QAWA
Qawa>id merupakaan bentuk jama’ dari lafaz kaidah yang menurut bahasa artinya asas atau dasar. Sekarang ini kaidah telah menyatuh dengan bahasa Indonesia, yang berarti aturan atau patokan.
Menurut ahli nahwu, kaidah berarti, yaitu:
االحكم الكلي المنطبق على جميع جز ئيا ته
“Hukum Kulli yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya”.
Sifat-sifat hukum-hukum kulli memerlukan suatu sifat yang harus ada padanya, yaitu “bahwa hukum-hukum ini satu sama lainnya hampir bersamaan di dalam segala syari’at, baik dalam hukum Romawi, Barat dan hukum Islam.
Oleh karena hukum-hukum juz’i berupa illat dan sebabnya haruslah hukum-hukum itu diikuti oleh kaidah-kaidah kulliyah.
Ulama-ulama dalam berijtihad, memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari perinsip-perinsip undang-undang baru di zaman modern ini, namun nama dan istilahnya berbeda-beda.
Kaidah-kaidah ini bertujuan memilihara ruh Islam dalam membina hukum mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, baik dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Oleh karena amat pentingnya kaidah-kaidah ini dan besar pengaruhnya dalam membina hukum, serta senantiasa digunkan para ahli hukum kita dari setiap mazhab. Kaidah-kaidah kulliyah meangumpulakan hukum juz’i yang bersamaan illat dan sebabnya, maka kaidah itu oleh sebagian ulama dinamakan qawa>id (kaidah-kaidah).
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengerti lebih baik pokok permasalahan, penulis mencoba membatasinya dalam rumusan masalah:
1. Bagaimana memaknai kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
2. Bagaimana aplikasi kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
3. Bagaimana kaidah-kaidah turunan yang dihasilkan dalam kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Arti dari kaidah tersebut adalah kenyakinan itu tidak bisa hilang karena keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang dinyakini keberadaanya tidak dapat hilang, kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai syak (tidak qath’i).
Adapun yang dimaksud dengan اليقين ) ) ialah:
هُوَ مَا كاَنَ ثَا بِتاً بِا لنَّظَرِ اَوِ الدّلِيْلِ
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil.”
Dengan maksud pembatasan di atas dapat dipahami, bahwa seseorang dapat dikatakan telah menyakini terhadap perkara manakala terhadap perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancaindra atau dalil. Sebagaimana orang yang merasa hadats dari wudhunya dapat dinyakinkan bahwa hadatasnya itu dengan adanya angin yang keluar dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat didengar suaranya oleh teliga dan dapat dicium baunya oleh hidung, demikan pula orang yang merasa berbuat jarimah akan dapat dinyakinkan, bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jarimah karena adanya nas yang mengatakan demikian.
Sedangkan yang dimaksud (الشك) ialah:
هُو مَاكَا نَ مُتَر دِّدًبَيْنَ الشُبُوْتِ وَعَدِمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفِى الصَوَابْ وَاْلحَطاَءِِ دُُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِما عَلىَ ا لآخَرِ
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tampa dapat diterjihkan salah satunya.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah menyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah dinyakini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan-keraguan (hal-hal yang masih ragu-ragu). Seperti orang yang telah wudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah dinyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
Mengenai keraguan-keraguan ini, menurut asy-Syakh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam yaitu:
1. Keraguan-karaguan yang berasal dari haram. Misalnya ada seekor kambing yang disembelih di suatu daerah yang penduduknya campuran antara muslim dan majuzi. Maka selebihnya tersebut haram dimakan, karena pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui pada umumnya yang menyembeli adalah seorang muslim atau yang diketahui bahwa memang yang menyembelih itu benar-benar orang Islam (Muslim).
2. Keraguan-keraguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang. Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci.
3. Keragu-raguan atau sesuatu yang tidak diketahui asalnya. Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram, dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal. Maka keadaan seperti ini dibolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun terdapat kekhawatiran maka hukumnya makrih.
Perlu juga menjadi catatan, bahwa keragu-raguan (syak) dan sangkaan (dhan) itu pengaruhnya dalam hukum sama. Misalnya seseorang bertamu kerumah temannya. Kemudian telah sampai dirumahnya, kemudian rumah tersebut tertutup, lalu timbul dalam pikirannya bahwa “temanya ini, boleh jadi pergi dan mungkin. sebaliknya ia sedang tidur” hal seperti ini dikatakan keraguan (syak). Tetapi kemungkinan besar ia masih berada daalm rumah sebab kendaraanya masih ada di depan rumahnya”, hal seperti itu disebut dengan sangkalan (dhan).
Dasar-dasar pengabilan kaidah:
1. QS. Surah Yunus 10/ :36.
•
Terjemahnya
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
1. Hadis riwayat Muslim
اِذَاوَجَدَ اَحَدُ كُمْ فِي بَطْنِننهِ شَيْئًا فَاشْكَلَ عَلَيْهِ اََحْرَجَ مِنْهُ شَْيئٌ اَمْ لاَ فَلاَ يَْخْْرُُجْنَّ مِنَ اْلمَسْجِدِ حَتىَّ يَسْمَعُ صَوْتًا اَوْيَجِدُ رِيْحاً. (رواه مسلم)
Artinya
“Apabila seseorang diantara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid hingga mendaptkan baunya.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menujukkan adanya keraguan bagi yang sedang shalat atau menuggu (duduk di mesjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Oleh karena itu, kita dapat memprediksikan yang masuk ke mesjid telah berwudhu (bersuci). Ketika shalat berjamaah, ia ragu akan keabsahan wudhunya: batal atau tidak; orang tersebut tidak perlu membatalkan shalatnya sebelum mendapatkan bukti yang menyakinkan tentang ketidak abasahan wudhunya.
2. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
شَكىَ اِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَلرَّجُلُ يَحيِلُ اِلَيْهِ اَنَّهُ يَجِدُ اَلْشَيءَفِىْ الصََلاََةِ قَالَ لايَنْصَرِفُ حَتىَّ يسمعَ صَوتاَ اَوْ يَجِدَ ريحاً (واه البحاري ومسلم)
Artinya
Nabi mendapat pengaduan bahwa seeorang merasa bingun oleh sesuatu dalam shalatnya, janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau mendapatkan baunya (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadis tersebut berkata bahwa hadits tersebut merupakan salah satu dasar hukum Islam yang fundemental (ashl min ushul al-ahkam) dan melahirkan kaidah fiqh asasi. Atas dasar pertimbangan tersebut.
3. Hadis riwayat Turmuzi
قَوْلُه ُصلى الله عليه وسلم : اِذَ شَكَّ ا!حَدَُ كُمْ فىِ صَلاِتهِ فَلَمْ يَدْرِ كُمْ صلىّ، َ اَثَلاَُثاًت اَمْ اَرْ بَعَاً فَلْيَطْرَحْ اَلشَّكَّ َلْيَمِيْنَ عَلىَ مَا سَتَيَقَّنَ ثُمَّ يَجِدُسجدنبن قبل ان يلم (رواه الترمذى)
Artinya
Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada yang menyakinkan. (HR. Turmuzi)
Imam al-Turmudzi meriwayatkan hadis tersebut dari ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf tentang seseorang yang ragu mengenai jumlah rakaat shalat secara mendetail. mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Bila seseorang lupa tentang jumlah rakaat shalatnya: satu atau dua rakaat; Hendaklah yang dijadikan patokan adalah yang satu rakaat, bila ragu dua atau tiga rakaat; hendaklah yang dinyakini itu dua rakaat, bila ragu tiga atau empat rakaat maka yang dinyakini adalah yang tiga rakaat dan yang dijadikan patokan, dan sujudlah dua kali (sujud sahwi) sebelum salam.
Dalil aqli (akal) bagi kaidah kenyakinan dan keraguan adalah bahwa kenyakinan lebih kuat daripada keraguan; karena dalam kenyakinan terdapat hukum qath’i yang menyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dikatakan bahwa kenyakinan tidak boleh hilang dirusak karena keraguan.
4. Menurut logika
Kenyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab di dalam kenyakinan terdapat keputusan (hakim) yang pasti dan tidak hilang oleh keraguan.
B. Hasil aplikasi hukum kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Para fuqaha selalu memperkatakan bahwa kaidah ini dan selalu menybut-nyebutnya, karena hampir tiga per empat hukum fiqh ditakhrijkan daripada ini.
Masuk dalam kaidah ini apa yang dikatakan Al-Qara>fi dalam kitab Al-Furuq
كل مشكوك فيه يجعل كا المعدوم الذى يجزم بعد مه
Artinya
Segala yang diragui kepadanya dianggap sebagai barang tidak ada yang dipastikan ketidak adaanya.
Dinatara hukum-hukum aplikatif yang menjadi contoh peberapan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Apabila seorang menghilang dalam jangka waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka ahli waris tidak boleh membagi harta peninggalannya sebelum adanya kepastian mengenai kematiannya atau adanya keputusan hakim (pengadilan) mengenai kemetiannya berdaskan asumsi kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia disertai bukti-bukti kuat yang meandukung asumsi tersebut dan menetapkannya sebagai sebuah keyakinan; misalnya orang tersebut menghilang setelah berkecamuk perang, wabah penyakit atau gempa bumi dahsyat. Hal ini dikarenakan status orang tersebut sebelum meninggal merupakan hal yang terbantahkan dengan segala keyakinan, dan baru ketika menghilang muncullah keraguan akan status kehidupanya, maka dalam hal ini keraguan yang muncul belakangan tidak dapat menggugurkan hukum keyakinan.
2. Apabila ada dua orang melakukan perkongsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
C. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah pokok al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak
Adapun kaidah cabang dari kaidah pokok yang dihasilakan kaidah al-yaqi>n la> yasu>l bi al-syak ialah:
1. اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
“Yang menjadi pokok adalah tepatnya sesuatu pada keadaan semula”
Redaksi kaidah ini identik dengan dalil Is}tisha>b yang digunakan oleh ulama us}hu>l fiqh, yakni memperlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan atau telah ada pada masa yang lampau, sampai pada ketentuan lain yang mengubahnya.
Adapun dalil kaidah tersebut sebagai berikut:
اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُسْبِتَ مَا يُغَيِّرُهُ
“Pada asalnya sesuatu itu tetap menurut adanya, sehingga terbukti ada sesuatu”
Menurut kaidah ini, apabila seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum sesuatu perkara, maka diperlukan hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa yang telah lalu, sehingga sampai ada hukum lain yang meangubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat dinyakini.
Misalnya dalam bidang muamalat apabila seorang hakim menghadapi perkara yang terjadi karena suatu perselisihan antara seorang debitur dan kreditur, dimana debitur mengatakan bahwa ia telah melunasi hutangnya kepada kreditur, namun kreditur menolak perkataan si debitur tersebut, yang dikuatkan dengan sumpah. Maka berdasarkan kaidah ini, bahwa seorang hakim harus menetapkan bahwa hutang tersebut masih ada (belum lunas). Sebab yang demikian inilah yang dinyakini akan adanya. Keputusan ini bisa beruba manakalah ada bukti lain yang dinyakinkan yang menyakinkan bahwa hutang tersebut telah lunas.
2. اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
“Hukum dasar adalah kebebasan orang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa dia lahir dalam keadaan bebas belum mempunyai tanggungan apa pun, ini menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang dilakukannya setelah dia lahir.
Untuk itulah para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang diketemukan orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak sebab kemerdekaannya itu menjadi asal.
Menurut kaidah tersebut di atas, misalnya seseorang itu harus dimintakan bayyinah (keterangan) kepada yang menggugat, sebab ia menggugat sesuatu yang berbeda dengan asalnya. Apabila berselisih antara si penggugat dan si tergugat tentang harta yang dirampas atau dirusakkan, maka perbuatan yang diterima adalah perkataan orang yang harus membanyar, karena menurut asalnya, dia harus dibebaskan dari membanyar harga tambahan.
Contoh lain apabila seseorang menghadiakan sesuatu kepada orang lain dengan syarat memberikan gantinya, kemudian dia bertengkar dengan wujud penggantiannya, maka yang dibenarkan adalah perkataan orang yang menerima hadiah. Sebab menurut asalnya ia bebas dari tanggungan memberikan gantinya.
3. اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”
Kaidah ini menujukkan kepada kita, bahwa hukum-hukum yang ada dalam Islam itu pada asalnya tidak menyulitkan dan memberatkan kepada umatnya. Ini berdasarkan QS. al-Haj/22: 78.
Terjemahnya
Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Terjemahnya
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Memang dalil-dalil nas di atas lebih banyak dipahami dalam masalah bidang ibadah mahdah. Untuk itulah apabila kita kembali kepada kaidah di atas, misalnya kita ambil contoh bidang muamalah, seperti seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudha>rabah) melaporkan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan atau mendapatkan keuntungan, tetapi sedikit sekali, maka laporan yang akan menjalankan modal (mudharib) ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudaharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan hal yang sudah nyata, karena belum bertindak, sedangkan memperoleh keuntungan yang diharapkan merupakan hal-hal yang sudah pasti.
Contoh lain apabila Umar menyerahkan uang sebanyak Rp. 100.000,- kepada Mukhtar, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian dibagi dua. Selanjutnya selang beberapa lama, Ahmad menuduh bahwa Mukhtar telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut tetapi Mukhtar menyangkah tuduhan itu. Maka berdasarkan kaidah ini, yag dibenarkan adalah Mukhtar yang menyatakan tidak belum ada keuntungan. Sebab pada dasarnya tidak ada beban.
4. اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menujukkan keharamannya”
Kaidah ini merupakan kaidah yang dipegangi oleh Imam Syafi’i Beliau berpendapat “Allah itu Maha Bijaksana jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hambanya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa “Memang Allah Maha Bijaksana, tapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah swt. sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunkannya sebelum ada IZIN dari Allah. Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam hal ini, mengecualikan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam masalah satu ini, keduanya sepakat menghukuminya haram. Misalnya di dalam sebuah desa, ada sepuluh perempuan satu diantaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan seorang laki-laki, tetapi belum /tidak tahu manakah diantara sepuluh orang perempuan itu, yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut.
5. اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
“Pada asalnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”
Redaksi kaidah ini menujukkan kepada kita, apabila kita menemukan sesuatu yang membuat kita ragu-ragu, maka untuk menetapkannya adalah pada waktu terdekat dari peristiwa itu (pada waktu diketahuinya).
Contoh, seorang dokter dalam mengoperasi kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalamnya berhasil dengan sukses, bayi yang telah dikeluarkan dapat hidup dalam beberapa hari, tapi seminggu kemudian bayi tersebut meniggal. Maka dalam persoalan ini, sang dokter tidak bisa diminta pertanggungjawabannya. Sebab ada kemungkinan kematianya dikarenakan oleh sebab-sebab lain yang mendekati (lebih dekat) waktu-waktu kematiannya.
6. مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
“Barangsiapa yang ragu-ragu apakah sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut asalnya dianggap tidak pernah melakukan”
Maksudnya bahwa apabila seseorang ragu-ragu apakah ia telah mengerjakan pekerjaan atau belum, maka berdasarkan kaidah ini maka orang tersebut dianggap belum maengerjakan pekerjaan tersebut.
Contoh, apabila seseorang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, bahwa yang dimenangkan ialah yang belum berwudhu. Sebab belum berwudhu merupakan hukum asal, yakni manusia itu pada dasarnya lepas bebas sedangkan wudhu adalah salah satu bentuk beban.
7. مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ
“Barangsiapa telah yakin telah berbuat sesuatu, tapi ragu-ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”.
Contoh, dalam kaidah ini, yaitu apabila seseorang sedang shalat isya merasa ragu apakah telah mengerjakan empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka berdasarkan kaidah ini, yang dihitung ialah dia baru mengerjakan tiga rakaat dan harus menambah satu rakaat lagi.
8. اَلأَصْلُ فِىْ الْكَلاَ مِ الْحَقِقَةُ
“Hukum asli itu dalam memahami kalimat adalah makna hakikat”
Kaidah ini memebri maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya, yakni sebagaimana yang dimaksudkan sebagai pengertian yang hakiki. Kebalikan dari arti hakiki adalah majazi, yakni suatu arti yang berbeda dengan pengertian yang biasa, tetapi antara arti yang majaz dengan arti yang hakiki itu masih ada hubungannya, yang mengharuskan untuk mengartikan kepada arti yang majaz tersebut, bila ada qarinah (tanda) yang menujukkan kepada arti yang bukan hakikat. Selain itu kaidah ini menetapkan apabila terjadi suatu petrselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman ialah penafsiran menurut arti hakikat lafaz itu sendiri.
Dalam kaidah ini dapat diambil contoh, seumpama ada orang yang mengatakan: “Aku akan mewakafkan atau mewasiatkan sebagian hartaku ini buat anak si Ahmad”. Maka dalam hal ini perkataan ‘anak” harus diartikan anak dalam arti yang sebenarnya, bukan berarti cucu dan sebagainya.
9 لاَ عِبْر ة َ بِالظَّنِّ اَلْبَيِّنُ خَطَؤُ هُ
“Tidak dapat diterima/diperhitungkan suatu yang didasarkan pada dhan yang jelas salahnya”
Muksud dengan dhan alam kaidah ini adalah suatu pendapat yang lebih cendrung kepada tetapnya atau benarnya daripada tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan kaidah ini ialah: bahwa suatu keputusan hukum yang di dasarkan pada dhan, tetapi padanya jelas terdapat kesalahan, maka kebutuhan tersebut tidak berlaku /batal.
Misalnya apabila seorang debitur telah melunasi hutangnya, kemudian wakilnya atau penaggungnya (kafil) juga melunaasi hutan itu, sebab ia menyangka, bahwa hutang tersebut belum dilunasi, maka kafil (penanggung) yang melunasi hutang tersebut boleh meminta kembali uang yang di banyarnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang Qawaid Fiqhyyah Maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai beriku:
1) al-yaqi>n (keyakinan) adalah kepastian akan tetap tidaknya sesuatu, sedangkan asy-syakk (keraguan) adalah ketidak pastian antara tetap tidaknya sesuatu.
2) Adapun hasil aplikatif dari kaidah ini sangat luas, mencakup berabagai masalah-masalah fiqh diantaranya; Apabila ada dua orang melakukan perkonsian dalam bidang perdagangan, lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan atau laba, sementara pihak lainya menyatakan sebaliknya, namun masing-masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil adalah pendapat yang menyatakan tidak ada laba diseratai sumpahnya, karena prinsip awalnya memang tidak ada laba.
3) Adapun kaidah cabang yang dihasilkan yaitu:
• اَلأَْصْلُ بَقَا ءُ ماَكَانَ عَلَى مَا كَان
• اَلأَصْلُ بَرَا ئَةُ الذِّ مّةِ
• اَلأَصْلُ الْعَدَمُ
• اَلأَصْلُ فِْى اَشْيَاءِ اْلأِبَاَ حَةُ حَتِّى يَدُلَّ الَّد لِيْلُ عَلىَ التَحْرِيْم
• اَلأَصْلُ فِىْ كُلِّ حاَدِ ثٍ تَقْدِ يرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
• مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً أَمْ لاَ فَاْ لأَ صْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
• مَنْ تَيَقَّنَ الفِعْلَ وَ شَكَّ فِىْ القَلِيْلِ أَوِ اْاكَثِيْرِ حُمِّلَ عَلَى اْلقَلِيْلِ
DAFTAR PUSTAKA
ash Shiddieqy Hasbi. Falsafah Hukum Islam . Cet. 5; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993.
Burhanuddin. Fiqh Ibadah. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.
Hassan Abdul Qadir. Us}hu>l Fiqh. t.tp. Al-Muslimu>n, t.th.
Muhammad Azzam Abdul Azis. Qawa>id al-Fiqhnyah al-Isla>miyah. Mesir: Makatabah al-Risa>lah Dauliyah, 1998-1999.
Musbikin Imam. Qawaid Al-Fiqhiyah, Ed. I. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Syafe’i Rachmat. Ilmu Us}hu>l Fiqh. Cet. III; Jakarta: Pustaka Setia, 2007.
Washil Muhammad dan Muhammad Azzam. al-Madhul fi> Qawa>id al-Fiqhiyyah wa asruha> fi> Ahka>mi Syari>yah, Diterj. oleh, Wahyu Setiawan, Qawa>id Fiqhiyyah. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009.
Tak Ada Puisi
12 tahun yang lalu
1 komentar:
El Royale Casino & Hotel - Mapyro
Find your way around the casino, find where 충청북도 출장안마 everything is located with Mapyro's interactive interactive map 광주 출장샵 to 전주 출장안마 help you plan 수원 출장샵 your trip. 문경 출장샵 See nearby casinos
Posting Komentar