَخَانَا
lafal haddatsana itu untuk rawi yang mendengar langsung .
Disamping lafal-lafal di atas ada kadang-kadang kita jumpai rumusan-rumusan sebagai berikut:
قَثَنَا : berarti خَدَّ ثَنَا
قَثَنِى : berarti خَدَّ ثَنِىْ قَالَ
ح : menurut muhadditsin, juga Imam Nawawy, bahwa rumus itu untuk satu hadis yang mempunyai dua sanad atau lebih. Jika penulis hadis telah menulis sanad pertama di tulislah rumus itu, apabila ia hendak beralih menulis sanad yang lain. Rumus “h” adalah singkatan dari tahawwul (beralih).
Demikianlah tadi periwayatan hadis dengan lafal. Dan adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Hasbi Ash Shiddieqy yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, sebagai berikut:
2. Periwayatan Hadis dengan Makna
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul sebagaimana yang akan dibahas pada sub bahasan berikutnya ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinkilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafas yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu.
Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya.
Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.

“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.

Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.
Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.

C. Tahammul wa Adâ’ al-Hadis
Tahammul merupakan suatu cara pencarian hadis sedangkan Ada” adalah penyampaian (periwayatan). Para ulama dan peneliti lebih-lebih para pembaca umumnya masih banyak yang beraaggapan bahwa Hadis Nabi saw tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti pendapat yang termasyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin Hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Adalah suatu kekeliruan yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah al-Zuhri.
Dari data-data termaktub bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad saw masih hidup, dalam hal itu berlangsung sampai kurung waktu sesudahnya.
Adapun syarat-syarat Tahammul 1). mendengarkan hadis 2). boleh laki-laki atau perempuan Islam, baliq, adil, dhabit 3) ketika mendengar ia dalam kedaan sehat, memahami dan bagus hapalannya baik dalam hati maupun tertulis 4). bolah bagi anak-anak yang sudah berusia lima tahun asalkan sudah bisa membedakan antara kuda dan sapi. sedangkan syarat-syarat Ada’ 1). sebelum baliq tidak boleh meriwayatkan hadis 2). anak kecil belum bisa menyampaikan hadis karna siapa tau bohong 3). orang yang selalu bertaqwa 4). periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat itu bisa diterima sebab sewaktu gila ia hilang kesadarannya ada ke-dhabith-an.
Adapun jenis-jenis Tahammul (mendapatkan hadis) yang dilakukan oleh ulama dalam meneliti rawi baik yang berkaitan dengan keadaan khusus dan keadaan yang bersifat umum, segi daya hapal, dan segi kecermatannya, yakni dengan meneliti bagaimana si perawi itu memperoleh hadis dari gurunya. Dan kemudian dibahas bagaimana cara mereka menerima dan menyampaikan kepada rawi lain, yang dalam masalah ini kita kelompokkan sebagai berikut:
1. Sima’. yakni seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hapalan atau tulisannya kepada muridanya. Dan murid-muridnya mendenngar, menghapal, dan menulisnya. walaupun mendengar dibalik hijab, asal berkeyakinan bahwa yang suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain. Dan ini merupakan cara sima’ yang paling tinggi seperti:
حَدَّ ثَنا، اَخْبَرَنَا، خَبَّرَنَا، اَنْبَأَنَا، عَنْ، قَالَ، حًكَى، إِنَّ َفُُلاَنًاقَالَ
2. Seorang murid membacakan hapalan atau tulisannya di hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. seperti
قَرَأْتُ عَلَيْهِ “Saya telah membacakan di hadapannya”
قُرِئَ عَلى فُلاَنِ وَاَناَ اَسْمَعُ “ Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarnya”

3. Seorang murid mendengar dari murid yang lainnya yang sedang membaca dihadapan guru mereka.
4. Munawalah (menyerahkan) dengan disertai ijazah, yakni seorang guru memberikan catatan asli atau salinannya kepada muridnya seraya menyebutkan bahwa salinan tersebut merupakan hasil catatanya, dan mengatakan, “Saya ijazahkan kepadamu dan kalian boleh meriwayatkannya.” seperti diberi ijazah:
هَذَا سَما عىِ اَوْ رِوَايتِيْ عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِهِ
“Ini adalah hasil pendengaranku dan periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah”

5. Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya. Dalam hal ijazah ini, banyak macam ragamnya, yaitu mengijazahi tulisan dengan disertai izin.
اَجَزَتُ لَكَ رِوَايَةَ اْلِكتَابِ اْلفُلاَنِى عَنِّى
“ Aku Ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya”

6. Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar,” tampa mengatakan kepada muridnya, “Riwayatkan hadis ini dari saya! Atau saya ijazahnya periwayatan hadis kepadamu.” Dan pendapat yang sahih menurut ulama bahwa periwayatan yang semata-mata munawalah (penyerahan) saja itu tidak dapat diterima.
7. I’lam yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterimah dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Lafaznya:
اَعْلَمَنِى فُلاَنُ قَالَ حََدَّثَناََ: “ seorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah berkata kepadaku"

8. Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya. Dan ulama menolak hadis penyampaian dengan cara wasiat ini.
9. Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijazikan kepadaku,” Di dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal dari Periwayatan anaknya, banyak hal seperti ini. Imam An-Nawawi berkata, Mengamalkan dengan cara wijadah menurut sebagian ulama tidak boleh. Dan menurut ulama lainnya tergantung kepada penemunya. Jika si penemu itu tsiqah (terpercaya dikenal ‘adil maka wajib diamalkan secara mutlak. Dan jika tidak, maka tidak boleh diamalkan. Kemudian sebagian ulama itu berkata, “Ini adalah pendapat yang benar yang ditujukan pada waktu itu bukan pada waktu-waktu lainnya.”
Demikianlah tingkatan-tingkatan Tahammul yang dilakukan oleh para ulama dalam meneliti kehidupan rawi baik yang berkaitan dengan keadaan umum maupun khusus. Jika kita amati bahwa adakalanya tinkatan ini di bolehkan menggunakan dalam meriwayatkan hadis seperti tingkatan sima’ yang merupakan cara yang paling tinggi, dan adakahnya tidak dibolehkan seperti wasiat jika seorang guru berpesan kepada seorang muridnya menjelang dia meninggal ulama menolak penyampaian hadis dengan cara wasiat.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Teknik Periwayatan Hadis” dan kaitanya dengan Bentuk-bentuk Periwayatan hadis dari Nabi, Priwayatan dengan lafal dan makna, dan Tahammul wa Ada’Hadis. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Periwayatan Hadis dari Nabi dan Para Sahabat, sebagaima kita ketahui bahwa Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terkadang menurut suatu riwayat bahwa beliau terkadang menyampaikan hadis dengan cara pengajian secara rutin dihadapan orang banyak dan secara lisan. Sedangkan para sahabat dalam menyampaikan riwayat hadis adakala dengan lafal asli dan adakalanya dengan maknanya saja.
Kedua, Menurut para ulama periwayatan hadis dengan lafal lebih kuat kebenaranya dari pada dengan makna.
Ketiga, Adapun tingkatan-tingkatan Tahammul ialah dengan Sima’, Munawalah (menyerahkan), Ijazah tampa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadis dari gurunya, Munawwalah tampa ijazah yakni seorang guru menyerahkan kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar”, I’lam yakni seorang guru berkata kepada muridnya, “Kitab ini yang saya dengar, “tampa memberi izin meriwayatkan, Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan sebuah kitab kepada salah seorang muridnya, Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata, “Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tampa mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijazikan kepadaku.
Demikian pembahasan ini semoga dapat memberikan gambaran secara global tantang Teknik Periwayatan Hadis dan Saya hanya bisa berharap muda-mudahan saya telah di beri taufiq oleh Allah SWT dalam penulisan makalah ini dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang saya miliki.
“Tidak ada taufiq bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.”
الله علم بالصواب





DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an Alqarim
Ash Shiddieqy Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: Penyebaran Buku-buku, 1995.

_______,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid. II. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1958.

________,Ilmu Dirayah Hadis, Jilid. II, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Athhãn Mahmud, Taisyir Musthalahul Hadis, tt: Dar-Fikr, t.th.

Azami Muhammad Mustafa, Dirasat fi al-Hadists al-Nabawi, diterjemahkan oleh H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya Cet. I; Jakarta:PT Pustaka Firdaus, 1994.

Bukhari Imam , Shahih Bukhãri, dalam Kitab Al-Ilmu, Bab. Hal Yaj’ala linnisãi Yaum alã Haddat fî ilmi, Nomor Hadis 99, Cet. I; Bairut Libanon: Dar Kutub Ilmiah, 1994.

Chumaidy A Zarkasyi, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet. II; Jakarta: Bali Pustaka, 1990.

Nuruddin ‘ltr, Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulum Al-Hadis, diterjemahkan oleh Drs. H. Endang Soetari Ad, Ulum Al-Hadits 1 Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Muhammad Šakir Ahmad , Ihtišar Ulum Al-Hadis Berut: Dâr Kutub Ilmiah, t.th.

Rahman Fathul, Ikhtisar Mustahalul Hadits Cet. I; Bandung: PT. Alma’arif, 1974.

Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis Cet. II; Bandung: Amal Bakti Perss, 1997.

Watt W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statemen, diterjemahkan oleh Syuhudi Ismail: Kaedah-kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Pendekatan dengan Ilmu Sejarah, Cet. II; Jakarta: Bulang Bintang, 1995.

Manthu>q Wa Mafh}u>m (Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)

Manthu>q Wa Mafh}u>m
(Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)
Oleh:
Abu Muslim
Fitriyani
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar

Belakang Masalah

Nash Alquran dan sunah itu dengan bahasa Arab. Dengan bahasa Arab inilah orang memahami hukum. Dengan bahasa Arab inilah terdapat pemahaman yang benar. Yaitu apabila diresapkan cara-cara dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam bahasa Arab. Serta jalan-jalan yang menujukkan, yaitu apa yang diajukan oleh lafaz-lafaz, baik yang mufrad maupun yang murakab (kata-kata yang berdiri sendiri maupun kata-kata yang tersusun). Dalam hal ini us}hu>l mengatakan, metode-metode bahasa Arab yang sudah diterapkan, ibarat-ibaratnya, mufrad-mufradnya itu, di sini orang minta bantuan kepada ketetapan ini. Dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh ahli-ahli bahasa dan baris-barisnya.
Di samping dengan hal-hal yang berlaku untuk memahami hukum-kukum dari nash-nash syari’at. Disesuaikan apa yang dipahamkan itu, di antaranya nas-nas yang terdapat dalam bahasa Arab itu sendiri. Juga dihubungkan dengan penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang tidak berdasarkan nas}-nas dan membuang yang bertentangan menurut zahirnya, serta mentakwilkan apa-apa yang ditunjukan oleh dalil terhadap yang ditakwilkan itu. Selain ini, juga apa-apa yang bersangkutan dengan penggunaan nas}-nas} hukum.
Adapun dalam melakukan ist}inba>t hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat, yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi memperhatikan juga yang tersirat seperti isyarat yang terkandung di balik lafal nash serta begitu pula dengan dala>lahnya.
Berkenaan dengan cara penujukan dala>lah lafal nash, ternyata dikalangan ulam us}hu>l terdapat perbedaan cara/metode yang mereke tempuh, paling tidak terdapat dua kelompok mazhab yang berbeda, yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Mutakallimin yang diwakili oleh Mazhab Syafi’i.
Untuk lebih jelasnya tentang lafaz dalil-dalil hukum, metode jumhur ulama yang berkaitan dengan manthu>q wa mafh}u>m akan dibahas pada makalah ini pada bab berikut.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana memaknai dila>lah?
2. Bagaimana metode jumhur berhujjah dengan dila>lah Mantu>q wa Mafh}um?

II. PEMBAHASAN

A. Pembahasan Umum tentang Dila>lah
Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebutkan dua kalinya disebut “dalil” / دليل (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Dalam kalimat “asap menujukkan adanya api”, kata “api” disebut madlu>l sedangkan “asap” yang menujukkan adanya api disebut dalil.
Pembahasan tentang “dila>lah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan us}hu>l fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dila>lah.
Di dalam Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh juga dijelaskan bahwa:
اَاْلدَلاَلةُ ماَ يَقْتَضِيْهِ الْلَفْظُ عِنْدَاْ لإِطْلاَقِِ
Dala>lah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara manthu>q.
Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
1. Dila>lah lafzhiyah/ الدلالة اللفظيه(penunjukan bentuk lafaz) yaitu dila>lah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menujukan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit, meskipun tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dila>lah seperti disebit “thabi ‘yyah (طبيعيه) ; secara lengkap biasa disebut dila>lah lafzhiyyah thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه)
b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan sacara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عقليه) secara lengkap biasa disebut “dila>lah lafzhiyah ‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية)
c. Melalui “istilah” yang dipahami dan dipahami bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadhi’yah (وضعية); secara lengkap biasa disebut dila>lah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية الو ضعية)
Dari berbagai ketiga bentuk dila>lah diatas, dila>lah bentuk © (melalui istilah) yang paling dominan dibicarakan dalam us}hu>l fiqh, Karena itu akan dibahas secara lebih rinci.
1) Mut}a>biqiyyah (مطا بقية), yaitu bila istilah digunakan sebagai dila>lah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut. Contoh istilah “binatang yang mengeong” untuk “kucing” merupakan istilah yang lengkap dan memenuhi syarat ajmi’-mani (pargenus et differentium) dalam suatu istilah.
2) Tad}ammuniyah (تضمنيه), yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dila>lah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menujukkan maksud yang dituju. Umpamanya kata yang mengeong” yang hanya berbentuk unsur “fasal” dalam istilah, tetapi semua orang sudah tau maksudnya bahwa itu “kucing”.
3) Iltiza>miyyah ((لتزاميه, yaitu bila dila>lahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut, melalui penyebutan sifat yang lazim itu orang mengatahui bahwa apa yang dimaksud. Umpamanya menggunakan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4. ‘Bilangan genap” bukanlah arti sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu sebenarnya 2+2 atau 6-2 atau yang lainnya. Penggunaan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan merupakan arti sebenarnya.
2. Dila>lah Ghairul Lafzhiyyah (دلاله غير لفظيه)atau dila>lah bukan lafaz, yaitu dali>l yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang yang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tampa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dalam sendirinya dari rasa takut. Penujukan seperti ini disebut “thabi ‘yah”. secara lengkapnya:
b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Umpamanya asap yang mengempul dari sesuatu menujukkan asap api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan asap dimana ada asap pasti disitu ada api penujukkan dalam bentuk ini disebut (دلالة غير لفظيه عقلية)
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan nama seseorang menujukkan bahwa itu sudah melakukan ibadah haji. Hal itu dapat diketahui karena sudah menjadi kebisaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada yang mengatakan bahwa ia sudah haji, namun dari adanya huruf H di depan namanya, maka semua orang tahu bahwa ia sudah haji.
Kedua bentuk dila>lah di atas (dila>lah lafziyah dan dila>lah gairu lafzhiyah), selain dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu Us}hu>l fiqh, meskipun diantara meraka ada perbedaan dalam menggunakan peristilahannya.
Bentuk dila>lah yang luas penggunaanya adalah dila>lah lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dila>lah dengan “diam” dalam dila>lah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penujukannya terhadap hukum, tetapi mengandung banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama us}hu>l fiqh. Sebagaimana yang akan diabahas berikut ini tentang metode jumhur dalam penggunaan dila>lah lafzhiyah dan gairu lafzhiyah
B. Manth}u>q wa Mafhu>m
Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Muhammad Jawa>r Mugniyah yang berjudul Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d membangi dala>lah menjadi dua bagian yaitu mantu>q wa mafh}u>m. Begitu pula pandangan Ulama Syafi’i membagi dila>lah menjadi dua mant}u>q wa maf}hu>f.
1. Mant}u>q
Secara bahasa المنطوق isim maf’ul dari kata نَطَقَ fa>il dari kata الَنَا طِقُ fi>il mud}a>riy dari kata يَنْطِقُmas}dar dari kata نُطقًا yang berarti تكلم (sesuatu yang diucapkan). Sedangkan menurut istilah us}hu>l fiqh mant}u>q berarti pengertian harfiyah dari suatu lafaz yang diucapkan. Adapun dila>lah mant}u>q dalam pandangan ulama Syafi’ah yang dikutip dalam bukunya Amir Syarifuddin adalah:
دَلاَلَةُ الّلفْظِ فِىْ مَحَلِّ اْ لنُّطْقِ عَلَى حُكْمِ اْ لمَذْ كُوْرِ
Penujukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu.

Menurut ulama us}hu>l fiqh, mant}u>q dibagi kepada mant}u>q sharih dan mant}u>q gairu sharih. Mant}u>q sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti dikemukan oleh Mustafa Sa’id al-Khin, ialah:
ما و ضع اللفظ له، فيدل با لمطا بقة أو با لتضمين
Makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafaz sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh baik berupa bagiannya.

Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa>(4):3:

                              

Terjemahnya

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat tersebut, mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat-syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja manth}u>q sharih dikenal dengan ‘Ibarat al-Nas dikalangan ulama syafi’yah. Berdasarkan penegrtian dan pembagian dila>lah manth}u>q menurut syafi’i maka mant}hu>q sarih dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1) Mut}a>baqah, yaitu mant}hu>q yang secara jelas menujuk kepada makna yang dikehendakinya secara keseluruhan (sempurna). Misalnya. Lafal al-insa>n yang bermakna al-H}ayawa>n an-na>tiq (hewan yang berpikir). Atau lafal shalat yang menujukkan kepada ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
2) Tadammuniyah, yaitu hal yang secara jelas menujuk pada sebagian makna yang dikehendakinya. Misalnya lafaz al-bai’ yang dipahami oleh orang yang mendengarnya sebagai barang yang diperjualbelikan saja atau harganya saja.
Adapun yang dimaksud dengan mant}hu>q gairu sarih sebagaimana yang telah dijelaskan di atas ialah lafaz yang secara tidak jelas makna yang dikehendakinya. Mant}u>q ini terbagi atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Dala>lah al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditujukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Misalnya firman Allah QS. An-Nu>r (24):2.
• •  •                         
Terjemahnya
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat ini menujukkan bahwa perzinaan menjadi sifat illat hukum dera. Seandainya perzinaan itu bukan menjadi illat bagi hukum dera, tentu tidak perlu menyebutkannya beserta dengan hukumannya. Karena, perzinaan itu diketahui sebagai illat hukum melalu syarat (ima>), maka disebut dila>lah ima>. Ini adalah bagian dari ‘ibarah al-nash di kalangan Hanafiyah.
b. Dala>lah isyarah, suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pegertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mant}u>q, maka hukum yang ditarik melalui dala>lah al-Isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh manthu>q secara tegas. Contohnya firman Allah QS. al-Ahqa>f (46):15.
   •           •  •                                 

Terjemahnya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Dan firman Allah QS. al-Luqman (31):14
     •            
Terjemahnya

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Mant}hu>q ayat pertama menjelaskan jumlah masa kandung dan masa menyusukan selama tiga puluh bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan dua puluh empat bulan (2 tahun). Hal itu menujukkan (dala>lah isyarah bahwa sisanya, yaitu 6 (enam) bulan adalah masa minimal dalam kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya ayat, tetapi merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari dua ayat tersebut. Dila>lah isyarah atau isyarah an-nas dikalangan hanafiyah.
c. Dala>lah iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemehaman) pada redaksi tertetu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adannya penyisipan itu. Abu Zahrah secara sederhana mendefenisikan sebagai berikut sebagaimana yang dikutib dalam kamus us}hu>l fiqh:
دَلاَلَةُ اللَّفظُ عَلىَ كُلِّ اَمْرٍ لاَ يَسْتٌَِيْمُ المَعْنَى اِلاَ بِتَقْدَيْرِهِ
Penujukan lafal kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tampa memunculkannya.

Contohnya firman Allah QS. Yu>suf (12): 82.
   •         
Terjemahnya
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".

Menurut zahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaiman mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan mahkuk hidup. Karenanya dirasakan mamunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.

2. Mafh}u>m
Secara bahasa kata مَفْهُوْمْ berasal dari kata فَهِمَ isim masdar dari kata اَلْفَهْمُ yang berarti “tersirat” atau sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafh}u>m muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari penegertian lafal yang dicapkan (mafh}u>m mukhalafah).” Mafh}u>m menurut mayoritas ulama us}hu>l fiqh, seperti yang tergambar dalam defenisi di atas dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafh}u>m muwafaqah, dan mafh}u>m mukhalafah.
1) Mafh}u>m Muwa>faqah, adalah mafh}u>m yang lafalnya menujukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan lafal.
ماَكَاَنَ اْلمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَا فَقًا لِلْمَنْطُوْقِِ
Petunjuk lafal kepada bersamaan hukum yang tidak disebut dan yang disebut.
Dala>lah mafh}um muwa>faqah adalah pengertian yang menujkkan lafal kepada berlakuknya suatu arti hukum disebutkan oleh lafal dalam suatu peristiwa yangtidak disebutkan hukumnya oleh lafal yang disebutkan karena keduanya terdapat persamaan ‘illat. Illat hukumnya semata-mata dipahami dari segi bahasa dari lafal tersebut dan bukan diambil dengan jalan ijtihad.
Sedangkan dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan mafh}u>m muwafaqah terbagi dua, yaitu:
a. Maf}hu>m au>lawi> ( مفهوم الاولوي) atau disebut juga فحوى الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada mantu>qnya. Umpamanya firman Allah QS. al-isra> (17): 23
        •  •                 


Terjemahnya

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

Maksudnya memukul orang tua adalah haram sebagaimana hukumnya mengucapkan kata “ah”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar ‘ah”.
b. Mafh}u>m musawi> (مفهم المسوي) atau disebut juga لحن الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan pada manthu>q. Contohnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 10.
•              
Terjemahnya

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Mantu>q dari ayat tersebut menujukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafh}u>m muwafaqah-nya tampa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan sebagainya, adalah haram hukumnya.
Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafh}u>m muwa>faqah. Hanya kalangan Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafh}u>m sebagaimana juga menolak menggunakan qiya>s, karena menurut mereka mafh}u>m muwa>faqah dalam hal ini sama dengan qiya>s.
2) Mafh}u>m Mukhalafah, menurut jumhur ulama us}hu>l fiqh, adalah penujukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafh}u>m Mukhalafah didapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu, sehinggah hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama us}hum Mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum.
Menurut pandangan mazhab Hanafi, mafh}u>m mukha>lafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori methodologi penafsiran nas-nas Alquran dan hadis. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka tidak menggunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Nas-nas syara’ telah menujukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunkannya mafh}u>m mukha>lafah. Contoh dalam QS. al-Taubah (9): 36.
•                                    •    



Terjemahnya

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Jika menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, maka dapat dipahami bahwa perbuatan zalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain pada empat bulan tersebut perbuatan zalim tidak diharamkan. Padahal perbuatan zalim itu diharamkan sepanjang masa (selama-lamanya).
b. Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nas Alquran dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan. Misalnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
           
Terjemahnya

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa apabila sifat (qayd) tersebut idak ada, maka menurut mafh}u>m mukha>lafah, suami tersebut halal menikahi anak tirinya. Akan tetapi ternyata Alquran tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, bahkan untuk menjelaskan halalnya seorang suami menikah dengan anak tirinya, disebutkan dengan jelas dalam Alquran sebagai kelanjutan ayat di atas yang bersembunyi sebagai berikut:
فَاِنْ لَمْ تَكُوْ نُوْا دَحَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَا حَ عَلَيْكُمْ
Terjemahnya
Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya”

Sedangkan sifat pertama dalam ayat di atas tidak mungkin didekati dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, yakni bila anak tiri tersebut tidak ada dalam pemeliharaan suami. Hal ini adalah bertentangan dengan ijma’ ulama (selain ibn Hazm dan mazhab Zhahiriyah) yang menyatakan bahwa sifat yang pertama di atas bukanlah untuk membatasi hukum (qayd), tetapi semata-mata bertujuan seorang suami tidak menikahi anak tirinya yang pada umumnya ia pelihara.
c. Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya mempunyai sebab illat dan illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nas. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan qayd itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nas. Sehinggah secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan karena terkadang hukum itu tidak mempunyai illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah.
Demikian pandangan Hanafi. Sebagai konotasi logis dalam pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nas Alquran dan hadis mereka menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, tapi hanya menggunkan dila>lah yang berorientasi pada manthu>q atau yang berhubungan dengannya. Pandangan Hanafi tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nas Alquran dan hadis. Dan itu sikap yang baik. Akan tetapi mazhab Syafi’i, Maliki dan manyoritas ulama-ulama Hambali mempunyai pandangan lain, yaitu; bahwa suatu batasan (qayad) yang disebutkan dalam nas Alquran dan hadis, tentu mempunyai sebab.
Dalam mempergunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai salah satu metode penggalian hukum, mereka (mazhab Syafi’i, Maliki, dan mayoritas mazhab Hambali)berhujjah, bahwa mafh}u>m mukha>lafah adalah sesuai dengan logika yang benar karena sifat, syarat dan tujuan. Tidak mungkin disebutkan tampa tidak adanya sebab. Bila tidak demikian, niscaya menyebutkan sifat, syarat, dan tujuan tersebut akan sia-sia. Jika dalam menyebutkan sifat, syarat dan tujuan tersebut tidak dimaksudkan dengan dorongan (targhib), atau peringan (tarhib), atau agar dijauhi (tanfir), maka penyebutan hal tersebut hanyalah untuk membatasi suatu hukum dengan suatu qayyid. Dengan demikian, suatu nas} itu sekaligus dapat menujukkan pada hukum aktif dan fasif.
Adapun Abdul Wahab Khallaf membagi Mafh}u>m Mukhalafah kepada lima, yaitu:
a) Mafhu>m washaf, ialah menetapkan hukum dalam bunyi manthu>q suatu nas yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat itu telah hilang maka terjadilah kebalikan hukum tersebut. seperti firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
وَحَلاَ ئِلُ اَبْنَا ئِكُمْ الَّذِ يْنَ مِنْ اَصْلاَبِكمْ

Terjemahnya
Dan diharamkan bagimu isteri-isteri kandungmu dan menantumu.

Mafh}u>m Mukhalafah dari ayat ini adalah hal anak-anak yang bukan berasal dari sulbi sendiri, tetapi anak susuan.
b) Mafhu>m ghayah, bermakna batasan maksimal adalah petunjukan lafal yang memfaedakan sesuatu hukum sampai kepada batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang telah ditentukan maka berlaku hukum sebaliknya. Seperti firman Allah QS. al-Baqarah (2): 230.
                    •            

Terjemahnya

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini adalah bahwa larangan menikah dengan wanita yang telah ditalak tiga itu memiliki batas tertentu, yaitu sampai istri tersebut menikah dengan laki-laki lain. Jika istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, maka boleh dinikahi lagi oleh bekas suaminya.
Para ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menetapkan hukum syara’ berdasarkan mafh}u>m al-gha>yah ini. Sementara itu, mazhab Hanafi dan sebagian fuqaha> tidak mau menggunkan mafh}u>m al-gha>yah dan mafh}u>m yang lain untuk menetapkan hukum yang lain untuk menetapkan hukum syara’. Berkenaan dengan ayat menjelaskan tentang talak tiga mereka berpendapat, bahwa hukum asal, adalah memperbolehkan menikahi istri yang telah ditalak tiga, demi kemaslahatan istri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (diberi qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal. Mafh}u>m al-gha>yah ini diterapkan pula dalam undang-undang moderen dan peraturan pemerintah.
c) Mafh}u>m syarat, adalah petunjuk lafal yang memfaedakan adanya hukum yang menghubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafal itu. Contohnya firman Allah QS. ath-Thalaq/ 65: 6.
وَاِنْ كنَّ أُو لَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ
Terjemahnya

Dan jika istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini ialah jika istri-istri itu tidak hamil. Karena hukum yang disebut oleh lafal ayat di atas (dala>lah mantu>qnya) yakni wajib memberi nafkah istri yang ditalak dalam keadaan hamil sampai melahirkan kandungannya, sehinggah kehamilan bagi istri yang ditalak menjadi syarat adanya kewajiban bekas suami memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syaratnya tidak wajib bagi bekas suami memberikan nafkah kepada istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil.
d) Mafh}u>m adad, petunjuk lafal yang memberi faedah suatu hukum ketika dikaitkannya dengan suatu bilangan, kapada lawan hukum pada yang lain bilangan itu. Contoh firman Allah QS. an-Nu>r (24): 4.
فَا جْلِدُوْ هُمْ ثَماَنِيْنَ جَلْدَةً

Terjemahnya

Maka deralah mereka delapan puluh deraan.

Mafh}u>m mukhalafah ayat ini paling sedikit dera itu delapan puluh kali. Hukuman dera yang dikenakan pada orang yang berzina (gairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafal ayat di atas yaitu seratus kali. Maka dengan demikian mafhm>, adadnya tidak memadai mendera orang berzina (gairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali dan tidak boleh lebih dari itu.
Akan tetapi mazhab Hanafi tidak menetapkan hukuman tersebut berdasarkan mafh}u>m mukha>lafah, Hanafi didasarkan pada ketetapan jumlah bilangan hukuman tersebut. Misalnya kafarat zhihar adalah puasa enam puluh hari berturut-turut. Tapi jika tidak mampu, diganti dengan memberi makanan enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang, Jika kurang, maka berarti ia belum Membanyar kafarat, apabila lebih maka kelebihannya tidak dimasukkan dalam kategori kafarat, tapi merupakan shadaqah atau puasa sunnat yang diperbolehkan. Adapun penambahan dalam hukuman, berarti berbuat aniaya. Sedangkan menguragi, berarti meniadakan sebagian hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah swt., dan telah menjadi hak-Nya. Dengan demikian menambah hukuman berarti menyalahi hak manusia, sedang mengurangi hukuman berarti menyalahi hak Allah swt., yang kedua-duanya tidak dibolehkan.
e) Mafh}u>m lugab, ialah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nas. Seperti firman Allah QS. an-Nisa> / 4: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَا تُكُمْ

Terjemahnya

Diharamkan kepadamu mengawinkan ibu-ibumu.

Mafh}u>m mukhalafahnya ayat ini adalah selain dari ibu-ibu.
Sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lagab yang timbul dari sifat dapat diambil mafh}u>m mukha>lafahnya, karena hal tersebut tidak jauh dari mafh}u>m al-wasfi, sebagaimana yang dijelaskan. Akan tetapi jumhur fuqaha berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lugab tidak dapat diambil mafh}ulafahnya, karena tidak ada sesuatu yang menujukkan batasan (qayd).
III. PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Dalil-dalil hukum” dan kaitanya dengan manthu>q wa mafh}u>m. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri. Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
2. Manthu>q secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan” sedangkan dalam istilah ush}u>l fiqh berarti pengertian harfiah suatu lafal yang diucapkan. Menurut ulama us}hu>l fiqh manth}u>q terbagi atas dua yaitu manth}u>q sharih dan manth}u>q gairu sharih. Adapun manth}u>q gairu sharih terbagi lagi atas tiga bagian yaitu: 1). Dala>lah al-ima’; 2). Dala>lat al-isyarat; 3). Dala>lat al-Iqtida’
3. Mafh}u>m secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dalam suatu teks, dan menurut istilah pengertian tersirat dalam suatu lafal. Mafh}u>m ini mempunyai dua bagian yaitu mafh}u>m muwa>faqah dan mafh}u>m mukha>lafah. Kemudian mafh}u>m mukha>lafah ini terbagi lagi yaitu: 1) Mafhu>m washaf; 2). Mafh}u>m gayah; 3). Mafh}u>m syarah; 4). Mafh}u>m lugah; 5). Mah}u>m adad.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik et.al., Ensklopedi Tematis Dunia Islam. jil. 3. Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 2002.

Azis Dahlan, Abdul et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jil. 3. Cet. I; Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung: Diponegoro, 2006.

Effendi, Satria. Us}hul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005.

Ibnu Fa>ris, Ah}mad. Mu’jam Maqa>siy al-Lugah. Juz. V. Cet. II; Baerut: Dar Fikr, 1972M/1392H.

Jumantoro,Totok. dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. I; t.t.; Amzah, 2005.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. XII; t.t, Lit}ba> ‘at wa Nasyar wa Tawzy, 1978 M/1398 H.

Syarifuddin, Amin. Us}hu>l Fiqh, Jilid II. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mugniyah, Muhammad Jawa>r. Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d . Cet. I; Baerut: Da>r Ilmi lil Mukayyin, 1975.

al-Manz}u>r, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab. jil. X, Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.
Romli. Muqa>ranah Maza>hib fil Us}hu>l. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Zahrah, Abu. Us}hu>l al-Fiqh, terj. Saefullah Mas’hum, et. al., Us}hu>l Fiqh. Cet. V; t.t.: Pustaka Firdaus, 1999.

al-Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Waji>z fi> Us}hu>l al-Fiqh. Cet. II; Baerut-Libanon: Dar Fikr, 1995.

EFEKTIVITAS PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 01 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI (Studi Terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar)

EFEKTIVITAS PERMA RI NO. 01 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI TERHADAP PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A MAKASSAR

















Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Magister  dalam Bidang Syariah & Hukum Islam

Pada program Pascasarjana UIN Alauddin

Makassar







Oleh:

FITRIYANI

NIM: 80100208056











PROGRAM PASCASARJANA (S2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2010

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan penuh kesadaran, penulis yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, benar adalah hasil karya penulis sendiri. Jika dikemudian hari ia merupakan duplikat, tiruan atau dibuat orang lain secara kesluruhan atau sebahagian, maka tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.                                                                                                                                                                       Makassar, 7 Mei 2010   

Penulis





                                                                        FITRIYANI





























PERSETUJUAN PROMOTOR

Promotor penulisan tesis saudari Fitriyani, NIM. 80100208056, Mahasiswi Konsentrasi Syariah/Hukum Islam pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi tesis yang bersangkutan dengan judul: Efektivitas Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk melaksanakan seminar hasil.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya.



Promotor:

Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah                 (……………………)





Prof. Dr. M. Irfan Idris, M. Ag.                   (..............................)



                                        Makassar, 7 Mei 2010

Diketahui Oleh:



Ketua Program Studi                               Direktur Program Pascasarjana

Dirasah Islamiyah,                                  UIN Alauddin Makassar











Dr. Muljono Damopolii, M. Ag.       Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M. A.

NIP. 19641110 199203 1005             NIP. 150206321



KATA PENGANTAR

ِبسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ اِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأنْبِيَاءِ وَالْمُرِسَلِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِخْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ أَمَّا بَعْدُ

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Şalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., keluarga, para sahabat, dan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Penulisan tesis yang berjudul efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum Islam, konsentrasi Syariah/Hukum Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Dalam penulisan tesis ini, tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1.      Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, para Pembantu Rektor, dan seluruh Staf UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan pelayanan maksimal kepada penulis.

2.      Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, demikian pula kepada Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A., Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.A., selaku Asisten Direktur I dan II, dan Dr. Muljono Damopolii, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

3.      Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Prof. H. M. Irfan Idris, M.Ag., selaku promotor I dan II, yang banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, koreksi, nasehat, dan motivasi hingga terselesaikannya penulisan tesis ini.

4.      Para Dosen Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, dengan segala jerih payah dan ketulusan, membimbing dan memandu perkuliahan, sehingga memperluas wawasan keilmuan penulis.

5.      Kepala Perpustakaan Pusat UIN Alauddin Makassar beserta segenap stafnya yang telah menyiapkan literatur dan memberikan kemudahan untuk dapat memanfaatkan secara maksimal demi penyelesaian tesis ini.

6.      Para Staf Tata Usaha di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian administrasi selama perkuliahan dan penyelesain penulisan tesis ini.

7.      Kepala Ketua Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar Drs. Khairil R, M.H., hakim dan hakim mediator, penitera, jurusita, serta staf administrasi yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian berupa observasi, mengambil dokumentasi mengadakan wawancara dan mengedarkan kuesioner.

8.      Sembah sujud yang sedalam-dalamnya saya haturkan penghargaan yang istimewa kepada kedua orang tua penulis, ayahanda H. Tabe dan Ibunda Hj. St. Subaedah dan ucapan terima kasih yang tulus, dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta pengorbanan mengasuh, membimbing, dan mendidik, disertai do’a yang tulus kepada penulis. Bahkan beliau berdua selalu mendesak dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi. Juga kepada segenap saudara penulis Hj. Jumiyati, M. Rais, M. Sukardi serta keluarga besar, atas do’a, kasih sayang, dan motivasi selama penulis melaksanakan studi.

9.      Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, sahabat, dan teman-teman penulis yang telah memberikan bantuan, motivasi, kritik, saran, dan kerjasama selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini.

Akhirnya, kepada Allah swt. jualah, penulis panjatkan do’a, semoga bantuan dan ketulusan yang telah diberikan, senantiasa bernilai ibadah di sisi Allah swt., dan mendapat pahala yang berlipat ganda, Amin.



Makassar, 7 Mei  2010

Penyusun,



                                                              FITRIYANI

                      NIM. 80100208056























TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

A.     Transliterasi

1.      Konsonan

Huruf-huruf bahasa Arab ditransliterasi ke dalam huruf sebagai berikut:

b      :         ب                  z       :       ز                f       :      ف

t       :         ت                  s       :       س                q      :      ق         

s       :         ث                  sy     :       ش                k      :      ك

j       :         ج                   s       :       ص                l       :      ل

h      :         ح                   d      :       ض               m     :      م

kh    :         خ                   t       :       ط                n      :      ن

d      :         د                   z       :       ظ                 h      :      ه

ż       :         ذ                   ‘       :       ع                 w      :      و

r       :         ر                  g      :       غ                 y      :      ي

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2.      Vokal dan Diftong

a.      Vokal atau bunyi (a), (i), dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai berikut:

Vokal
Pendek
Panjang
Fathah
A
ā
Kasrah
i
Ī
Dammah
U
ū
b.   Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw), misalnya bayn ( بين ) dan qawl ( قول ).

3.      Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda.

4.      Kata sandang al- (alif lam ma’arifah) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak di awal kalimat. Dalam hal ini kata tersebut ditulis dengan huruf kapital (Al-). Contohnya:

Menurut pendapat al-Gazhaly

Al-Qur’an .........

5.      Ta’ marbutah ( ة ) ditransliterasi dengan t. Tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan huruf h.

B.     Singkatan

Beberapa singkatan yang digunakan:

1.      swt.                              = subhanuhu wa ta’ala

2.      saw.                             = salla Allahu ‘alayhi wa sallam

3.      M                                 = Masehi

4.      H                                  = Hijrah

5.      Q.S …/ : 4                  = Quran. Surah …/ nomor surah : ayat

6.      t.t                                 = Tanpa Tempat Terbit

7.      t.p                                = Tanpa Penerbit

8.      t.th                               = Tanpa Tahun

9.      dkk                              = Dan kawan-kawan

10. Perma                          = Peraturan Mahkamah Agung

11. Sema                           = Surat Edaran Mahkamah Agung

12. KHI                             = Kompilasi Hukum Islam

13. HIR                             = Herziene Indonesisch Reglement

14. Rbg                              = Rechtsreglement Buitengewesten

15. BASYARNAS            = Badan Arbitraase Syariah Nasional

16. UU                               = Undang-Undang

17. UUD                            = Undang-Undang Dasar

18. RI                                = Republik Indonesia

19. KKN                            = Kolusi, korupsi dan nepotisme

20. APS                             = Alternatif Penyelesaian Sengketa

21. ADR                            = Alternative  Dispute Resolution



EFEKTIVITAS PERMA RI NO. 01 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI TERHADAP PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A MAKASSAR


 







Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister  dalam Bidang Syariah & Hukum Islam
Pada program Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar



Oleh:
FITRIYANI
NIM: 80100208056





PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2010
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan penuh kesadaran, penulis yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, benar adalah hasil karya penulis sendiri. Jika dikemudian hari ia merupakan duplikat, tiruan atau dibuat orang lain secara kesluruhan atau sebahagian, maka tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.                                                                                                                                                                       Makassar, 7 Mei 2010   
Penulis


                                                                        FITRIYANI














PERSETUJUAN PROMOTOR
Promotor penulisan tesis saudari Fitriyani, NIM. 80100208056, Mahasiswi Konsentrasi Syariah/Hukum Islam pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi tesis yang bersangkutan dengan judul: Efektivitas Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk melaksanakan seminar hasil.
Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya.

Promotor:
Prof. Dr. Hj. Andi Rasydiyanah                 (……………………)


Prof. Dr. M. Irfan Idris, M. Ag.                   (..............................)

                                        Makassar, 7 Mei 2010
Diketahui Oleh:

Ketua Program Studi                               Direktur Program Pascasarjana
Dirasah Islamiyah,                                  UIN Alauddin Makassar





Dr. Muljono Damopolii, M. Ag.       Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M. A.
NIP. 19641110 199203 1005             NIP. 150206321

KATA PENGANTAR
ِبسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ اِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأنْبِيَاءِ وَالْمُرِسَلِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِخْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ أَمَّا بَعْدُ
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Şalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., keluarga, para sahabat, dan umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Penulisan tesis yang berjudul efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum Islam, konsentrasi Syariah/Hukum Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Dalam penulisan tesis ini, tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1.      Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, para Pembantu Rektor, dan seluruh Staf UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan pelayanan maksimal kepada penulis.
2.      Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, demikian pula kepada Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A., Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.A., selaku Asisten Direktur I dan II, dan Dr. Muljono Damopolii, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.
3.      Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Prof. H. M. Irfan Idris, M.Ag., selaku promotor I dan II, yang banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, koreksi, nasehat, dan motivasi hingga terselesaikannya penulisan tesis ini.
4.      Para Dosen Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, dengan segala jerih payah dan ketulusan, membimbing dan memandu perkuliahan, sehingga memperluas wawasan keilmuan penulis.
5.      Kepala Perpustakaan Pusat UIN Alauddin Makassar beserta segenap stafnya yang telah menyiapkan literatur dan memberikan kemudahan untuk dapat memanfaatkan secara maksimal demi penyelesaian tesis ini.
6.      Para Staf Tata Usaha di lingkungan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian administrasi selama perkuliahan dan penyelesain penulisan tesis ini.
7.      Kepala Ketua Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar Drs. Khairil R, M.H., hakim dan hakim mediator, penitera, jurusita, serta staf administrasi yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian berupa observasi, mengambil dokumentasi mengadakan wawancara dan mengedarkan kuesioner.
8.      Sembah sujud yang sedalam-dalamnya saya haturkan penghargaan yang istimewa kepada kedua orang tua penulis, ayahanda H. Tabe dan Ibunda Hj. St. Subaedah dan ucapan terima kasih yang tulus, dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta pengorbanan mengasuh, membimbing, dan mendidik, disertai do’a yang tulus kepada penulis. Bahkan beliau berdua selalu mendesak dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi. Juga kepada segenap saudara penulis Hj. Jumiyati, M. Rais, M. Sukardi serta keluarga besar, atas do’a, kasih sayang, dan motivasi selama penulis melaksanakan studi.
9.      Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, sahabat, dan teman-teman penulis yang telah memberikan bantuan, motivasi, kritik, saran, dan kerjasama selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini.
Akhirnya, kepada Allah swt. jualah, penulis panjatkan do’a, semoga bantuan dan ketulusan yang telah diberikan, senantiasa bernilai ibadah di sisi Allah swt., dan mendapat pahala yang berlipat ganda, Amin.

Makassar, 7 Mei  2010
Penyusun,

                                                              FITRIYANI
                      NIM. 80100208056











TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
A.     Transliterasi
1.      Konsonan
Huruf-huruf bahasa Arab ditransliterasi ke dalam huruf sebagai berikut:
b      :         ب                  z       :       ز                f       :      ف
t       :         ت                  s       :       س                q      :      ق         
s       :         ث                  sy     :       ش                k      :      ك
j       :         ج                   s       :       ص                l       :      ل
h      :         ح                   d      :       ض               m     :      م
kh    :         خ                   t       :       ط                n      :      ن
d      :         د                   z       :       ظ                 h      :      ه
ż       :         ذ                   ‘       :       ع                 w      :      و
r       :         ر                  g      :       غ                 y      :      ي
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).
2.      Vokal dan Diftong
a.      Vokal atau bunyi (a), (i), dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai berikut:
Vokal
Pendek
Panjang
Fathah
A
ā
Kasrah
i
Ī
Dammah
U
ū
b.   Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw), misalnya bayn ( بين ) dan qawl ( قول ).
3.      Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda.
4.      Kata sandang al- (alif lam ma’arifah) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak di awal kalimat. Dalam hal ini kata tersebut ditulis dengan huruf kapital (Al-). Contohnya:
Menurut pendapat al-Gazhaly
Al-Qur’an .........
5.      Ta’ marbutah ( ة ) ditransliterasi dengan t. Tetapi jika ia terletak di akhir kalimat, maka ia ditransliterasi dengan huruf h.
B.     Singkatan
Beberapa singkatan yang digunakan:
1.      swt.                              = subhanuhu wa ta’ala
2.      saw.                             = salla Allahu ‘alayhi wa sallam
3.      M                                 = Masehi
4.      H                                  = Hijrah
5.      Q.S …/ : 4                  = Quran. Surah …/ nomor surah : ayat
6.      t.t                                 = Tanpa Tempat Terbit
7.      t.p                                = Tanpa Penerbit
8.      t.th                               = Tanpa Tahun
9.      dkk                              = Dan kawan-kawan
10. Perma                          = Peraturan Mahkamah Agung
11. Sema                           = Surat Edaran Mahkamah Agung
12. KHI                             = Kompilasi Hukum Islam
13. HIR                             = Herziene Indonesisch Reglement
14. Rbg                              = Rechtsreglement Buitengewesten
15. BASYARNAS            = Badan Arbitraase Syariah Nasional
16. UU                               = Undang-Undang
17. UUD                            = Undang-Undang Dasar
18. RI                                = Republik Indonesia
19. KKN                            = Kolusi, korupsi dan nepotisme
20. APS                             = Alternatif Penyelesaian Sengketa
21. ADR                            = Alternative  Dispute Resolution






DAFTAR ISI
                                                                                                                        Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................    i                                               ...................................................................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS......................................................................   ii
PERSETUJUAN PROMOTOR............................................................................... iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iv
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL..................................................................................................... xi
ABSTRAK................................................................................................................ xii

BAB  I  PENDAHULUAN                                              1-29

A.    Latar Belakang Masalah................................................................    1
B.     Rumusan dan Batasan Masalah.................................................... 14
C.     Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian............... 14
D.    Tinjauan Pustaka............................................................................. 21
E.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................. 26
F.      Garis Besar Isi Tesis....................................................................... 27

BAB  II  TINJAUAN TEORITIS                                                 30-81

A.  Gambaran Umum tentang Mediasi............................................... 30
1.   Mediasi dalam fikih Islam......................................................... 30
2.   Mediasi dalam hukum N#asional............................................... 37
B.  Gambaran Umum Perceraian......................................................... 53
1.   Perceraian dalam Islam.............................................................. 53
2.   Perceraian dalam hukum Nasional.......................................... 63
C.  Eksistensi Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi
Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar        68
D.  Landasan Teoritis............................................................................ 75
E.   Kerangka Pikir................................................................................. 78

BAB  III  METODOLOGI PENELITIAN                                      82-88

A.    Jenis dan Pendekatan Penelitian................................................ 82
B.     Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................... 83
C.     Populasi dan Sampel.................................................................... 84
D.    Jenis dan Sumber Data................................................................. 85
E.     Tekhnik dan Instrumen Pengumpulan Data............................. 86
F.      Teknik Pengolahan dan Analisis Data...................................... 87

BAB  IV  HASIL PENELITIAN DAN BEMBAHASAN              89-123

A.    Hasil Penelitian............................................................................. 89
1.   Gambaran Umum Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Kelas 1A Makassar..................................................... 89
2.   Konsep Dasar Perma RI No. 01 Tahun 2008
tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian
di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................... 102
3.   Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang
Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Kelas 1A Makassar................................................... 110
4.   Hambatan dan Tantangan Pelaksanaan Perma RI
No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap
Perkara Perceraian di Pengadilan Agama.......................... 116
Kelas 1A Makassar
B.  Pembahasan................................................................................. 119

BAB  V  PENUTUP                                                         124-125

A.    Kesimpulan.................................................................................. 124
B.     Implikasi Penelitain................................................................... 125

DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 126
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP









DAFTAR TABEL

Tabel 1.   Daftar Mediator Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar Tahun 2009
     SK. KPA. Nomor. IV-20-A1/35/HM. 00/SK/2008
     Tanggal 24 November 2008...............................................................    96
Tabel 2.   Pengadilan Agama Makassar jenis-jenis perkara yang diterima
         Tahun 2008............................................................................................ 100
Tabel 3.   Pengadilan Agama Makassar faktor-faktor penyebab perceraian
         Tahun 2008............................................................................................ 100
Tabel 4.   Pengadilan Agama Makasaar statistik perbandingan cerai talak
         dan cerai gugat Tahun 2008................................................................ 101
Tabel 5.   Pengadilan Agama Makassar jenis-jenis perkara yang diterima
         Tahun 2009............................................................................................ 101
Tabel 6.   Pengadilan Agama Makassar faktor-faktor penyebab perceraian
         Tahun 2009............................................................................................ 102
Tebel 7.   Pengadilan Agama Makasaar statistik perbandingan cerai talak
         dan cerai gugat Tahun 2009................................................................ 102
Tabel 8.   Pengetahuan responden tentang adanya Perma RI No. 01
                Tahun 2008  tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.................... 111
Tabel 9.   Pengetahuan tentang isi Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang
         Prosedur Mediasi di Pengadilan......................................................... 111
Tabel 10. Latar belakang dikeluarkannya Perma RI No. 01 Tahun 2008
         tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan........................................... 112
Tabel 11. Lama waktu diterapkannya Perma RI No. 01 Tahun 2008
                tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan........................................... 112
Tabel 12. Pelaksanaan mediasi di pengadilan terhadap perkara perceraian  113
Tebel 13. Perbandingan antara cerai talak dan cerai gugat yang terjadi
         di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................................... 114
Tebel 14. Faktor-faktor penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan
         Agama Kelas 1A Makassar.................................................................. 114
Tabel 15. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun
2008  tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan     Agama Kelas 1A Makassar................................................................................................................ 115
Tabel 16. Tantangan pelaksanaan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur
         Mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................... 115
Tabel 17. Solusi yang mesti dilakukan dalam mengatasi hambatan dan
         tantangan pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang
         Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......... 116



ABSTRAK
Nama              :Fitriyani
Nim                 :80100208056
Konsentrasi   :Syariah/Hukum Islam
Judul Tesis            :Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi  Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar
 

Tesis ini membahas tentang Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dilatar belakangi upaya peningkatan pelaksanaan mediasi dilembaga pengadilan. Masalah yang diangkat dalam tesis ini meliputi konsep dasar Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, efektivitas pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, serta faktor penghambat dan tantangan pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar. Maka untuk memaksimalkan penerapannya pihak Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar terus berupaya secara optimal meminimalisir tantangan dan hambatan yang dihadapinya.
Untuk mengkaji permasalahan dalam tesis ini, penulis menggunakan pendekatan multi disipliner yaitu pendekatan teologi normatif, yuridis, sosiologis, historis dan psikologis. Penelitian ini tergolong field research data yang dikumpulkan dari hasil observasi, dokumentasi, wawancara dan kuisioner. Kemudian data yang diperoleh dianalisis secara berkesinambungan, yaitu mereduksi data, penyajian data (data display), dan vrifikasi/penarikan kesimpulan. Serta menggunakan teknik statistik deskriptif.
Setelah mengadakan analisis terhadap data yang diperoleh mengenai efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, peneliti menemukan hahwa pada dasarnya pelaksanaan mediasi cukup efektif sesuai dengan tujuan dikeluarkannya Perma untuk memfungsikan asas sederhana cepat dan biaya ringan dan untuk mengurangi penumpukan perkara.
Di samping itu,  tesis ini juga memaparkan implikasi Perma RI terhadap pemberdayaan lembaga mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, yang semestinya dimaksimalkan oleh mediator demi untuk mewujudkan pengelolaan lembaga mediasi yang profesional dan akuntable sesuai dengan peraturan yang ada.










DAFTAR ISI

                                                                                                                        Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................    i                                               ...................................................................................................................................

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS......................................................................   ii
PERSETUJUAN PROMOTOR............................................................................... iii

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iv

TRANSLITERASI DAN SINGKATAN................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL..................................................................................................... xi
ABSTRAK................................................................................................................ xii



BAB  I  PENDAHULUAN                                              1-29



A.    Latar Belakang Masalah................................................................    1

B.     Rumusan dan Batasan Masalah.................................................... 14

C.     Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian............... 14

D.    Tinjauan Pustaka............................................................................. 21

E.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................. 26

F.      Garis Besar Isi Tesis....................................................................... 27



BAB  II  TINJAUAN TEORITIS                                                 30-81



A.  Gambaran Umum tentang Mediasi............................................... 30

1.   Mediasi dalam fikih Islam......................................................... 30

2.   Mediasi dalam hukum N#asional............................................... 37

B.  Gambaran Umum Perceraian......................................................... 53

1.   Perceraian dalam Islam.............................................................. 53

2.   Perceraian dalam hukum Nasional.......................................... 63

C.  Eksistensi Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi

Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar        68

D.  Landasan Teoritis............................................................................ 75

E.   Kerangka Pikir................................................................................. 78



BAB  III  METODOLOGI PENELITIAN                                      82-88



A.    Jenis dan Pendekatan Penelitian................................................ 82

B.     Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................... 83

C.     Populasi dan Sampel.................................................................... 84

D.    Jenis dan Sumber Data................................................................. 85

E.     Tekhnik dan Instrumen Pengumpulan Data............................. 86

F.      Teknik Pengolahan dan Analisis Data...................................... 87



BAB  IV  HASIL PENELITIAN DAN BEMBAHASAN              89-123



A.    Hasil Penelitian............................................................................. 89

1.   Gambaran Umum Perkara Perceraian di Pengadilan

Agama Kelas 1A Makassar..................................................... 89

2.   Konsep Dasar Perma RI No. 01 Tahun 2008

tentang Mediasi Terhadap Perkara Perceraian

di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................... 102

3.   Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang

Mediasi Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan

Agama Kelas 1A Makassar................................................... 110

4.   Hambatan dan Tantangan Pelaksanaan Perma RI

No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi Terhadap

Perkara Perceraian di Pengadilan Agama.......................... 116

Kelas 1A Makassar

B.  Pembahasan................................................................................. 119



BAB  V  PENUTUP                                                         124-125



A.    Kesimpulan.................................................................................. 124

B.     Implikasi Penelitain................................................................... 125



DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 126

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP



















DAFTAR TABEL



Tabel 1.   Daftar Mediator Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar Tahun 2009

     SK. KPA. Nomor. IV-20-A1/35/HM. 00/SK/2008

     Tanggal 24 November 2008...............................................................    96

Tabel 2.   Pengadilan Agama Makassar jenis-jenis perkara yang diterima

         Tahun 2008............................................................................................ 100

Tabel 3.   Pengadilan Agama Makassar faktor-faktor penyebab perceraian

         Tahun 2008............................................................................................ 100

Tabel 4.   Pengadilan Agama Makasaar statistik perbandingan cerai talak

         dan cerai gugat Tahun 2008................................................................ 101

Tabel 5.   Pengadilan Agama Makassar jenis-jenis perkara yang diterima

         Tahun 2009............................................................................................ 101

Tabel 6.   Pengadilan Agama Makassar faktor-faktor penyebab perceraian

         Tahun 2009............................................................................................ 102

Tebel 7.   Pengadilan Agama Makasaar statistik perbandingan cerai talak

         dan cerai gugat Tahun 2009................................................................ 102

Tabel 8.   Pengetahuan responden tentang adanya Perma RI No. 01

                Tahun 2008  tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.................... 111

Tabel 9.   Pengetahuan tentang isi Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang

         Prosedur Mediasi di Pengadilan......................................................... 111

Tabel 10. Latar belakang dikeluarkannya Perma RI No. 01 Tahun 2008

         tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan........................................... 112

Tabel 11. Lama waktu diterapkannya Perma RI No. 01 Tahun 2008

                tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan........................................... 112

Tabel 12. Pelaksanaan mediasi di pengadilan terhadap perkara perceraian  113

Tebel 13. Perbandingan antara cerai talak dan cerai gugat yang terjadi

         di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................................... 114

Tebel 14. Faktor-faktor penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan

         Agama Kelas 1A Makassar.................................................................. 114

Tabel 15. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun

2008  tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan     Agama Kelas 1A Makassar................................................................................................................ 115

Tabel 16. Tantangan pelaksanaan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur

         Mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......................... 115

Tabel 17. Solusi yang mesti dilakukan dalam mengatasi hambatan dan

         tantangan pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang

         Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar......... 116







ABSTRAK

Nama              :Fitriyani

Nim                 :80100208056

Konsentrasi   :Syariah/Hukum Islam

Judul Tesis            :Efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi  Terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar

 


Tesis ini membahas tentang Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dilatar belakangi upaya peningkatan pelaksanaan mediasi dilembaga pengadilan. Masalah yang diangkat dalam tesis ini meliputi konsep dasar Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, efektivitas pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, serta faktor penghambat dan tantangan pelaksanaan Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar. Maka untuk memaksimalkan penerapannya pihak Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar terus berupaya secara optimal meminimalisir tantangan dan hambatan yang dihadapinya.

Untuk mengkaji permasalahan dalam tesis ini, penulis menggunakan pendekatan multi disipliner yaitu pendekatan teologi normatif, yuridis, sosiologis, historis dan psikologis. Penelitian ini tergolong field research data yang dikumpulkan dari hasil observasi, dokumentasi, wawancara dan kuisioner. Kemudian data yang diperoleh dianalisis secara berkesinambungan, yaitu mereduksi data, penyajian data (data display), dan vrifikasi/penarikan kesimpulan. Serta menggunakan teknik statistik deskriptif.

Setelah mengadakan analisis terhadap data yang diperoleh mengenai efektivitas Perma RI No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, peneliti menemukan hahwa pada dasarnya pelaksanaan mediasi cukup efektif sesuai dengan tujuan dikeluarkannya Perma untuk memfungsikan asas sederhana cepat dan biaya ringan dan untuk mengurangi penumpukan perkara.

Di samping itu,  tesis ini juga memaparkan implikasi Perma RI terhadap pemberdayaan lembaga mediasi di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar, yang semestinya dimaksimalkan oleh mediator demi untuk mewujudkan pengelolaan lembaga mediasi yang profesional dan akuntable sesuai dengan peraturan yang ada.