Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 27 Oktober 2010

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI (Tinjauan Filosofis)

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI
(Tinjauan Filosofis)
Oleh : Fitriyani

A. Pendahuluan
Pendidikan Islam yang terlakasana sebagai suatu sistem mengharuskan berprosenya seluruh bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai dengan ajaran Islam. Proses tersebut baru dapat berjalan secara konsisten jika dilandasi dengan pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan Pendidikan Islam. Dengan demikian, suatu sistem Pendidikan Islam dari pola yang membentuknya yakni dengan meletakkan nilai-nilai dasar agama sehingga menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu terjadwal dan didasari oleh berbagai pertimbangan, serta diakhiri dengan suatu harapan akan terwujudnya pencapaian tujuan sesuai dengan yang diingkan. Sudah merupakan fitrah bahwa setiap manusia menginginkan kehidupan yang bermakna, baik untuk dirinya maupun lingkungannya. Kehidupan yang bermakna akan memberi kesadaran pada diri manusia bahwa eksistensi (keberadaannya) dihargai. Dengan demikian, manusia menyadari bahwa kehidupan yang ia jalani tidaklah sia-sia, akan tetapi bermakna dan memberi nilai pada manusia untuk menyadari harga diri dan jati dirinya.
Pendidikan juga merupakan bagian dari upaya yang membantu manusia untuk memperoleh kehidupan yang bermakna sehingga memperoleh kebahagiaan hidup. Sebagai proses, pendidikan memerlukan sebuah sistem yang terprogram dan mantap, serta tujuan yang jelas agar arah yang hendak dituju mudah tercapai.
Dasar pendidikan dihasilkan dari rumusan pemikiran yang terpola dalam bentuk pandangan hidup. Sedangkan tujuan pendidikan dihasilkan dari rumusan kehendak dan cita-cita yang akan dicapai, yang menurut pertimbangan dapat memberi kebahagiaan dan makna hidup bagi manusia. Keduanya dirumuskan atas dasar berbagai sudut pandang. Dengan demikian, maka dasar dan tujuan pendidikan menjadi beragam, tergantung dari latar belakang pemikiran, pengalaman serta pendekatan yang digunakan.
Adapun akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani sebagai terjemahan dari kata civil society. Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita-cita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluraliseme), serta taqwa, jujur, dan taat hukum.
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filosuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan.
Terobosan pemikiran kembali pada konsep dasar pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.
Latar belakang ini bersumber dari falsafah hidup yang dianggap memiliki nilai kebenaran oleh suatu masyarakat atau bangsa. Tentunya nilai tentang kebenaran itu tidak sama dalam pandangan masyarakat yang berbeda. Sehubungan dengan hal itu, maka dasar dan tujuan Pendidikan Islam yang menjadi bagian dari komponen sistem pendidikannya akan berbeda pula dengan dasar dan tujuan pendidikan selainnya.
Dengan demikian, tujuan Pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat Pendidikan Islam. Seperti halnya dengan dasar pendidikannya, maka tujuan Pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasar dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi masalah pokok adalah “Bangaiamana Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis), selain masalah pokok tersebut terdapat sub masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Bagaimana memaknai Pendidikan Islam?
2. Bagaimana memaknai masyarakat madani?
3. Bagaimana Pendidikan Islam didisain menuju Masyarakat Madani di Indonesia?

C. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Defenisi Operasional
Penelitian ini berjudul “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjaun Filosofis)” untuk memperjelas pengertian variabel yang terdapat dalam judul pelitian ini, maka perlu dikemukakan defenisi operasional dari setiap variabel tersebut, agar para pembaca tidak keliru memahaminya. Adapun variabel yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
a. Pembaharuan Pendidikan Islam
Pembaharuan merupakan bahasa Indonesia yang berasal dari kata “baharu” yang bisa berarti pemugaran pemulihan kembali; pembaharuan kembali; perbaikan kembali. Sedangkan “pendidikan” bagian dari kurikulum untuk membentuk dalam pengorganisasian program kegiatan atau pun program belajar yang hendak disajikan kepada murid oleh lembaga pendidikan tertentu. Adapun Islam (salima, aslama, yang berarti sejahtera; silm atau salm yang berarti kedamaian, kepatuhan dan ketundukan). Agama yang diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw., nabi mengajarkan dan menyiarkannya kepada semua umat manusia di Semenanjung Arabia pada awal abad ke 7 dalam masa 22 tahun lebih (610-632). Islam sebagai agama wahyu dapat menyelamatkan dan mensejahterakan penganutnya di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, sekiranya semua para pelaksana pendidikan menyadari bahwa anak didik itu adalah amanah dari Allah, niscaya akan mereka berupaya secara maksimal mendidik dan membimbing mereka akan kelak menjadi anggota masyarakat yang beradab (madani) dan berakhlak mulia. Kesadaran para pelaksana pendidikan bahwa misi tersebut adalah mulia dan amanah, maka tentunya kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk memperoleh kemuliaan dan menempati amanah, yaitu berjuang melalui lembaga pendidikan untuk membentuk komunitas peserta didik yang saleh.
b. Masyarakat Madani
“Masyarakat” merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu, dan segolongan orang-orang yang mempunyai kesamaan tertentu. Jadi masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban, masyarakat hight Islam. Masyarakat yang bermoral dan berperilaku yang tinggi, serta masyarakat yang bisa menghasilkan kehidupan yang baik, lebih baik dari sebelumnya. Inilah yang bangun oleh rasulullah di Madina, dan kalau kita mau membawa ke konsep sekarang ini, bahwa yang dimaksud dengan masyarakt madani hight Islam adalah masyarakat beradab.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa arti operasional tulisan ini adalah sebuah kajian terhadap Pendidikan Islam menuju masyarakat madani dalam hal ini khusus pada pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani atau masyarakat yang beradab, berakhlak dan bersifat saleh.
2. Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan yang muncul yang berkaitan dengan “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis), maka dalam penelitian ini penulis perlu membatasi ruang lingkupnya sebagai berikut:
a. Konsep Pendidikan Islam yang dimaksud disini adalah suatu landasan atau acuan dalam melaksanakan Pendidikan Islam.
b. Konsep Masyarakat Madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan terutama dalam Pendidikan Islam.
c. Pendidikan Islam didisain menuju Masyarakat Madani di Indonesia terobosan pemikiran kembali pada konsep dasar pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena pendidikan merupakan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan.

D. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya maupun terhadap buku-buku yang telah diterbitkan, ditemukan sebuah buku-buku dan hasil penelitian yang relevan dengan pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani. Di antara hasil penelitian yang relevan dengan tulisan ini adalah:
Literatur yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta. Dalam buku ini Syafi’i> Maa>rif mengemukakan analisis mengenai Pendidikan Islam sebagai berbasis nilai. Begitu pula penulis lainnya, M. Rusli Karim memaparkan Pendidikan Islam sebagai upaya merevitalisasi sistem.
H. Abuddin Nata dalam bukunya, Menejemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Islam di Indonesia. Dalam buku tersebut tema-tema yang dibahas adalah; Pertama, tantangan Pendidikan Islam Abad 21 yang menyangkut tentang profesional muslim dan peran sertanya dalam membangun peradaban Islam bad 21. Kedua, kualitas pendidikan yang islami serta menvarin rumusan sistem pendidikan yang islami. Ketiga, organisai dan metodologi pengajaran serta perinsip dan variasi metodologi pengajaran.
Dalam buku lain yang ditulis oleh Syafi’i> Maa>rif yang berjudul Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Membahas tentang pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Islam menghadapi peradaban modern.
Muhammad Idrus, dengan karyanya Perubahan Masyarakat dan Peran Pendidikn Islam. Mengkaji tentang pemberdayaan dan pembebasan keterbelakangan umat.
H. A. R. Tilaar, menulis tentang Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani di Indonesia. Dalam tulisan tersebut diuraikan mengenai masyarakat madani di Indonesia dan pradigma baru pendidikan dalam membangun masyarakat madani termasuk strategi dan hasil yang diharapkan dari pendidikan untuk membangun masyarakt madani di Indonesia.
Apabila dikaji dari beberapa hasil penelitian yang telah dikemukan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa peneliti tidak menemukan satu penelitian maupun tulisan-tulisan yang membahas tentang pemaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani (tinjauan filosofis).

E. Landasan Teoretis
Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Begitu pula Pendidikan Islam menuju masyarakat madani.
Pendidikan Islam menurut Ah}mad Syafi’i> Maa>rif berpendapat pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Islam menghadapi peradaban modern perlu adanya pemberdayaan.
Menurut H.A.R. Tilaar dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Kebudayaan dan Masayarakat Madani di Indonesia. Menurutnya Masayarakat madani di Indonesia dan pradigma baru pendidikan dalam membangun masyarakat madani termasuk strategi dan hasil yang diharapkan dari pendidikan untuk membangun masyarakat madani di Indonesia.

F. Tujuan dan Kegunaan
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis uraikan, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjaun filosofis)”. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendekripsikan konsep pembaharuan Pendidikan Islam.
b. Untuk mendeskripsikan konsep masyarakat madani.
c. Untuk mengindentifikasi desain pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani.
Adapun keguanaan penelitian ini dapat dilihat dalam dua segi.
1. Kegunaan ilmiah
a. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam nuansa yang bersifat ilmiah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam masalah pembaharuan Pendidikan Islam menuju masyarakat madani.
b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangn pemikiran bagi para peneliti lebih lanjut pokok permasalahan yang diteliti.
c. Tulisan ini diharapakan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan.
2. Kegunaan Praktis
a. Diharapkan menjadi kontriusi pemeikiran bagi para dosen, guru dan orang-orang yang bergerak dibidang Pendidikan Islam.
b. Diharapkan menjadi masukan bagi para dosen, guru-guru dan orang-orang yang bergerak dibidang pendidikan dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik dan peserta didik.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Islam
Sebelum membahas tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas “pendidikan” Menurut M.J. Langeveld; “Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum dewasa kepada kedewasaan”. Ahmad D. Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan atau melimpahkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.
Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani. Manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan (domain) dalam perkembangan manusia.
Filosofis menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; Pendidikan Islam, kristen, liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang dewasa secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang yang belum dewasa. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan.
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Adapun menurut Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.
Pandangan ini, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Islam bukan sekedar “transper of knowledge” ataupun “transper of training”, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, dapat dikatakan Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok Pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena Pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam Alquran dan hadis.
Jadi, dapat dikatakan bahwa konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya “mencerdaskan” semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Maka Pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, Pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah swt dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses ke arah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadis Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan “potensi” tertentu. Sejalan dengan firman Allah dalam Q.S ar-Ru>m/30:30.
         ••             ••   
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan “membawa potensi” yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima “secara pasif” pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung “potensi bawaan” aktif (innate patentials, innate tendencies) yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah. Bahkan dalam Alquran, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan “transaksi” atau “perjanjian” dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah Q.S. al-A'raf/7:172.
                         •    

Terjemahannya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa “potensi keimanan” terhadap Allah atau disebut dengan “tauhid”. Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam Alquran banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya. Q.S. al-Baqarah/2:286.
                                            •           

Terjemahnya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”

Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah. Sejalan dengan firman Allah Q.S. al-Ahzab/33:7.
   •               

Terjemahnya:

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.

Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain Q.S. Fa>thir/35:18.
                                      

Terjemahnhya:

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, dan kepada Allahlah kembali(mu).

Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-Baya>n (fasih perkataan-kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik.
Bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang di bawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia muslim yang baik. Ketiga, profil manusia muslim. Profil dasar seorang muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning)
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa “potensi bawaan” seperti potensi “keimanan”, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut Alquran dan hadis sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu (dunia–akhirat) dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya Pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program Pendidikan Islam lebih banyak menyempit kepelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut Alquran dan hadis (ajaran Islam).

B. Konsep Masyarakat Madani
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademik di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. Dalam bahasa Inggris yang lebih dikenal dengan sebutan “civil society”. Sebab, “masyarakat Madani”, sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-mada>ni. Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai “area tempat berbagai gerakan sosial” seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual serta organisasi sipil dari semua kelas seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralism). Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah “masyarakat madani” ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah terdiri dari kata “para” dan “madinah”, dan atau “parama” dan “dina”. Maka, secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah agama “dina” yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban madani.
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani attributive dari kata al-Mada>ni. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw., dalam masyarakat tersebut nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah masyarakat agama dan masyarakat madani memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad saw di Madinah, yang berarti “kota peradaban”, yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki “kemandirian aktivitas warga masyarakatnya” yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan (pluralism), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan prevalence of force adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan “kebaikan dari dan untuk bersama”. Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan the tendency to equalize the share of utility. Keenam, jika masyarakat madani “ditujukan untuk meraih kebajikan umum” the common good, kujuan akhir memang kebajikan publik the public good. Ketujuh, sebagai “perimbangan kebijakan umum”, masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan “piranti eksternal” untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan seigniorial or profit. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat a beneficial power. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin.
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka “warna”, bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat “multi-kuota” a multi quota society. Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh nabi saw yang relatif memenuhi syarat tersebut.
Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.

C. Desain Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Mada>ni
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Selama ini, upaya pembaharuan Pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal Pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas.
Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. a) konsep dan praktek Pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep Pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. b) lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep Pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam.
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia (hakekat) kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis. Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan Pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoretis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan Pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat Alquran dan hadis yang menyangkut dengan “fitrah” atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat Pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar Pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jika kondisi-kondisi lingkungan (sosial-kultural) diperhatikan. Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan Pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial-cultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoretis yang kuta, maka perubahan Pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti.
Konsep dasar filsafat dan teoretis Pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks “masyarakat madani”, maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut (masyarakat madani). Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya (ignorance) akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan “masyarakat madani” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya menuju “masyarakat madani”. Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan “masyarakat madani” yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoretis Pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju “masyarakat madani”, Pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut: (a) pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah swt.; (b) pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku “toleransi”, lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini; (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan; (d) pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur; (e) Pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum (non-agama) dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya (hasilnya) serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga Pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju “masyarakat madani”, lembaga-lembaga Pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional.






















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia menurut ajaran Islam, filsafat dan teori Pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan Pendidikan Islam adalah filsafat dan teori Pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan (sosial-kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani.
2. Masyarakat madani merupakan suatu wujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, ke arah masyarakat madani yang dicita-citakan.
3. Konsep dasar Pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas “masyarakat madani” yang dicita-citakan bangsa ini.



B. Implikasi
Dari hasil penelitian yang menunjukkan “pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani (tinjauan filosofis)” yang merupakan suatu konstribusi yang dapat di berikan kepada para pihak yang terus berusaha dalam memperbaiki pendidikan Islam ke depan, sehingga pada bagian akhir penulis mengemukakan beberapa rekomendasi atau implikasi penelitian sebagai berikut:
a. Pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia menurut ajaran Islam, filsafat dan teori Pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya.
b. Menyarakat madani merupakan suatu wujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya.
c. Sebaiknya konsep dasar Pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani.











DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Masykuri. Islam dan Masyarakat Madani. Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari 1999.

________. Masyarakat Madani. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1999.

Achwan, Roihan. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991.

Ahmadi, Abu., dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.

an-Bahlawi, Abdurrahman. Us}hu>l Tarbiyah Isla>miya>h wa Asa>libiha> fi> Ba>iti wal Madrasati wal Mujtama'. Cet. II; Beiru-Libanon: Da>r al-Fikr al-Mu'asyir, 1983. Terjemahan Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, t.tp., Gema Insani Press, 1995.

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem & Metode. Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Depatemen Pendidikan Nasional RI., Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

D. Marimba, Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. III; Bandung: al-Ma'arif, 1974.

Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts fi> Madz}ha>b al-Tarba>wy 'Inda Ghaza>ly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terjemahan., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep Pendidikan al-Ghazali. Cet. I; Jakarta, P3M, 1986.

Gaffar,. Perencanaan Pendidikan, Teori dan metodologi. Jakarta: P2lptk, 1999.

Hamim,Thoha., Islam dan Masyarakat Madani (1) HAM, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, Koran Harian “Jawa Pos”, Kamis Kliwon, Tanggal, 11 Maret 1999.
Hidayat, Komaruddin. Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani. Makalah “Seminar Nasional dan Temu Alumni”, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September 1998.

Husain, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf. Crisis Muslim Education. Terjemahan. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, t.tp., Risalah, 1986.

Jalaluddin,. Teknologi Pendidikan. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Jasin, Anwar. Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis. Jakarta: Conference Book, London, 1978.

Karim, M. Rusli. Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Kartono, Kartini. Urgensi Masyarakat Madani dalam Membangun Peradaban. Cet. I; Yogyakarta: Insani Perss, 1997.

Khun, Thomas S. The Structure Of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Cet. III; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah “Seminar Nasional dan Temu Alumni”, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", tanggal, 25-26 September 1998.

Muslim Usa (editor), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Repubklik Indonesia, “Undang-Undang No. 02 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional”. www.legalitas.org (tanggal 10 Januari 2009).

Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku: Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, editor: Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Cet. I; Magelang: Tera Indonesia, 1998.

________. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Zuhairini, dkk,. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

0 komentar:

Posting Komentar