Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 11 Februari 2011

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

Oleh: Fitriyani

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Shalat merupakan ibadah utama dalam Islam, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat disyariatkan dalam rangka bersyukur atas seluruh nikmat Allah swt. yang diturunkan kepada manusia. Shalat juga menjadi pembeda antara muslim dan kafir. Di samping shalat fardhu, juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunat baik muakkad maupun gairu murakkad.
Pada bulan suci Ramadhan, salah satu amaliyah yang rutin dilakukan umat Islam di seluruh dunia, selain tilawah al-Qur'an adalah shalat sunat tarawih. Mulai awal hingga akhir Ramadhan, mesjid-mesjid penuh dengan masyarakat muslim yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Bagi yang tidak sempat ke mesjid, mereka melakukan shalat tarawih di rumah.
Fakta adanya pelaksanaan shalat tarawih secara turun temurun sejak Nabi saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah tentang disyari’atkannya shalat tarawih. Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dituturkan, bahwa Nabi saw. sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Nabi saw. bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya

“Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau (HR. Bukhari).”
Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafal رمضانdan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
ح : الا يمان ٣٦
م : صلاة تامسا ثرين و فصر ها ١٢٦٤
ت : الصوم ٦١٩
ن :اصيام ٢١٦٩
د : الصلاة ١١٦٤
حم : يا فى مسند الكيثرين ٦٨٧٤
د م : الصوم ١٧١١
Untuk melengkapi shalat tarawih, maka dianjurkan melakukan shalat witir sebanyak tiga rakaat. Kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa ketika sampai lima belas Ramadhan, maka pada rakaat ketiga setelah ruku dalam shalat witir dilakukan kunut. Demikian pula pada shalat subuh, dalam masyarakat ada yang melakukan kunut dan ada pula yang tidak melakukannya, yang tentu saja masing-masing mempunyai alasan.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang shalat tarawih dan bacaan kunut, ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Pandangan fukaha tentang shalat tarawih dan bacaan kunut dalam shalat.
2. Dalil-dalil dan wijhu al-dalalah-nya tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
3. Kritik dalil (Munaqasyah al-Adillah) tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
4. Kesimpulan dari perbandingan.



II. PEMBAHASAN
1. SHALAT TARWIH
A. Pandangan Fukaha tentang Shalat Tarawih
Shalat Tara>wih; akar kata: ra>ha = lega; al-Istira>h}ah = istirahat. Shalat yang dilakasanakan dengan santai atau diselingi istirahat beberapa saat; salah satu shalat sunat yang dikerjakan umat Islam pada setiap malam di bulan Ramadhan.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari
تَرْوِيْحَةٌ , yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. Shalat tarawih juga disebut juga qiyam Ramadhan. Penamaan shalat ini dengan shalat tarawih adalah karena ketika melaksanakan shalat ini dua rakaat, jamaah dan imamnya beristirahat sejenak.
Dalam sejarah diketahui bahwa shalat tarawih di masa Rasulullah saw. disebut qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-la>il semula dilaksanakan di mesjid. Ketika jamaah melihat nabi saw. Shalat, mereka pun mengikutinya. Hal ini berlangsung pada malam kedua dan jamaah bertambah banyak. Akan tetapi pada malam ketiga (atau keempat) Rasulullah saw. tidak datang di mesjid, melainkan melaksanakannya sendirian di rumah. Pada pagi harinya sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. mengapa beliau tidak datang tadi malam. Rasulullah saw. menjawab: “saya telah melihat apa yang kalian laksanakan. Saya tidak datang bukan karena perbuatan itu, hanya saja saya khawatir kalian menganggap shalat ini menjadi shalat wajib.”
Sekalipun Rasulullah saw. tidak datang lagi ke mesjid untuk melaksanakan qiya>m Ramadhan, namun jsmaah tetap melaksanakannya. Ada yang melaksanakannya secara sendiri dan ada yang melaksanakannya secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang imam. Hal ini berlangsung terus sampai masa khalifah Umar bin Khattab. Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklah shalat tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Ka’ab.
Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut seraya mengomentari, ”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yaitu sesuatu yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Menurut para fukaha, qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-lail bagi Nabi saw. hukumnya wajib. Tetapi menurut jumhur ulama fikih, shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya sunah mu’akkad (sunah yang dianjurkan). Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at-Tahawi, tokoh fikih mazhab Hanafi, menyatakan bahwa shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya wajib kifayah. Apabila dalam satu kampung atau daerah tidak dilaksanakan shalat tarawih maka seluruh warga kampung atau daerah itu berdosa.
Shalat tarawih hukumnya sangat disunahkan (sunah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikan oleh para sahabat dan ulama.
Ada beberapa pendapat tentang rakaat shalat tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at. Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut ini:

Pertama, hadis Aisyah:
“Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan.”
Kedua, Imam Malik dalam al-Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dri untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat.
Ketiga, Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibn Mubarak dan Imam Syafi’i.
Keempat, bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya.
Kelima, Imam Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran.
Dari riwayat di atas jelas, bahwa akar persoalan dalam perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah persoalan jumlahnya melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. al-Hafiz Ibn Hajar berpendapat:
”Bahwa perbedaan jumlah rakaat dalam rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang hendak didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syafi’i,
“Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika sholatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.”

Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan Tarwih 8 rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw. dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar ra, sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi sahabat dan tabiin. Bahkan menurut Imam Malik ra. hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat Tarwih; melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam az-Zarkani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibn Hibban bahwa Tarwih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang namun bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan ummat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama.
Sedangkan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah berkata, “Jika seseorang melakukan shalat Tarwih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad yaitu 20 rakaat atau sebagaimana Mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, “Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiya>m-nya.”
B. Dalil-dalil dan Wijhu al-Dalalahnya
a. Dalil untuk jumlah 11 rakaat dalam shalat tarawih berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya

“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari).

Aisyah dalam hadis di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan nabi di malam hari dari lainnya.”
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau wafat.”
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
Artinya

“Umar bin Khattab memerintahkan pada Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Malik)
Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: Dan (hadis) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari Umar, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan sunnah, apabila Rasulullah saw. tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).
b. Dalil-dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih 23 rakaat:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
Artinya

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa Umar bin Khaththab 23 rakaat.” (HR. Malik)

Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafaz ركعة dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : صلاة المسافرين و قصر ها ٬١٢٧٥٬١٢٧٤
ت : الصلاة ٢١٥
ن :الغسل و التيمم ٤٣٦
د : الطها رة ٥٣
حم : من مسند بنى ها شم ١٧١٢٬١٧٨٤
Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar”, (nukilan dari kitab Nashbu al-Rayah), maka sanadnya munqathi/terputus). Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa.
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
Artinya

“Sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Thabrani).

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah) Shalat Tarawih
Dalil tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang diriwayatkan oleh Aisyah menyebutkan bahwa nabi saw. senantiasa melakukan qiyam Ramadhan atau qiyam al-lail, baik di dalam maupun di luar bulan ramadhan sebanyak 11 rakaat. Bagi para ulama pendukung shalat tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadis itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi saw., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.
Ijtihad Umar bin Khathab tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw., karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti). Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa posisi sahabat Nabi saw. sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam hadis Nabi saw:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
Artinya

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al- Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat tarawih hukumnya sunah yang jumlahnya 20 raka’at:
وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحّ َ

Artinya

“Shalat tarawih hukumnya sunah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua rakaat baru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah”

Dalam “Fath al-Bari” Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadis tentang jumlah rakaat shalat tarawih adalah 23 rakaat, beliau menyatakan: “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadis Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat ditambah witir, sanad hadis ini adalah dhai>f. Hadis Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadis itu, padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah saw. pada waktu malam daripada yang lainnya”. Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh az-Zailai’ dalam “Nashbu al-Rayah”.
Tentang hadis dari Abu Syaibah Ibrahim bin Usman, Imam ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.”
Dalam kitab Nashbu al-Rayah dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadis yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah: “Bagaimana shalat Rasulullah saw. di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).
D. Kesimpulan Perbandingan

Perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih yaitu pada masa Rasulullah saw. adalah 8 rakaat dengan dilanjutkan 3 rakaat witir. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab menjadi 20 rakaat dilanjutkan dengan 3 rakaat witir. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Ibnu Taimiyah, tokoh mazhab Hanbali, mengatakan semua pendapat itu adalah baik, karena tidak ada dalil yang pasti (qath’i) yang menunjukkan jumlah rakaat shalat tarawih tersebut. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa persoalan 11 atau 23 rakaat tersebut amat tergantung kepada jumlah ayat yang dibaca. Jika ayat yang dibaca pada setiap rakaat panjang-panjang, maka sebaiknya shalat ini disingkat. Tetapi kalau jumlah ayatnya singkat, maka lebih baik jumlah rakaatnya ditambah menjadi 23 rakaat.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang mendasar untuk mempertentangkan satu pendapat dengan pendapat lainnya dalam jumlah shalat tarawih; apalagi menjadi sebab perpecahan umat Islam. Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsens dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersamaNya dimanapun berada.
2. BACAAN KUNUT DALAM SHALAT
A. Pandangan Fukaha Mengenai Bacaan Kunut dalam Shalat
Disebutkan dalam kitab al-Nihayah, bahwa kata kunut mempunyai delapan makna, yaitu taat, khusyu’, shalat, doa, ibadah, berdiri, lama berdiri, dan diam.
Kunut berarti taat, menghinakan diri kepada Allah swt., dan lama tegak dalam shalat. Doa yang dibaca pada shalat tertentu dan karena keadaan tertentu. Kunut mempunyai arti yang sama dengan doa dan tadharru’ yang berarti mendoakan musuh.
Kunut dibagi dua macam, yaitu kunut witir atau kunut subuh dan kunut nazilah. Kunut witir atau kunut subuh adalah kunut yang dibaca dalam shalat witir atau shalat subuh. Sedangkan kunut nazilah adalah kunut yang dibaca dalam shalat fardhu ketika umat Islam menghadapi tantangan, bencana, dan permusuhan dari orang-orang kafir.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa sunat membaca kunut dalam shalat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan pada shalat mana, kapan, lafal, dan tata cara kunut dibacakan.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali menggunakan istilah kunut witir, yaitu kunut yang dibaca pada rakaat terakhir shalat witir. Sedangkan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i menggunakan istilah kunut subuh, yaitu kunut yang dilakukan pada rakaat terakhir shalat subuh.
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya kunut subuh.
pertama : Kunut subuh disunahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.
Pendapat kedua : Kunut subuh tidak disyariatkan karena kunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Kunut pada shalat subuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada shalat subuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya al-Laitsy dan ahli fikih dari para ulama ahlul hadis.

B. Dalil-dalil dan Wijhu Dalalahnya
Dalil pendapat pertama:
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap kunut subuh itu sunah adalah hadis Abu Ja'far ar-Rozy dari ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ فجر حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya

"Rasulullah saw. terus menerus kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Kemudian sebagian para ulama Syafi'iyah menyebutkan bahwa hadis ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, antara lain:
Pertama : dari jalan Hasan al-Basry dari Anas bin Malik, beliau berkata:
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
Artinya

"Rasulullah saw., Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" kunut sampai saya berpisah dengan mereka".

Kedua : dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qatadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
Artinya
"Saya shalat di belakang Rasulullah saw. lalu beliau kunut, dan dibelakang 'Umar lalu beliau kunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau kunut".

Ketiga: dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin Abdillah, dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ


Artinya

"Terus-menerus Rasulullah saw. kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggal".

Takhrīj hadis yang berkaitan dengan kunut, dilakukan dengan menggunakan lafal يقنت dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : الصلاة ٥٩
ح : الأذان ٧٥٥
ت : الصلاة ٣٦٧
ن : التطبيق ١٠٦٦
د : الصلاة ١٢٢
حم : أ و ل مسند الكو فيين ١٧٧٤
د م : الصلاة ١٥٤٩
(Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam al-Qunut dan Ibnu al-Jauzy dalam al-Tah)
Dalil Pendapat Kedua:

Mereka berdalilkan dengan hadis Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ) : لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ)




Artinya

"Adalah Rasulullah saw. ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (i'tidal) berkata: "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakwan dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim".

Berdalilkan dengan hadis ini menganggap mansukh-nya kunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang gaib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah:

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Artinya

Dari Abi Hurairah ra. beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah saw. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Subuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa kunut nazilah belum mansukh. Andaikata kunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi saw. dengan kunut nazilah .
Dalil pendapat ketiga:
Pertama : Hadis Sa'ad bin Thoriq bin Asyam al-Asyja'i
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".


Artinya:

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullah saw. dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali Radhiyallahu 'Anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan kunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (kunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". (HR. Tirmidzy).

Kedua : Hadis Ibnu Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
Artinya

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya shalat bersama Ibnu Umar shalat subuh lalu beliau tidak kunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku". (HR. ath-Thabrany)

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah)

Mengenai dalil bagi pendapat pertama, an-Nawawi dalam al-Majmu’nya mengatakan bahwa hadis tersebut shahih dan diriwayatkan oleh sejumlah penghafal hadis, dan mereka menshahihkannya. Di antara yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa judul kitabnya, dan al-Baihaqy. Hadis itu diriwayatkan juga oleh ad-Daruqutni dari berbagai jalan periwayatan dengan sanad yang shahih.
Menurut Hasan bin Ali as-Saqqaf, hadis ini dhaif karena ada Abu Ja’far ar-Razi dan Isa bin Mahan dalam sanadnya. Abu Ja’far itu dhaif dalam meriwayatkan hadis dari Mughirah saja, sebagaimana dikatakan oleh para imam ahli hadis yang menganggap bahwa Abu Ja’far itu tsiqah. Mereka yang menganggapnya tsiqah, seperti Yahya bin Mu’in dan Ali bin al-Madini. Hadis ini tidak diriwayatkan oleh Abu Ja’far dari Mughirah, tetapi ia meriwayatkannya dari ar-Rabi bin Anas, sehingga di sini hadisnya shahih. Berkenaan dengan hal tersebut, as-Saqqaf telah membuat karangan yang diberi judul al-Qaul al-Mabtût fi Shihhati Hadits Shalah as-Shubh bi al-Qunut.
Menurut golongan ketiga, tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada shalat subuh secara terus-menerus. Qunut subuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para sahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".
Mereka juga beralasan bahwa nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya kunut subuh dari beberapa orang sahabat bahwa mereka melakukan kunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shahih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan kunut subuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Mereka menambahkan bahwa setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya kunut subuh secara terus-menerus dengan membaca do'a kunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah shalat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadis yang lemah.
Andaikan dikatakan hadis itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk kunut terus menerus dikarenakan perkataan (kunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma’ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :
1. (QS. ar-Rum /30: 26.
         
Terjemahnya

Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. semuanya hanya kepada-Nya tunduk.
2. (QS. al-Ahzab/33 :31
               
Terjemahnya
Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
3. QS. al-Baqarah /2 :238.
        
Terjemahnya
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadis Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do’a ketika i’tidal yang disyariatkan, bukan do’a kunut yang mereka maksudkan karena dalam i’tidal harus khusyuk, tuma’ninah, dan tenang, tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadis Anas itu adalah ucapan “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst. ” serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan doa khusus qunut subuh yang berbunyi “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst.”
D. Kesimpulan Perbandingan

Persoalan kunut, terutama kunut subuh, adalah masalah yang terus menerus dipertentangkan, meskipun telah banyak kajian atau pembahasan mengenai hal tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan di atas tentang golongan yang menyetujui adanya kunut subuh maupun golongan yang menolak kunut subuh, dengan dalil-dalil yang diungkapkan masing-masing, dan menganggap bahwa dalil yang mereka gunakan adalah shahih.
Menurut penulis, dalil dan argumen yang dikemukakan masing-masing golongan, baik yang menyetujui kunut subuh maupun yang menolak, semuanya dapat diterima karena mereka menguraikan dengan jelas dalil dan argumentasinya, yang semuanya bersumber dari Rasulullah saw. untuk menilai mana dalil yang terkuat, penulis belum mampu menentukan karena keterbatasan penulis dalam menganalisis keshahihan hadis yang dijadikan dalil masing-masing golongan.
Bagi penulis, persoalan kunut adalah furu’iyah yang tidak perlu dipermasalahkan. Karenanya, bagi mereka yang meyakini bahwa kunut subuh itu sunat, maka tak mengapa dilakukan sebab ada dalil-dalil yang mendasarinya. Begitupun bagi yang meyakini bahwa kunut subuh itu tidak disunahkan, maka tak mengapa ditinggalkan karena ada juga dalil yang mendasari hal tersebut.



































DAFTAR PUSTAKA
al-Albani, Nashiruddin. Shalat al-Tarawih, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir al-Maidani dengan judul Shalat Tarawih, Pustaka At-Tibyan.

al-Ansary, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arabi, Juz 2, Beirut: Dar al-Shadr, t.th.

al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh al-Bukhary, Juz 4, t.t: Maktabah Salafiyah, t.th.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 dan 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Dzulqarnain, Abu Muhammad. Hukum Qunut Subuh, dalam http://darussalaf.or.id. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2008.

Al-Jaziry, Abdul Rahman. al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, al-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Malibari, Zainuddin. Fath al-Mu’in, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ikhtilafiyah, Makassar: Berkah Utami, 1999.
Ibn Ismail Muhammad. al-Bukha>ri, ja>mi> al-Risa>lah Juz. V. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Ibnu Qudamah, al-Mugny, Juz 3. Riyadh: Maktabah Riyadh al-Jadidah, 1980.

Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah, jilid.1, Cet. II; Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1973.
As-Saqqaf, Hasan bin Ali as-Saqqaf. Shahih Shifat Shalat an-Naby, diterjemahkan oleh Ahmad Qosim dengan judul Shalat seperti Nabi Saw.: Petunjuk Pelaksanaan Shalat Sejak Takbir hingga Salam, Cet. III; Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006.

al-Zarqani, Syarh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, Juz 1. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Rabu, 02 Februari 2011

اَلْيَقِيْنُ لاَيَزُوْلُ بِا لشَّكِّ

QAWAid al-Fiqhiyah merupakan sebuah kata terdiri dua rangkaian lafaz Qawa>id dan lafaz al-Fiqhiyah hubungan dari kedua lafaz ini, apabila dalam ilmu nahwu disebut hubungan na>t dengan manu>t atau shiffah dengan maushuf.
Qawa>id merupakaan bentuk jama’ dari lafaz kaidah yang menurut bahasa artinya asas atau dasar. Sekarang ini kaidah telah menyatuh dengan bahasa Indonesia, yang berarti aturan atau patokan.
Menurut ahli nahwu, kaidah berarti, yaitu:
االحكم الكلي المنطبق على جميع جز ئيا ته
“Hukum Kulli yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya”.

Sifat-sifat hukum-hukum kulli memerlukan suatu sifat yang harus ada padanya, yaitu “bahwa hukum-hukum ini satu sama lainnya hampir bersamaan di dalam segala syari’at, baik dalam hukum Romawi, Barat dan hukum Islam.
Oleh karena hukum-hukum juz’i berupa illat dan sebabnya haruslah hukum-hukum itu diikuti oleh kaidah-kaidah kulliyah.
Ulama-ulama dalam berijtihad, memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari perinsip-perinsip undang-undang baru di zaman modern ini, namun nama dan istilahnya berbeda-beda.
Kaidah-kaidah ini bertujuan memilihara ruh Islam dalam membina hukum mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, baik dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Oleh karena amat pentingnya kaidah-kaidah ini dan besar pengaruhnya dalam membina hukum, serta senantiasa digunkan para ahli hukum kita dari setiap mazhab. Kaidah-kaidah kulliyah meangumpulakan hukum juz’i yang bersamaan illat dan sebabnya, maka kaidah itu oleh sebagian ulama dinamakan qawa>id (kaidah-kaidah).

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengerti lebih baik pokok permasalahan, penulis mencoba membatasinya dalam rumusan masalah:
1. Bagaimana memaknai kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
2. Bagaimana aplikasi kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
3. Bagaimana kaidah-kaidah turunan yang dihasilkan dalam kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?















BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Arti dari kaidah tersebut adalah kenyakinan itu tidak bisa hilang karena keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang dinyakini keberadaanya tidak dapat hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai syak (tidak qath’i).
Adapun yang dimaksud dengan اليقين ) ) ialah:
هُوَ مَا كاَنَ ثَا بِتاً بِا لنَّظَرِ اَوِ الدّلِيْلِ
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil.”
Dengan maksud pembatasan di atas dapat dipahami, bahwa seseorang dapat dikatakan telah menyakini terhadap perkara manakala terhadap perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancaindra atau dalil. Sebagaimana orang yang merasa hadats dari wudhunya dapat dinyakinkan bahwa hadatasnya itu dengan adanya angin yang keluar dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat didengar suaranya oleh teliga dan dapat dicium baunya oleh hidung, demikan pula orang yang merasa berbuat jarimah akan dapat dinyakinkan, bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jarimah karena adanya nas yang mengatakan demikian.
Sedangkan yang dimaksud (الشك) ialah:
هُو مَاكَا نَ مُتَر دِّدًبَيْنَ الشُبُوْتِ وَعَدِمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفِى الصَوَابْ وَاْلحَطاَءِِ دُُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِما عَلىَ ا لآخَرِ
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tampa dapat diterjihkan salah satunya.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah menyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah dinyakini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan-keraguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Seperti orang yang telah wudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah dinyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
Mengenai keraguan-keraguan ini, menurut asy-Syakh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam yaitu:
1. Keraguan-karaguan yang berasal dari haram. Misalnya ada seekor kambing yang disembelih di suatu daerah yang penduduknya campuran antara muslim dan majuzi. Maka selebihnya tersebut haram dimakan, karena pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui pada umumnya yang menyembeli adalah seorang muslim atau yang diketahui bahwa memang yang menyembelih itu benar-benar orang Islam (Muslim).
2. Keraguan-keraguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang. Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci.
3. Keragu-raguan atau sesuatu yang tidak diketahui asalnya. Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram, dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal. Maka keadaan seperti ini dibolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun terdapat kekhawatiran maka hukumnya makrih.
Perlu juga menjadi catatan, bahwa keragu-raguan (syak) dan sangkaan (dhan) itu pengaruhnya dalam hukum sama. Misalnya seseorang bertamu kerumah temannya. Kemudian telah sampai dirumahnya, kemudian rumah tersebut tertutup, lalu timbul dalam pikirannya bahwa “temanya ini, boleh jadi pergi dan mungkin. sebaliknya ia sedang tidur” hal seperti ini dikatakan keraguan (syak). Tetapi kemungkinan besar ia masih berada daalm rumah sebab kendaraanya masih ada di depan rumahnya”, hal seperti itu disebut dengan sangkalan (dhan).
Dasar-dasar pengabilan kaidah:

1. QS. Surah Yunus 10/ :36.
      •      

Terjemahnya

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
1. Hadis riwayat Muslim
اِذَاوَجَدَ اَحَدُ كُمْ فِي بَطْنِننهِ شَيْئًا فَاشْكَلَ عَلَيْهِ اََحْرَجَ مِنْهُ شَْيئٌ اَمْ لاَ فَلاَ يَْخْْرُُجْنَّ مِنَ اْلمَسْجِدِ حَتىَّ يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْيَجِدُ رِيْحاً. (رواه مسلم)

Artinya
“Apabila seseorang diantara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid hingga mendaptkan baunya.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menujukkan adanya keraguan bagi yang sedang shalat atau menuggu (duduk di mesjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Oleh karena itu, kita dapat memprediksikan yang masuk ke mesjid telah berwudhu (bersuci). Ketika shalat berjamaah, ia ragu akan keabsahan wudhunya: batal atau tidak; orang tersebut tidak perlu membatalkan shalatnya sebelum mendapatkan bukti yang menyakinkan tentang ketidak abasahan wudhunya.
2. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
شَكىَ اِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَلرَّجُلُ يَحيِلُ اِلَيْهِ اَنَّهُ يَجِدُ اَلْشَيءَفِىْ الصََلاََةِ قَالَ لايَنْصَرِفُ حَتىَّ يسمعَ صَوتاَ اَوْ يَجِدَ ريحاً (واه البحاري ومسلم)
Artinya

Nabi mendapat pengaduan bahwa seeorang merasa bingun oleh sesuatu dalam shalatnya, janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau mendapatkan baunya (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadis tersebut berkata bahwa hadits tersebut merupakan salah satu dasar hukum Islam yang fundemental (ashl min ushul al-ahkam) dan melahirkan kaidah fiqh asasi. Atas dasar pertimbangan tersebut.




3. Hadis riwayat Turmuzi
قَوْلُه ُصلى الله عليه وسلم : اِذَ شَكَّ ا!حَدَُ كُمْ فىِ صَلاِتهِ فَلَمْ يَدْرِ كُمْ صلىّ، َ اَثَلاَُثاًت اَمْ اَرْ بَعَاً فَلْيَطْرَحْ اَلشَّكَّ َلْيَمِيْنَ عَلىَ مَا سَتَيَقَّنَ ثُمَّ يَجِدُسجدنبن قبل ان يلم (رواه الترمذى)
Artinya

Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada yang menyakinkan. (HR. Turmuzi)
Imam al-Turmudzi meriwayatkan hadis tersebut dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf tentang seseorang yang ragu mengenai jumlah rakaat shalat secara mendetail. mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Bila seseorang lupa tentang jumlah rakaat shalatnya: satu atau dua rakaat; Hendaklah yang dijadikan patokan adalah yang satu rakaat, bila ragu dua atau tiga rakaat; hendaklah yang dinyakini itu dua rakaat, bila ragu tiga atau empat rakaat maka yang dinyakini adalah yang tiga rakaat dan yang dijadikan patokan, dan sujudlah dua kali (sujud sahwi) sebelum salam.

Dalil aqli (akal) bagi kaidah kenyakinan dan keraguan adalah bahwa kenyakinan lebih kuat daripada keraguan; karena dalam kenyakinan terdapat hukum qath’i yang menyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dikatakan bahwa kenyakinan tidak boleh hilang dirusak karena keraguan.
4. Menurut logika
Kenyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab di dalam kenyakinan terdapat keputusan (hakim) yang pasti dan tidak hilang oleh keraguan.
B. Hasil aplikasi hukum kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Para fuqaha selalu memperkatakan bahwa kaidah ini dan selalu menybut-nyebutnya, karena hampir tiga per empat hukum fiqh ditakhrijkan daripada ini.
Masuk dalam kaidah ini apa yang dikatakan Al-Qara>fi dalam kitab Al-Furuq
كل مشكوك فيه يجعل كا المعدوم الذى يجزم بعد مه
Artinya

Segala yang diragui kepadanya dianggap sebagai barang tidak ada yang dipastikan ketidak adaanya.
Dinatara hukum-hukum aplikatif yang menjadi contoh peberapan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Apabila seorang menghilang dalam jangka waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka ahli waris tidak boleh membagi harta peninggalannya sebelum adanya kepastian mengenai kematiannya atau adanya keputusan hakim (pengadilan) mengenai kemetiannya berdaskan asumsi kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia disertai bukti-bukti kuat yang meandukung asumsi tersebut dan menetapkannya sebagai sebuah keyakinan; misalnya orang tersebut menghilang setelah berkecamuk perang, wabah penyakit atau gempa bumi dahsyat. Hal ini dikarenakan status orang tersebut sebelum meninggal merupakan hal yang terbantahkan dengan segala keyakinan, dan baru ketika menghilang muncullah keraguan akan status kehidupanya, maka dalam hal ini keraguan yang muncul belakangan tidak dapat menggugurkan hukum keyakinan.
2. Apabila ada dua orang melakukan perkongsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
C. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah pokok al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Adapun kaidah cabang dari kaidah pokok yang dihasilakan kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ialah:
1. اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
“Yang menjadi pokok adalah tepatnya sesuatu pada keadaan semula”
Redaksi kaidah ini identik dengan dalil Is}tisha>b yang digunakan oleh ulama us}hu>l fiqh, yakni memperlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan atau telah ada pada masa yang lampau, sampai pada ketentuan lain yang mengubahnya.
Adapun dalil kaidah tersebut sebagai berikut:
اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُسْبِتَ مَا يُغَيِّرُهُ
“Pada asalnya sesuatu itu tetap menurut adanya, sehingga terbukti ada sesuatu”
Menurut kaidah ini, apabila seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum sesuatu perkara, maka diperlukan hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa yang telah lalu, sehingga sampai ada hukum lain yang meangubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat dinyakini.
Misalnya dalam bidang muamalat apabila seorang hakim menghadapi perkara yang terjadi karena suatu perselisihan antara seorang debitur dan kreditur, dimana debitur mengatakan bahwa ia telah melunasi hutangnya kepada kreditur, namun kreditur menolak perkataan si debitur tersebut, yang dikuatkan dengan sumpah. Maka berdasarkan kaidah ini, bahwa seorang hakim harus menetapkan bahwa hutang tersebut masih ada (belum lunas). Sebab yang demikian inilah yang dinyakini akan adanya. Keputusan ini bisa beruba manakalah ada bukti lain yang dinyakinkan yang menyakinkan bahwa hutang tersebut telah lunas.
2. اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
“Hukum dasar adalah kebebasan orang dari tanggung jawab”.

Pada dasarnya kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa dia lahir dalam keadaan bebas belum mempunyai tanggungan apa pun, ini menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang dilakukannya setelah dia lahir.
Untuk itulah para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang diketemukan orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak sebab kemerdekaannya itu menjadi asal.
Menurut kaidah tersebut di atas, misalnya seseorang itu harus dimintakan bayyinah (keterangan) kepada yang menggugat, sebab ia menggugat sesuatu yang berbeda dengan asalnya. Apabila berselisih antara si penggugat dan si tergugat tentang harta yang dirampas atau dirusakkan, maka perbuatan yang diterima adalah perkataan orang yang harus membanyar, karena menurut asalnya, dia harus dibebaskan dari membanyar harga tambahan.
Contoh lain apabila seseorang menghadiakan sesuatu kepada orang lain dengan syarat memberikan gantinya, kemudian dia bertengkar dengan wujud penggantiannya, maka yang dibenarkan adalah perkataan orang yang menerima hadiah. Sebab menurut asalnya ia bebas dari tanggungan memberikan gantinya.
3. اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”

Kaidah ini menujukkan kepada kita, bahwa hukum-hukum yang ada dalam Islam itu pada asalnya tidak menyulitkan dan memberatkan kepada umatnya. Ini berdasarkan QS. al-Haj/22: 78.
       
Terjemahnya

Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
      
Terjemahnya

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Memang dalil-dalil nas di atas lebih banyak dipahami dalam masalah bidang ibadah mahdah. Untuk itulah apabila kita kembali kepada kaidah di atas, misalnya kita ambil contoh bidang muamalah, seperti seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudha>rabah) melaporkan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan atau mendapatkan keuntungan, tetapi sedikit sekali, maka laporan yang akan menjalankan modal (mudharib) ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudaharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan hal yang sudah nyata, karena belum bertindak, sedangkan memperoleh keuntungan yang diharapkan merupakan hal-hal yang sudah pasti.
Contoh lain apabila Umar menyerahkan uang sebanyak Rp. 100.000,- kepada Mukhtar, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian dibagi dua. Selanjutnya selang beberapa lama, Ahmad menuduh bahwa Mukhtar telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut tetapi Mukhtar menyangkah tuduhan itu. Maka berdasarkan kaidah ini, yag dibenarkan adalah Mukhtar yang menyatakan tidak belum ada keuntungan. Sebab pada dasarnya tidak ada beban.
4. اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menujukkan keharamannya”
Kaidah ini merupakan kaidah yang dipegangi oleh Imam Syafi’i Beliau berpendapat “Allah itu Maha Bijaksana jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hambanya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa “Memang Allah Maha Bijaksana, tapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah swt. sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunkannya sebelum ada IZIN dari Allah. Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam hal ini, mengecualikan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam masalah satu ini, keduanya sepakat menghukuminya haram. Misalnya di dalam sebuah desa, ada sepuluh perempuan satu diantaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan seorang laki-laki, tetapi belum /tidak tahu manakah diantara sepuluh orang perempuan itu, yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut.
5. اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
“Pada asalnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”
Redaksi kaidah ini menujukkan kepada kita, apabila kita menemukan sesuatu yang membuat kita ragu-ragu, maka untuk menetapkannya adalah pada waktu terdekat dari peristiwa itu (pada waktu diketahuinya).
Contoh, seorang dokter dalam mengoperasi kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalamnya berhasil dengan sukses, bayi yang telah dikeluarkan dapat hidup dalam beberapa hari, tapi seminggu kemudian bayi tersebut meniggal. Maka dalam persoalan ini, sang dokter tidak bisa diminta pertanggungjawabannya. Sebab ada kemungkinan kematianya dikarenakan oleh sebab-sebab lain yang mendekati (lebih dekat) waktu-waktu kematiannya.
6. مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
“Barangsiapa yang ragu-ragu apakah sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut asalnya dianggap tidak pernah melakukan”

Maksudnya bahwa apabila seseorang ragu-ragu apakah ia telah mengerjakan pekerjaan atau belum, maka berdasarkan kaidah ini maka orang tersebut dianggap belum maengerjakan pekerjaan tersebut.
Contoh, apabila seseorang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, bahwa yang dimenangkan ialah yang belum berwudhu. Sebab belum berwudhu merupakan hukum asal, yakni manusia itu pada dasarnya lepas bebas sedangkan wudhu adalah salah satu bentuk beban.

7. مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ

“Barangsiapa telah yakin telah berbuat sesuatu, tapi ragu-ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”.
Contoh, dalam kaidah ini, yaitu apabila seseorang sedang shalat isya merasa ragu apakah telah mengerjakan empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka berdasarkan kaidah ini, yang dihitung ialah dia baru mengerjakan tiga rakaat dan harus menambah satu rakaat lagi.
8. اَلأَصْلُ فِىْ الْكَلاَ مِ الْحَقِقَةُ
“Hukum asli itu dalam memahami kalimat adalah makna hakikat”
Kaidah ini memebri maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya, yakni sebagaimana yang dimaksudkan sebagai pengertian yang hakiki. Kebalikan dari arti hakiki adalah majazi, yakni suatu arti yang berbeda dengan pengertian yang biasa, tetapi antara arti yang majaz dengan arti yang hakiki itu masih ada hubungannya, yang mengharuskan untuk mengartikan kepada arti yang majaz tersebut, bila ada qarinah (tanda) yang menujukkan kepada arti yang bukan hakikat. Selain itu kaidah ini menetapkan apabila terjadi suatu petrselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman ialah penafsiran menurut arti hakikat lafaz itu sendiri.
Dalam kaidah ini dapat diambil contoh, seumpama ada orang yang mengatakan: “Aku akan mewakafkan atau mewasiatkan sebagian hartaku ini buat anak si Ahmad”. Maka dalam hal ini perkataan ‘anak” harus diartikan anak dalam arti yang sebenarnya, bukan berarti cucu dan sebagainya.

9 لاَ عِبْر ة َ بِالظَّنِّ اَلْبَيِّنُ خَطَؤُ هُ
“Tidak dapat diterima/diperhitungkan suatu yang didasarkan pada dhan yang jelas salahnya”
Muksud dengan dhan alam kaidah ini adalah suatu pendapat yang lebih cendrung kepada tetapnya atau benarnya daripada tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan kaidah ini ialah: bahwa suatu keputusan hukum yang di dasarkan pada dhan, tetapi padanya jelas terdapat kesalahan, maka kebutuhan tersebut tidak berlaku /batal.
Misalnya apabila seorang debitur telah melunasi hutangnya, kemudian wakilnya atau penaggungnya (kafil) juga melunaasi hutan itu, sebab ia menyangka, bahwa hutang tersebut belum dilunasi, maka kafil (penanggung) yang melunasi hutang tersebut boleh meminta kembali uang yang di banyarnya.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang Qawaid Fiqhyyah Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai beriku:
1) al-yaqi>n (keyakinan) adalah kepastian akan tetap tidaknya sesuatu, sedangkan asy-syakk (keraguan) adalah ketidak pastian antara tetap tidaknya sesuatu.
2) Adapun hasil aplikatif dari kaidah ini sangat luas, mencakup berabagai masalah-masalah fiqh diantaranya; Apabila ada dua orang melakukan perkonsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
3) Adapun kaidah cabang yang dihasilkan yaitu:
• اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
• اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
• اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
• اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
• اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
• مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
• مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ



DAFTAR PUSTAKA

ash Shiddieqy Hasbi. Falsafah Hukum Islam . Cet. 5; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993.

Burhanuddin. Fiqh Ibadah. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Hassan Abdul Qadir. Us}hu>l Fiqh. t.tp. Al-Muslimu>n, t.th.

Muhammad Azzam Abdul Azis. Qawa>id al-Fiqhnyah al-Isla>miyah. Mesir: Makatabah al-Risa>lah Dauliyah, 1998-1999.

Musbikin Imam. Qawaid Al-Fiqhiyah, Ed. I. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Syafe’i Rachmat. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. III; Jakarta: Pustaka Setia, 2007.

Washil Muhammad dan Muhammad Azzam. al-Madhul fi> Qawa>id al-Fiqhiyyah wa asruha> fi> Ahka>mi Syari>yah, Diterj. oleh, Wahyu Setiawan, Qawa>id Fiqhiyyah. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009.

SETIAP YANG TIDAK ADA ATURANNYA DALAM AGAMA DAN BAHASA MAKA RUJUKANYA URF

كل ما وردبه الشرع مطلقا ولا ضا بط له من الشرع ولا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف
SETIAP YANG TIDAK ADA ATURANNYA DALAM AGAMA DAN
BAHASA MAKA RUJUKANYA URF
-----------------------------------------------
Oleh : Fitriyani
Makna kaidah
Kaidah ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam syara’ secara mutlak, tampa ada batasan, ikatan, (serta) perkiraan, dan dia diikat oleh aturan syara’ dan bahasa, maka adatlah (urf’) yang menjadi pegangan hukumnya.
Kaidah tersebut menjadi kemudahan dan rahmat bagi masyarakat Islam (manusia) serta menjaga kemaslahatannya. Agar supaya setiap mukallaf akan terus menjaga perintah Allah berdasarkan kemampuan dan kesanggupannya dan menolak kesulitan (dosa) dan kesusahan (maksiat).
Cabang-cabang kaidah
Kaidah ini meliputi beberapa cabang. Berikut ini diantara cabang-cabang yang dipilih:
Pertama: Cukup dengan niat shalat sebagai perbandingan dengan urf , dimana niat shalat dianggap ketika hendak melaksanakan shalat.
An-niyyat, secara simetris berarti maksud, keinginan, kehendak, cita-cita, tekat, dan menyegaja. Secara terminologis, ulama fikih mendefinisikan denagn “tekad hati untuk melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah”. Niat merupakan salah satu unsure yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu ibadah dan juga menetukan bagi keabsahan beberapa jenis muamalah. Ajaran Islam menuntut umatnya agar memulai pekerjaan dengan niat.
Dasar Hukum Niat. Niat mempunyai dasar yang kuatdalam syariat Islam, baik di dalam Alquran maupun dalam sunah Rassulullah saw. Allah berfirman dalam surah al-Bayyinah/98:5
            •     
Terjemahnya
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurusdan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Posisi niat dalam Islam. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu. Maksudnya, kaidah yang berkaitan dengan niat merupakan salah satu kaidah yang berdampak luas dalam berbagai amalan dalam Islam. Secara khusus Imam Syafi’i menyatakn bahwa persoalan niat terkait dengan 70 bab fikih, dalam arti apabila tanpa niat di 70 bab fikih itu di anggap tidak sah, baik yang bersifat ibadah seluruhnya, muamalah sebagiannya, bahkan persoalan-persoaln mubah (yang dibolehkan) pun jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah saw harus dimulai dengan niat.
Syarat-syarat niat Ulama fikih mengemukakan beberapa syarat niat dalam ibadah, yaitu: 1. Islam, oleh karenanya ibdah orang kafir tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 2. Mumayyiz, oleh kerananya ibadah anak kecil dan orang gila dianggap tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 3. Memahami kandungan niat; 4.tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan niat.
Contoh aplikasi yang bisa dikaitkan dengan kaidah tersebut. Jika seseorang dalm melaksanakan shalat tidak disyariatkan niat untuk menyebut jumlah rakaat, maka jika seorang mualim berniat untuk melaksankan shalat magrib emapt rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah. Dan apabila seseorang yang akan melaksanakan shalat zhuhur, tapi niatnya menunaikan shalat azhar, maka shalatnya tidak sah.
Kedua: Memelihara (menjaga) pencuarian, membedakan jual beli kembali kepada urf’.
Ar-sariqah (pencurian), mengambil harta orang lain secara terpelihara secara sembunyi-sembunyi. Artinya pencurian dilakukan tampah sepengetahuan sipemilik barang dan pemilik barang tidak rela dengan pegambilan barangnya tersebut. Misalnya pencurian barang dilakukan ketika pemilkinya tidak ada atau sedang tidur dan sudah disimpang ditempat yang aman menurut keadaan suatu daerah sudah aman. Seperti dalam pagar dalam takaran masyarak di Indonesia sedangkan di Arab Saudi di depan Apertemenpun sudah dinaggap aman.
Ketiga: Waktu dan kadar haid dikembalikan kepada urf’.
Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita sehat dalam beberapa waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan bukan pula karena ada penyakit di dalam rahim.
Terdapat perbedaan pandangan ulama fikih dalam menetapkan lamanya haid yang dijalani oleh seorang wanita.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa seorang wanita menjalani haidnya minimal tiga hari tiga malam dan masa maksimal sepuluh hari sepuluh malam. Jika masanya lebih Dari sepuluh hari sepuluh malam, maka bukan haid lagi, tetapi telah berubah menjadi istihadah (darah penyakit yang keluar dari rahim bukan karena haid atau nifas). Alasan mereka adalah hadis dari Aisyah binti Abu Bakar yang menyatakan: “Masa haid minimal bagi wanita perawan atau sudah kawin adalah tiga hari dan masa maksimalnya sepuluh hari” (HR. at-Tabara>ni dan Daraqutni).
Menurut ulama Mazhab Maliki membedakan antara haid dan persoalan ibadah dan haid dalam masalah idah, menurut mereka darah haid dalam masalah ibadah cukup sekali keluar saja atau beberapa saat, ketika itu wanita telah dianggap haid dan apabila telah habis haidnya beberapa saat kemudian, ia wajib mandi. Pada masa haid beberapa saat itu, wanita tersebut harus membatalkan puasanya dan mengkadanya dihari lain. Menurut mereka lama haid dalam masalah idah adalah satu hari atau setegah hari. Menurut imam Malik masa haid maksimal juga berbeda antara wanita yang satu dengan wanita yang lainnya. Perbedaan itu dilihat dalam tiga keaadaan, yaitu: a. wanita yang baru haid, masa maksimal haid mereka 15 hari; b. wanita yang sudah biasa haid, masa maksimal haid mereka adalah ditambah tiga hari dari kebiasaan mereka selama ini; c. orang yang haidnya terputus-putus (satu hari keluar darah kemudian hari lain tidak keluar lagi, kemudian hari berikutnya keluar lagi dan seterusnya), masa haid maksimalnya adalah 15 hari, tidak termasuk hari ketika darah tidak kelaur, apabila lebih dari masa maksimal yang telah ditentukan tersebut, maka hal itu bukan haid lagi tapi istihadah.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa masa haid adalah minimal satu hari satu malam. Masa sedang atau bisanya adalah enam atau tujuh hari, didasarkan sabda Rasulullah saw. Kepada Mihnah binti Jahasy ketika bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah ketika itu meberikan jawaban; ”Jadilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari dengan sepengetahuan Allah. Kemudian mandilah engkau dan laksanakan shalat selama 24 hari 24 malam atau 23 malam. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmaad bin Hambal dan at-Tirmizi). Menurut mereka masa haid maksimal selama 15 hari. Jika lebih dari itu bukan darah haid lagi tapi berubah menjadi istihadah.
Keempat: Menghidupkan (lahan) yang mati dikembalikan kepada urf’.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat apabila di satu temapt terdapat lahan yang kosong tidak ada yang mengelolahnya dan pemiliknya tidak diketahui maka terkadang ada orang yang mengelolahnya sehingga suatu waktu bisa saja orang yang mengelolah tersebut diaggap sebagai milkinya.
Kelima: Penguasaan pada (harta) rampasan, yakni kedudukan orang yang merampas sebagai (pengatur, penguasa, pemilik) atas apa yang dirampas. Hal ini kembali kepada urf’.
Hal ini basa digolongkan sebagai harta qanimah (rampasan perang) harta yang didapat dalam peperangan sudah menjadi milik orang yang yang mengambilnya.
Beberapa pengecualian dari Kaidah
Ada beberapa cabang yang dikecualikan dari kaidah ini. Cabang tersebut diberi hukum dengan tidak memakai hukum kaidah tersebut, diantaranya:
Pertama: Hal saling memberi menurut kalangan Mazhab syafi’i. (pendapat ini menyatakan bahwa) jual beli tidak sah. Dengan cara saling memberi, sekalipun masyarakat telah terbiasa dengan hal tersebut. Berbeda dengan apa yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa sah mengadakan jual beli dengan cara saling memberi.
Al-bay’: menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bay dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengetian lawannya, yakni kata asy-syara> (beli) dengan demikain kata al-bay’ berarti “jual”, tetapi sekaligus berarti “beli”. Persoalan jual beli dalam Islam dibahas oleh Ulama fikih sehingga dalam berbagai literatur dikemukakan pembahasan dengan topic kitab al-buy (kitab jual beli).
Ada beberapa defenisi jual eli menurut menurut fikih. Dikalangan Mazhab Hanafi terdapat dua definisi Pertama, “ saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu” kedua, “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan barang yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”. Cara yang dimaksud ulama hanafi adalah melalui ijab Kabul (ungkapan membeli dari pemembeli) dan Kabul (menyatakan menjual dari penjual), atau juga biasa saling memberikan barang dengan harga antara penjual dan pembeli.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, jual beli adalah saling tukar menukar dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Hal ini mereka melakukan penekakanan pada kata “milik dan pemilikan” karena juga tukar menukar harta tersebut yang bukan pemilikan. Seperti sewa menyewa (ija>rah).
Dalam peraktik sekarang terkadang orang datang ke warung membeli lansung mengambil barang kemaudian menyimpang uangnya seharga barang tersebut tampa ada akad saya membeli dan saya menjual. Tapi menurut Imam Nawawi hal tersebut sah dan dibenarkan serta sudah menjadi adat urf’ dalam masyarakat.
Kedua: masuk WC pada dasarnya diwajibkan membanyar ongkos (masuk WC) tetapi apabila tidak disebutkan (pembayaran) maka tidak berlaku ongkos tersebut. Karena pengguna telah menikmati/memakai pemanfaatan WC dan pemilik WC telah menyediakannya (asas manfaat).
Ketiga: Jika seorang menyerahkan baju kepada tukang jahit (penjahit) untuk dijahit, atau duduk dihadapan tukang cukur lalu ia dicukur, atau duduk dihadapan tukang pijat lalu ia dipijat, atau minta izin masuk perahu lalu dibawa ke pantai, maka tidak wajib dikenakan pembayaran. Hal tersebut berbeda dengan kaidah.