كل ما وردبه الشرع مطلقا ولا ضا بط له من الشرع ولا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف
SETIAP YANG TIDAK ADA ATURANNYA DALAM AGAMA DAN
BAHASA MAKA RUJUKANYA URF
-----------------------------------------------
Oleh : Fitriyani
Makna kaidah
Kaidah ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam syara’ secara mutlak, tampa ada batasan, ikatan, (serta) perkiraan, dan dia diikat oleh aturan syara’ dan bahasa, maka adatlah (urf’) yang menjadi pegangan hukumnya.
Kaidah tersebut menjadi kemudahan dan rahmat bagi masyarakat Islam (manusia) serta menjaga kemaslahatannya. Agar supaya setiap mukallaf akan terus menjaga perintah Allah berdasarkan kemampuan dan kesanggupannya dan menolak kesulitan (dosa) dan kesusahan (maksiat).
Cabang-cabang kaidah
Kaidah ini meliputi beberapa cabang. Berikut ini diantara cabang-cabang yang dipilih:
Pertama: Cukup dengan niat shalat sebagai perbandingan dengan urf , dimana niat shalat dianggap ketika hendak melaksanakan shalat.
An-niyyat, secara simetris berarti maksud, keinginan, kehendak, cita-cita, tekat, dan menyegaja. Secara terminologis, ulama fikih mendefinisikan denagn “tekad hati untuk melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah”. Niat merupakan salah satu unsure yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu ibadah dan juga menetukan bagi keabsahan beberapa jenis muamalah. Ajaran Islam menuntut umatnya agar memulai pekerjaan dengan niat.
Dasar Hukum Niat. Niat mempunyai dasar yang kuatdalam syariat Islam, baik di dalam Alquran maupun dalam sunah Rassulullah saw. Allah berfirman dalam surah al-Bayyinah/98:5
•
Terjemahnya
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurusdan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Posisi niat dalam Islam. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa niat merupakan sepertiga ilmu. Maksudnya, kaidah yang berkaitan dengan niat merupakan salah satu kaidah yang berdampak luas dalam berbagai amalan dalam Islam. Secara khusus Imam Syafi’i menyatakn bahwa persoalan niat terkait dengan 70 bab fikih, dalam arti apabila tanpa niat di 70 bab fikih itu di anggap tidak sah, baik yang bersifat ibadah seluruhnya, muamalah sebagiannya, bahkan persoalan-persoaln mubah (yang dibolehkan) pun jika tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah saw harus dimulai dengan niat.
Syarat-syarat niat Ulama fikih mengemukakan beberapa syarat niat dalam ibadah, yaitu: 1. Islam, oleh karenanya ibdah orang kafir tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 2. Mumayyiz, oleh kerananya ibadah anak kecil dan orang gila dianggap tidak sah sekalipun diawali dengan niat; 3. Memahami kandungan niat; 4.tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan niat.
Contoh aplikasi yang bisa dikaitkan dengan kaidah tersebut. Jika seseorang dalm melaksanakan shalat tidak disyariatkan niat untuk menyebut jumlah rakaat, maka jika seorang mualim berniat untuk melaksankan shalat magrib emapt rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah. Dan apabila seseorang yang akan melaksanakan shalat zhuhur, tapi niatnya menunaikan shalat azhar, maka shalatnya tidak sah.
Kedua: Memelihara (menjaga) pencuarian, membedakan jual beli kembali kepada urf’.
Ar-sariqah (pencurian), mengambil harta orang lain secara terpelihara secara sembunyi-sembunyi. Artinya pencurian dilakukan tampah sepengetahuan sipemilik barang dan pemilik barang tidak rela dengan pegambilan barangnya tersebut. Misalnya pencurian barang dilakukan ketika pemilkinya tidak ada atau sedang tidur dan sudah disimpang ditempat yang aman menurut keadaan suatu daerah sudah aman. Seperti dalam pagar dalam takaran masyarak di Indonesia sedangkan di Arab Saudi di depan Apertemenpun sudah dinaggap aman.
Ketiga: Waktu dan kadar haid dikembalikan kepada urf’.
Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita sehat dalam beberapa waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan bukan pula karena ada penyakit di dalam rahim.
Terdapat perbedaan pandangan ulama fikih dalam menetapkan lamanya haid yang dijalani oleh seorang wanita.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa seorang wanita menjalani haidnya minimal tiga hari tiga malam dan masa maksimal sepuluh hari sepuluh malam. Jika masanya lebih Dari sepuluh hari sepuluh malam, maka bukan haid lagi, tetapi telah berubah menjadi istihadah (darah penyakit yang keluar dari rahim bukan karena haid atau nifas). Alasan mereka adalah hadis dari Aisyah binti Abu Bakar yang menyatakan: “Masa haid minimal bagi wanita perawan atau sudah kawin adalah tiga hari dan masa maksimalnya sepuluh hari” (HR. at-Tabara>ni dan Daraqutni).
Menurut ulama Mazhab Maliki membedakan antara haid dan persoalan ibadah dan haid dalam masalah idah, menurut mereka darah haid dalam masalah ibadah cukup sekali keluar saja atau beberapa saat, ketika itu wanita telah dianggap haid dan apabila telah habis haidnya beberapa saat kemudian, ia wajib mandi. Pada masa haid beberapa saat itu, wanita tersebut harus membatalkan puasanya dan mengkadanya dihari lain. Menurut mereka lama haid dalam masalah idah adalah satu hari atau setegah hari. Menurut imam Malik masa haid maksimal juga berbeda antara wanita yang satu dengan wanita yang lainnya. Perbedaan itu dilihat dalam tiga keaadaan, yaitu: a. wanita yang baru haid, masa maksimal haid mereka 15 hari; b. wanita yang sudah biasa haid, masa maksimal haid mereka adalah ditambah tiga hari dari kebiasaan mereka selama ini; c. orang yang haidnya terputus-putus (satu hari keluar darah kemudian hari lain tidak keluar lagi, kemudian hari berikutnya keluar lagi dan seterusnya), masa haid maksimalnya adalah 15 hari, tidak termasuk hari ketika darah tidak kelaur, apabila lebih dari masa maksimal yang telah ditentukan tersebut, maka hal itu bukan haid lagi tapi istihadah.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa masa haid adalah minimal satu hari satu malam. Masa sedang atau bisanya adalah enam atau tujuh hari, didasarkan sabda Rasulullah saw. Kepada Mihnah binti Jahasy ketika bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah ketika itu meberikan jawaban; ”Jadilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari dengan sepengetahuan Allah. Kemudian mandilah engkau dan laksanakan shalat selama 24 hari 24 malam atau 23 malam. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmaad bin Hambal dan at-Tirmizi). Menurut mereka masa haid maksimal selama 15 hari. Jika lebih dari itu bukan darah haid lagi tapi berubah menjadi istihadah.
Keempat: Menghidupkan (lahan) yang mati dikembalikan kepada urf’.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat apabila di satu temapt terdapat lahan yang kosong tidak ada yang mengelolahnya dan pemiliknya tidak diketahui maka terkadang ada orang yang mengelolahnya sehingga suatu waktu bisa saja orang yang mengelolah tersebut diaggap sebagai milkinya.
Kelima: Penguasaan pada (harta) rampasan, yakni kedudukan orang yang merampas sebagai (pengatur, penguasa, pemilik) atas apa yang dirampas. Hal ini kembali kepada urf’.
Hal ini basa digolongkan sebagai harta qanimah (rampasan perang) harta yang didapat dalam peperangan sudah menjadi milik orang yang yang mengambilnya.
Beberapa pengecualian dari Kaidah
Ada beberapa cabang yang dikecualikan dari kaidah ini. Cabang tersebut diberi hukum dengan tidak memakai hukum kaidah tersebut, diantaranya:
Pertama: Hal saling memberi menurut kalangan Mazhab syafi’i. (pendapat ini menyatakan bahwa) jual beli tidak sah. Dengan cara saling memberi, sekalipun masyarakat telah terbiasa dengan hal tersebut. Berbeda dengan apa yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa sah mengadakan jual beli dengan cara saling memberi.
Al-bay’: menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bay dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengetian lawannya, yakni kata asy-syara> (beli) dengan demikain kata al-bay’ berarti “jual”, tetapi sekaligus berarti “beli”. Persoalan jual beli dalam Islam dibahas oleh Ulama fikih sehingga dalam berbagai literatur dikemukakan pembahasan dengan topic kitab al-buy (kitab jual beli).
Ada beberapa defenisi jual eli menurut menurut fikih. Dikalangan Mazhab Hanafi terdapat dua definisi Pertama, “ saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu” kedua, “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan barang yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”. Cara yang dimaksud ulama hanafi adalah melalui ijab Kabul (ungkapan membeli dari pemembeli) dan Kabul (menyatakan menjual dari penjual), atau juga biasa saling memberikan barang dengan harga antara penjual dan pembeli.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, jual beli adalah saling tukar menukar dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Hal ini mereka melakukan penekakanan pada kata “milik dan pemilikan” karena juga tukar menukar harta tersebut yang bukan pemilikan. Seperti sewa menyewa (ija>rah).
Dalam peraktik sekarang terkadang orang datang ke warung membeli lansung mengambil barang kemaudian menyimpang uangnya seharga barang tersebut tampa ada akad saya membeli dan saya menjual. Tapi menurut Imam Nawawi hal tersebut sah dan dibenarkan serta sudah menjadi adat urf’ dalam masyarakat.
Kedua: masuk WC pada dasarnya diwajibkan membanyar ongkos (masuk WC) tetapi apabila tidak disebutkan (pembayaran) maka tidak berlaku ongkos tersebut. Karena pengguna telah menikmati/memakai pemanfaatan WC dan pemilik WC telah menyediakannya (asas manfaat).
Ketiga: Jika seorang menyerahkan baju kepada tukang jahit (penjahit) untuk dijahit, atau duduk dihadapan tukang cukur lalu ia dicukur, atau duduk dihadapan tukang pijat lalu ia dipijat, atau minta izin masuk perahu lalu dibawa ke pantai, maka tidak wajib dikenakan pembayaran. Hal tersebut berbeda dengan kaidah.
Tak Ada Puisi
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar