Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 27 Oktober 2010

Manthu>q Wa Mafh}u>m (Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)

Manthu>q Wa Mafh}u>m
(Dalil-Dalil Hukum Secara Tersirat dan Tersurat)
Oleh:
Abu Muslim
Fitriyani
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar

Belakang Masalah

Nash Alquran dan sunah itu dengan bahasa Arab. Dengan bahasa Arab inilah orang memahami hukum. Dengan bahasa Arab inilah terdapat pemahaman yang benar. Yaitu apabila diresapkan cara-cara dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam bahasa Arab. Serta jalan-jalan yang menujukkan, yaitu apa yang diajukan oleh lafaz-lafaz, baik yang mufrad maupun yang murakab (kata-kata yang berdiri sendiri maupun kata-kata yang tersusun). Dalam hal ini us}hu>l mengatakan, metode-metode bahasa Arab yang sudah diterapkan, ibarat-ibaratnya, mufrad-mufradnya itu, di sini orang minta bantuan kepada ketetapan ini. Dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh ahli-ahli bahasa dan baris-barisnya.
Di samping dengan hal-hal yang berlaku untuk memahami hukum-kukum dari nash-nash syari’at. Disesuaikan apa yang dipahamkan itu, di antaranya nas-nas yang terdapat dalam bahasa Arab itu sendiri. Juga dihubungkan dengan penjelasan-penjelasan tentang apa-apa yang tidak berdasarkan nas}-nas dan membuang yang bertentangan menurut zahirnya, serta mentakwilkan apa-apa yang ditunjukan oleh dalil terhadap yang ditakwilkan itu. Selain ini, juga apa-apa yang bersangkutan dengan penggunaan nas}-nas} hukum.
Adapun dalam melakukan ist}inba>t hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat, yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi memperhatikan juga yang tersirat seperti isyarat yang terkandung di balik lafal nash serta begitu pula dengan dala>lahnya.
Berkenaan dengan cara penujukan dala>lah lafal nash, ternyata dikalangan ulam us}hu>l terdapat perbedaan cara/metode yang mereke tempuh, paling tidak terdapat dua kelompok mazhab yang berbeda, yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Mutakallimin yang diwakili oleh Mazhab Syafi’i.
Untuk lebih jelasnya tentang lafaz dalil-dalil hukum, metode jumhur ulama yang berkaitan dengan manthu>q wa mafh}u>m akan dibahas pada makalah ini pada bab berikut.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana memaknai dila>lah?
2. Bagaimana metode jumhur berhujjah dengan dila>lah Mantu>q wa Mafh}um?

II. PEMBAHASAN

A. Pembahasan Umum tentang Dila>lah
Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri.
Kata “sesuatu” yang disebutkan dua kalinya disebut “dalil” / دليل (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Dalam kalimat “asap menujukkan adanya api”, kata “api” disebut madlu>l sedangkan “asap” yang menujukkan adanya api disebut dalil.
Pembahasan tentang “dila>lah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan us}hu>l fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dila>lah.
Di dalam Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh juga dijelaskan bahwa:
اَاْلدَلاَلةُ ماَ يَقْتَضِيْهِ الْلَفْظُ عِنْدَاْ لإِطْلاَقِِ
Dala>lah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara manthu>q.
Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
1. Dila>lah lafzhiyah/ الدلالة اللفظيه(penunjukan bentuk lafaz) yaitu dila>lah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menujukan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit, meskipun tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dila>lah seperti disebit “thabi ‘yyah (طبيعيه) ; secara lengkap biasa disebut dila>lah lafzhiyyah thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه)
b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan sacara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عقليه) secara lengkap biasa disebut “dila>lah lafzhiyah ‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية)
c. Melalui “istilah” yang dipahami dan dipahami bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadhi’yah (وضعية); secara lengkap biasa disebut dila>lah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية الو ضعية)
Dari berbagai ketiga bentuk dila>lah diatas, dila>lah bentuk © (melalui istilah) yang paling dominan dibicarakan dalam us}hu>l fiqh, Karena itu akan dibahas secara lebih rinci.
1) Mut}a>biqiyyah (مطا بقية), yaitu bila istilah digunakan sebagai dila>lah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut. Contoh istilah “binatang yang mengeong” untuk “kucing” merupakan istilah yang lengkap dan memenuhi syarat ajmi’-mani (pargenus et differentium) dalam suatu istilah.
2) Tad}ammuniyah (تضمنيه), yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dila>lah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menujukkan maksud yang dituju. Umpamanya kata yang mengeong” yang hanya berbentuk unsur “fasal” dalam istilah, tetapi semua orang sudah tau maksudnya bahwa itu “kucing”.
3) Iltiza>miyyah ((لتزاميه, yaitu bila dila>lahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut, melalui penyebutan sifat yang lazim itu orang mengatahui bahwa apa yang dimaksud. Umpamanya menggunakan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4. ‘Bilangan genap” bukanlah arti sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu sebenarnya 2+2 atau 6-2 atau yang lainnya. Penggunaan ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan merupakan arti sebenarnya.
2. Dila>lah Ghairul Lafzhiyyah (دلاله غير لفظيه)atau dila>lah bukan lafaz, yaitu dali>l yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang yang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tampa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dalam sendirinya dari rasa takut. Penujukan seperti ini disebut “thabi ‘yah”. secara lengkapnya:
b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Umpamanya asap yang mengempul dari sesuatu menujukkan asap api di dalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan asap dimana ada asap pasti disitu ada api penujukkan dalam bentuk ini disebut (دلالة غير لفظيه عقلية)
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan nama seseorang menujukkan bahwa itu sudah melakukan ibadah haji. Hal itu dapat diketahui karena sudah menjadi kebisaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada yang mengatakan bahwa ia sudah haji, namun dari adanya huruf H di depan namanya, maka semua orang tahu bahwa ia sudah haji.
Kedua bentuk dila>lah di atas (dila>lah lafziyah dan dila>lah gairu lafzhiyah), selain dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu Us}hu>l fiqh, meskipun diantara meraka ada perbedaan dalam menggunakan peristilahannya.
Bentuk dila>lah yang luas penggunaanya adalah dila>lah lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dila>lah dengan “diam” dalam dila>lah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penujukannya terhadap hukum, tetapi mengandung banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama us}hu>l fiqh. Sebagaimana yang akan diabahas berikut ini tentang metode jumhur dalam penggunaan dila>lah lafzhiyah dan gairu lafzhiyah
B. Manth}u>q wa Mafhu>m
Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Muhammad Jawa>r Mugniyah yang berjudul Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d membangi dala>lah menjadi dua bagian yaitu mantu>q wa mafh}u>m. Begitu pula pandangan Ulama Syafi’i membagi dila>lah menjadi dua mant}u>q wa maf}hu>f.
1. Mant}u>q
Secara bahasa المنطوق isim maf’ul dari kata نَطَقَ fa>il dari kata الَنَا طِقُ fi>il mud}a>riy dari kata يَنْطِقُmas}dar dari kata نُطقًا yang berarti تكلم (sesuatu yang diucapkan). Sedangkan menurut istilah us}hu>l fiqh mant}u>q berarti pengertian harfiyah dari suatu lafaz yang diucapkan. Adapun dila>lah mant}u>q dalam pandangan ulama Syafi’ah yang dikutip dalam bukunya Amir Syarifuddin adalah:
دَلاَلَةُ الّلفْظِ فِىْ مَحَلِّ اْ لنُّطْقِ عَلَى حُكْمِ اْ لمَذْ كُوْرِ
Penujukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu.

Menurut ulama us}hu>l fiqh, mant}u>q dibagi kepada mant}u>q sharih dan mant}u>q gairu sharih. Mant}u>q sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti dikemukan oleh Mustafa Sa’id al-Khin, ialah:
ما و ضع اللفظ له، فيدل با لمطا بقة أو با لتضمين
Makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafaz sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh baik berupa bagiannya.

Misalnya firman Allah dalam QS. An-Nisa>(4):3:

                              

Terjemahnya

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat tersebut, mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat-syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja manth}u>q sharih dikenal dengan ‘Ibarat al-Nas dikalangan ulama syafi’yah. Berdasarkan penegrtian dan pembagian dila>lah manth}u>q menurut syafi’i maka mant}hu>q sarih dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1) Mut}a>baqah, yaitu mant}hu>q yang secara jelas menujuk kepada makna yang dikehendakinya secara keseluruhan (sempurna). Misalnya. Lafal al-insa>n yang bermakna al-H}ayawa>n an-na>tiq (hewan yang berpikir). Atau lafal shalat yang menujukkan kepada ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
2) Tadammuniyah, yaitu hal yang secara jelas menujuk pada sebagian makna yang dikehendakinya. Misalnya lafaz al-bai’ yang dipahami oleh orang yang mendengarnya sebagai barang yang diperjualbelikan saja atau harganya saja.
Adapun yang dimaksud dengan mant}hu>q gairu sarih sebagaimana yang telah dijelaskan di atas ialah lafaz yang secara tidak jelas makna yang dikehendakinya. Mant}u>q ini terbagi atas tiga bagian sebagai berikut:
a. Dala>lah al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditujukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Misalnya firman Allah QS. An-Nu>r (24):2.
• •  •                         
Terjemahnya
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat ini menujukkan bahwa perzinaan menjadi sifat illat hukum dera. Seandainya perzinaan itu bukan menjadi illat bagi hukum dera, tentu tidak perlu menyebutkannya beserta dengan hukumannya. Karena, perzinaan itu diketahui sebagai illat hukum melalu syarat (ima>), maka disebut dila>lah ima>. Ini adalah bagian dari ‘ibarah al-nash di kalangan Hanafiyah.
b. Dala>lah isyarah, suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pegertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mant}u>q, maka hukum yang ditarik melalui dala>lah al-Isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh manthu>q secara tegas. Contohnya firman Allah QS. al-Ahqa>f (46):15.
   •           •  •                                 

Terjemahnya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Dan firman Allah QS. al-Luqman (31):14
     •            
Terjemahnya

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Mant}hu>q ayat pertama menjelaskan jumlah masa kandung dan masa menyusukan selama tiga puluh bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan dua puluh empat bulan (2 tahun). Hal itu menujukkan (dala>lah isyarah bahwa sisanya, yaitu 6 (enam) bulan adalah masa minimal dalam kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya ayat, tetapi merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari dua ayat tersebut. Dila>lah isyarah atau isyarah an-nas dikalangan hanafiyah.
c. Dala>lah iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemehaman) pada redaksi tertetu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adannya penyisipan itu. Abu Zahrah secara sederhana mendefenisikan sebagai berikut sebagaimana yang dikutib dalam kamus us}hu>l fiqh:
دَلاَلَةُ اللَّفظُ عَلىَ كُلِّ اَمْرٍ لاَ يَسْتٌَِيْمُ المَعْنَى اِلاَ بِتَقْدَيْرِهِ
Penujukan lafal kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tampa memunculkannya.

Contohnya firman Allah QS. Yu>suf (12): 82.
   •         
Terjemahnya
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".

Menurut zahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaiman mungkin bertanya kepada “kampung” yang bukan mahkuk hidup. Karenanya dirasakan mamunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.

2. Mafh}u>m
Secara bahasa kata مَفْهُوْمْ berasal dari kata فَهِمَ isim masdar dari kata اَلْفَهْمُ yang berarti “tersirat” atau sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafh}u>m muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari penegertian lafal yang dicapkan (mafh}u>m mukhalafah).” Mafh}u>m menurut mayoritas ulama us}hu>l fiqh, seperti yang tergambar dalam defenisi di atas dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafh}u>m muwafaqah, dan mafh}u>m mukhalafah.
1) Mafh}u>m Muwa>faqah, adalah mafh}u>m yang lafalnya menujukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan lafal.
ماَكَاَنَ اْلمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَا فَقًا لِلْمَنْطُوْقِِ
Petunjuk lafal kepada bersamaan hukum yang tidak disebut dan yang disebut.
Dala>lah mafh}um muwa>faqah adalah pengertian yang menujkkan lafal kepada berlakuknya suatu arti hukum disebutkan oleh lafal dalam suatu peristiwa yangtidak disebutkan hukumnya oleh lafal yang disebutkan karena keduanya terdapat persamaan ‘illat. Illat hukumnya semata-mata dipahami dari segi bahasa dari lafal tersebut dan bukan diambil dengan jalan ijtihad.
Sedangkan dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan mafh}u>m muwafaqah terbagi dua, yaitu:
a. Maf}hu>m au>lawi> ( مفهوم الاولوي) atau disebut juga فحوى الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada mantu>qnya. Umpamanya firman Allah QS. al-isra> (17): 23
        •  •                 


Terjemahnya

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

Maksudnya memukul orang tua adalah haram sebagaimana hukumnya mengucapkan kata “ah”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar ‘ah”.
b. Mafh}u>m musawi> (مفهم المسوي) atau disebut juga لحن الخطاب, yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan pada manthu>q. Contohnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 10.
•              
Terjemahnya

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Mantu>q dari ayat tersebut menujukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafh}u>m muwafaqah-nya tampa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan sebagainya, adalah haram hukumnya.
Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafh}u>m muwa>faqah. Hanya kalangan Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafh}u>m sebagaimana juga menolak menggunakan qiya>s, karena menurut mereka mafh}u>m muwa>faqah dalam hal ini sama dengan qiya>s.
2) Mafh}u>m Mukhalafah, menurut jumhur ulama us}hu>l fiqh, adalah penujukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafh}u>m Mukhalafah didapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu, sehinggah hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama us}hum Mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum.
Menurut pandangan mazhab Hanafi, mafh}u>m mukha>lafah tidak dapat dimasukkan dalam kategori methodologi penafsiran nas-nas Alquran dan hadis. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka tidak menggunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai metodologi dalam memahami hukum-hukum Islam, karena faktor-faktor sebagai berikut:
a. Nas-nas syara’ telah menujukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunkannya mafh}u>m mukha>lafah. Contoh dalam QS. al-Taubah (9): 36.
•                                    •    



Terjemahnya

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Jika menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, maka dapat dipahami bahwa perbuatan zalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain pada empat bulan tersebut perbuatan zalim tidak diharamkan. Padahal perbuatan zalim itu diharamkan sepanjang masa (selama-lamanya).
b. Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nas Alquran dan hadis bukanlah untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan. Misalnya firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
           
Terjemahnya

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa apabila sifat (qayd) tersebut idak ada, maka menurut mafh}u>m mukha>lafah, suami tersebut halal menikahi anak tirinya. Akan tetapi ternyata Alquran tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, bahkan untuk menjelaskan halalnya seorang suami menikah dengan anak tirinya, disebutkan dengan jelas dalam Alquran sebagai kelanjutan ayat di atas yang bersembunyi sebagai berikut:
فَاِنْ لَمْ تَكُوْ نُوْا دَحَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَا حَ عَلَيْكُمْ
Terjemahnya
Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya”

Sedangkan sifat pertama dalam ayat di atas tidak mungkin didekati dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, yakni bila anak tiri tersebut tidak ada dalam pemeliharaan suami. Hal ini adalah bertentangan dengan ijma’ ulama (selain ibn Hazm dan mazhab Zhahiriyah) yang menyatakan bahwa sifat yang pertama di atas bukanlah untuk membatasi hukum (qayd), tetapi semata-mata bertujuan seorang suami tidak menikahi anak tirinya yang pada umumnya ia pelihara.
c. Menurut jumhur ulama, bahwa suatu hukum itu pada umumnya mempunyai sebab illat dan illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nas. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan qayd itu sunyi dari hukum yang dijelaskan dalam nas. Sehinggah secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan karena terkadang hukum itu tidak mempunyai illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafh}u>m mukha>lafah.
Demikian pandangan Hanafi. Sebagai konotasi logis dalam pandangan tersebut, dalam menetapkan hukum dari nas Alquran dan hadis mereka menggunakan mafh}u>m mukha>lafah, tapi hanya menggunkan dila>lah yang berorientasi pada manthu>q atau yang berhubungan dengannya. Pandangan Hanafi tersebut menandakan adanya sikap berhati-hati dalam menetapkan hukum yang bersumber dari nas Alquran dan hadis. Dan itu sikap yang baik. Akan tetapi mazhab Syafi’i, Maliki dan manyoritas ulama-ulama Hambali mempunyai pandangan lain, yaitu; bahwa suatu batasan (qayad) yang disebutkan dalam nas Alquran dan hadis, tentu mempunyai sebab.
Dalam mempergunakan mafh}u>m mukha>lafah sebagai salah satu metode penggalian hukum, mereka (mazhab Syafi’i, Maliki, dan mayoritas mazhab Hambali)berhujjah, bahwa mafh}u>m mukha>lafah adalah sesuai dengan logika yang benar karena sifat, syarat dan tujuan. Tidak mungkin disebutkan tampa tidak adanya sebab. Bila tidak demikian, niscaya menyebutkan sifat, syarat, dan tujuan tersebut akan sia-sia. Jika dalam menyebutkan sifat, syarat dan tujuan tersebut tidak dimaksudkan dengan dorongan (targhib), atau peringan (tarhib), atau agar dijauhi (tanfir), maka penyebutan hal tersebut hanyalah untuk membatasi suatu hukum dengan suatu qayyid. Dengan demikian, suatu nas} itu sekaligus dapat menujukkan pada hukum aktif dan fasif.
Adapun Abdul Wahab Khallaf membagi Mafh}u>m Mukhalafah kepada lima, yaitu:
a) Mafhu>m washaf, ialah menetapkan hukum dalam bunyi manthu>q suatu nas yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafaz, dan jika sifat itu telah hilang maka terjadilah kebalikan hukum tersebut. seperti firman Allah QS. an-Nisa> (4): 23.
وَحَلاَ ئِلُ اَبْنَا ئِكُمْ الَّذِ يْنَ مِنْ اَصْلاَبِكمْ

Terjemahnya
Dan diharamkan bagimu isteri-isteri kandungmu dan menantumu.

Mafh}u>m Mukhalafah dari ayat ini adalah hal anak-anak yang bukan berasal dari sulbi sendiri, tetapi anak susuan.
b) Mafhu>m ghayah, bermakna batasan maksimal adalah petunjukan lafal yang memfaedakan sesuatu hukum sampai kepada batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang telah ditentukan maka berlaku hukum sebaliknya. Seperti firman Allah QS. al-Baqarah (2): 230.
                    •            

Terjemahnya

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini adalah bahwa larangan menikah dengan wanita yang telah ditalak tiga itu memiliki batas tertentu, yaitu sampai istri tersebut menikah dengan laki-laki lain. Jika istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, maka boleh dinikahi lagi oleh bekas suaminya.
Para ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menetapkan hukum syara’ berdasarkan mafh}u>m al-gha>yah ini. Sementara itu, mazhab Hanafi dan sebagian fuqaha> tidak mau menggunkan mafh}u>m al-gha>yah dan mafh}u>m yang lain untuk menetapkan hukum yang lain untuk menetapkan hukum syara’. Berkenaan dengan ayat menjelaskan tentang talak tiga mereka berpendapat, bahwa hukum asal, adalah memperbolehkan menikahi istri yang telah ditalak tiga, demi kemaslahatan istri tersebut. Sedang larangan tersebut dibatasi (diberi qayd) dengan suatu batasan atau waktu yang berlangsung selama batas waktu tersebut masih ada. Jika batas waktu tersebut telah hilang maka kembali halal. Mafh}u>m al-gha>yah ini diterapkan pula dalam undang-undang moderen dan peraturan pemerintah.
c) Mafh}u>m syarat, adalah petunjuk lafal yang memfaedakan adanya hukum yang menghubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafal itu. Contohnya firman Allah QS. ath-Thalaq/ 65: 6.
وَاِنْ كنَّ أُو لَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ
Terjemahnya

Dan jika istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya.

Mafh}u>m mukhalafah dari ayat ini ialah jika istri-istri itu tidak hamil. Karena hukum yang disebut oleh lafal ayat di atas (dala>lah mantu>qnya) yakni wajib memberi nafkah istri yang ditalak dalam keadaan hamil sampai melahirkan kandungannya, sehinggah kehamilan bagi istri yang ditalak menjadi syarat adanya kewajiban bekas suami memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syaratnya tidak wajib bagi bekas suami memberikan nafkah kepada istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil.
d) Mafh}u>m adad, petunjuk lafal yang memberi faedah suatu hukum ketika dikaitkannya dengan suatu bilangan, kapada lawan hukum pada yang lain bilangan itu. Contoh firman Allah QS. an-Nu>r (24): 4.
فَا جْلِدُوْ هُمْ ثَماَنِيْنَ جَلْدَةً

Terjemahnya

Maka deralah mereka delapan puluh deraan.

Mafh}u>m mukhalafah ayat ini paling sedikit dera itu delapan puluh kali. Hukuman dera yang dikenakan pada orang yang berzina (gairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafal ayat di atas yaitu seratus kali. Maka dengan demikian mafhm>, adadnya tidak memadai mendera orang berzina (gairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali dan tidak boleh lebih dari itu.
Akan tetapi mazhab Hanafi tidak menetapkan hukuman tersebut berdasarkan mafh}u>m mukha>lafah, Hanafi didasarkan pada ketetapan jumlah bilangan hukuman tersebut. Misalnya kafarat zhihar adalah puasa enam puluh hari berturut-turut. Tapi jika tidak mampu, diganti dengan memberi makanan enam puluh orang miskin, tidak boleh kurang, Jika kurang, maka berarti ia belum Membanyar kafarat, apabila lebih maka kelebihannya tidak dimasukkan dalam kategori kafarat, tapi merupakan shadaqah atau puasa sunnat yang diperbolehkan. Adapun penambahan dalam hukuman, berarti berbuat aniaya. Sedangkan menguragi, berarti meniadakan sebagian hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah swt., dan telah menjadi hak-Nya. Dengan demikian menambah hukuman berarti menyalahi hak manusia, sedang mengurangi hukuman berarti menyalahi hak Allah swt., yang kedua-duanya tidak dibolehkan.
e) Mafh}u>m lugab, ialah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nas. Seperti firman Allah QS. an-Nisa> / 4: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَا تُكُمْ

Terjemahnya

Diharamkan kepadamu mengawinkan ibu-ibumu.

Mafh}u>m mukhalafahnya ayat ini adalah selain dari ibu-ibu.
Sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lagab yang timbul dari sifat dapat diambil mafh}u>m mukha>lafahnya, karena hal tersebut tidak jauh dari mafh}u>m al-wasfi, sebagaimana yang dijelaskan. Akan tetapi jumhur fuqaha berpendapat, bahwa mafh}u>m al-lugab tidak dapat diambil mafh}ulafahnya, karena tidak ada sesuatu yang menujukkan batasan (qayd).
III. PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Dalil-dalil hukum” dan kaitanya dengan manthu>q wa mafh}u>m. Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Arti dala>lah (الد لا له ) secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu.” Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlu>l” مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubunganya dengan hukum, yang disebut madlu>l itu adalah ‘hukum” itu sendiri. Ditinjau dari segi bentuk dali>l yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dila>lah itu ada dua macam, yaitu: dila>lah lafzhiyah dan dila>lah ghairuh lafzhiyah.
2. Manthu>q secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan” sedangkan dalam istilah ush}u>l fiqh berarti pengertian harfiah suatu lafal yang diucapkan. Menurut ulama us}hu>l fiqh manth}u>q terbagi atas dua yaitu manth}u>q sharih dan manth}u>q gairu sharih. Adapun manth}u>q gairu sharih terbagi lagi atas tiga bagian yaitu: 1). Dala>lah al-ima’; 2). Dala>lat al-isyarat; 3). Dala>lat al-Iqtida’
3. Mafh}u>m secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dalam suatu teks, dan menurut istilah pengertian tersirat dalam suatu lafal. Mafh}u>m ini mempunyai dua bagian yaitu mafh}u>m muwa>faqah dan mafh}u>m mukha>lafah. Kemudian mafh}u>m mukha>lafah ini terbagi lagi yaitu: 1) Mafhu>m washaf; 2). Mafh}u>m gayah; 3). Mafh}u>m syarah; 4). Mafh}u>m lugah; 5). Mah}u>m adad.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik et.al., Ensklopedi Tematis Dunia Islam. jil. 3. Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 2002.

Azis Dahlan, Abdul et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jil. 3. Cet. I; Jakarta: PT. Ichtir Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya. Cet. X; Bandung: Diponegoro, 2006.

Effendi, Satria. Us}hul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2005.

Ibnu Fa>ris, Ah}mad. Mu’jam Maqa>siy al-Lugah. Juz. V. Cet. II; Baerut: Dar Fikr, 1972M/1392H.

Jumantoro,Totok. dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. I; t.t.; Amzah, 2005.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. XII; t.t, Lit}ba> ‘at wa Nasyar wa Tawzy, 1978 M/1398 H.

Syarifuddin, Amin. Us}hu>l Fiqh, Jilid II. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mugniyah, Muhammad Jawa>r. Ilmu Us}hu>l Fiqh fi> S|u>bihi> al-Jadi>d . Cet. I; Baerut: Da>r Ilmi lil Mukayyin, 1975.

al-Manz}u>r, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab. jil. X, Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.
Romli. Muqa>ranah Maza>hib fil Us}hu>l. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Zahrah, Abu. Us}hu>l al-Fiqh, terj. Saefullah Mas’hum, et. al., Us}hu>l Fiqh. Cet. V; t.t.: Pustaka Firdaus, 1999.

al-Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Waji>z fi> Us}hu>l al-Fiqh. Cet. II; Baerut-Libanon: Dar Fikr, 1995.

0 komentar:

Posting Komentar