Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 11 Februari 2011

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

SHALAT TARAlah-nya, Kritik Dalil (Muna>qasyah al-Adillah), dan Kesimpulan dari Perbandingan)

Oleh: Fitriyani

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Shalat merupakan ibadah utama dalam Islam, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat disyariatkan dalam rangka bersyukur atas seluruh nikmat Allah swt. yang diturunkan kepada manusia. Shalat juga menjadi pembeda antara muslim dan kafir. Di samping shalat fardhu, juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunat baik muakkad maupun gairu murakkad.
Pada bulan suci Ramadhan, salah satu amaliyah yang rutin dilakukan umat Islam di seluruh dunia, selain tilawah al-Qur'an adalah shalat sunat tarawih. Mulai awal hingga akhir Ramadhan, mesjid-mesjid penuh dengan masyarakat muslim yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Bagi yang tidak sempat ke mesjid, mereka melakukan shalat tarawih di rumah.
Fakta adanya pelaksanaan shalat tarawih secara turun temurun sejak Nabi saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah tentang disyari’atkannya shalat tarawih. Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dituturkan, bahwa Nabi saw. sangat menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Nabi saw. bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya

“Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau (HR. Bukhari).”
Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafal رمضانdan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
ح : الا يمان ٣٦
م : صلاة تامسا ثرين و فصر ها ١٢٦٤
ت : الصوم ٦١٩
ن :اصيام ٢١٦٩
د : الصلاة ١١٦٤
حم : يا فى مسند الكيثرين ٦٨٧٤
د م : الصوم ١٧١١
Untuk melengkapi shalat tarawih, maka dianjurkan melakukan shalat witir sebanyak tiga rakaat. Kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa ketika sampai lima belas Ramadhan, maka pada rakaat ketiga setelah ruku dalam shalat witir dilakukan kunut. Demikian pula pada shalat subuh, dalam masyarakat ada yang melakukan kunut dan ada pula yang tidak melakukannya, yang tentu saja masing-masing mempunyai alasan.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang shalat tarawih dan bacaan kunut, ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Pandangan fukaha tentang shalat tarawih dan bacaan kunut dalam shalat.
2. Dalil-dalil dan wijhu al-dalalah-nya tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
3. Kritik dalil (Munaqasyah al-Adillah) tentang shalat tarwih dan bacaan kunut dalam shalat.
4. Kesimpulan dari perbandingan.



II. PEMBAHASAN
1. SHALAT TARWIH
A. Pandangan Fukaha tentang Shalat Tarawih
Shalat Tara>wih; akar kata: ra>ha = lega; al-Istira>h}ah = istirahat. Shalat yang dilakasanakan dengan santai atau diselingi istirahat beberapa saat; salah satu shalat sunat yang dikerjakan umat Islam pada setiap malam di bulan Ramadhan.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari
تَرْوِيْحَةٌ , yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. Shalat tarawih juga disebut juga qiyam Ramadhan. Penamaan shalat ini dengan shalat tarawih adalah karena ketika melaksanakan shalat ini dua rakaat, jamaah dan imamnya beristirahat sejenak.
Dalam sejarah diketahui bahwa shalat tarawih di masa Rasulullah saw. disebut qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-la>il semula dilaksanakan di mesjid. Ketika jamaah melihat nabi saw. Shalat, mereka pun mengikutinya. Hal ini berlangsung pada malam kedua dan jamaah bertambah banyak. Akan tetapi pada malam ketiga (atau keempat) Rasulullah saw. tidak datang di mesjid, melainkan melaksanakannya sendirian di rumah. Pada pagi harinya sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. mengapa beliau tidak datang tadi malam. Rasulullah saw. menjawab: “saya telah melihat apa yang kalian laksanakan. Saya tidak datang bukan karena perbuatan itu, hanya saja saya khawatir kalian menganggap shalat ini menjadi shalat wajib.”
Sekalipun Rasulullah saw. tidak datang lagi ke mesjid untuk melaksanakan qiya>m Ramadhan, namun jsmaah tetap melaksanakannya. Ada yang melaksanakannya secara sendiri dan ada yang melaksanakannya secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang imam. Hal ini berlangsung terus sampai masa khalifah Umar bin Khattab. Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklah shalat tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin Ka’ab.
Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut seraya mengomentari, ”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yaitu sesuatu yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Menurut para fukaha, qiya>m Ramadhan atau qiya>m al-lail bagi Nabi saw. hukumnya wajib. Tetapi menurut jumhur ulama fikih, shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya sunah mu’akkad (sunah yang dianjurkan). Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad at-Tahawi, tokoh fikih mazhab Hanafi, menyatakan bahwa shalat tarawih bagi umat Islam hukumnya wajib kifayah. Apabila dalam satu kampung atau daerah tidak dilaksanakan shalat tarawih maka seluruh warga kampung atau daerah itu berdosa.
Shalat tarawih hukumnya sangat disunahkan (sunah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikan oleh para sahabat dan ulama.
Ada beberapa pendapat tentang rakaat shalat tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at. Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut ini:

Pertama, hadis Aisyah:
“Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan.”
Kedua, Imam Malik dalam al-Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dri untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat.
Ketiga, Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibn Mubarak dan Imam Syafi’i.
Keempat, bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya.
Kelima, Imam Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran.
Dari riwayat di atas jelas, bahwa akar persoalan dalam perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah persoalan jumlahnya melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. al-Hafiz Ibn Hajar berpendapat:
”Bahwa perbedaan jumlah rakaat dalam rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang hendak didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syafi’i,
“Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika sholatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.”

Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan Tarwih 8 rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw. dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar ra, sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi sahabat dan tabiin. Bahkan menurut Imam Malik ra. hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat Tarwih; melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam az-Zarkani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibn Hibban bahwa Tarwih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang namun bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan ummat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama.
Sedangkan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah berkata, “Jika seseorang melakukan shalat Tarwih sebagaimana mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad yaitu 20 rakaat atau sebagaimana Mazhab Malik yaitu 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu yang terbaik. Ini sebagaimana Imam Ahmad berkata, “Karena tidak ada apa yang dinyatakan dengan jumlah, maka lebih atau kurangnya jumlah rakaat tergantung pada berapa panjang atau pendek qiya>m-nya.”
B. Dalil-dalil dan Wijhu al-Dalalahnya
a. Dalil untuk jumlah 11 rakaat dalam shalat tarawih berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya

“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari).

Aisyah dalam hadis di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan nabi di malam hari dari lainnya.”
Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau wafat.”
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
Artinya

“Umar bin Khattab memerintahkan pada Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Malik)
Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: Dan (hadis) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari Umar, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan sunnah, apabila Rasulullah saw. tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).
b. Dalil-dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih 23 rakaat:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
Artinya

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa Umar bin Khaththab 23 rakaat.” (HR. Malik)

Takhrīj hadis terkait dengan shalat tarwih, dilakukan dengan menggunakan lafaz ركعة dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : صلاة المسافرين و قصر ها ٬١٢٧٥٬١٢٧٤
ت : الصلاة ٢١٥
ن :الغسل و التيمم ٤٣٦
د : الطها رة ٥٣
حم : من مسند بنى ها شم ١٧١٢٬١٧٨٤
Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar”, (nukilan dari kitab Nashbu al-Rayah), maka sanadnya munqathi/terputus). Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa.
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
Artinya

“Sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Thabrani).

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah) Shalat Tarawih
Dalil tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang diriwayatkan oleh Aisyah menyebutkan bahwa nabi saw. senantiasa melakukan qiyam Ramadhan atau qiyam al-lail, baik di dalam maupun di luar bulan ramadhan sebanyak 11 rakaat. Bagi para ulama pendukung shalat tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadis itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi saw., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.
Ijtihad Umar bin Khathab tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw., karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti). Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa posisi sahabat Nabi saw. sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam hadis Nabi saw:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
Artinya

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al- Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat tarawih hukumnya sunah yang jumlahnya 20 raka’at:
وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحّ َ

Artinya

“Shalat tarawih hukumnya sunah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua rakaat baru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah”

Dalam “Fath al-Bari” Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadis tentang jumlah rakaat shalat tarawih adalah 23 rakaat, beliau menyatakan: “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadis Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat ditambah witir, sanad hadis ini adalah dhai>f. Hadis Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadis itu, padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah saw. pada waktu malam daripada yang lainnya”. Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh az-Zailai’ dalam “Nashbu al-Rayah”.
Tentang hadis dari Abu Syaibah Ibrahim bin Usman, Imam ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.”
Dalam kitab Nashbu al-Rayah dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadis yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah: “Bagaimana shalat Rasulullah saw. di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).
D. Kesimpulan Perbandingan

Perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih yaitu pada masa Rasulullah saw. adalah 8 rakaat dengan dilanjutkan 3 rakaat witir. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab menjadi 20 rakaat dilanjutkan dengan 3 rakaat witir. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Ibnu Taimiyah, tokoh mazhab Hanbali, mengatakan semua pendapat itu adalah baik, karena tidak ada dalil yang pasti (qath’i) yang menunjukkan jumlah rakaat shalat tarawih tersebut. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa persoalan 11 atau 23 rakaat tersebut amat tergantung kepada jumlah ayat yang dibaca. Jika ayat yang dibaca pada setiap rakaat panjang-panjang, maka sebaiknya shalat ini disingkat. Tetapi kalau jumlah ayatnya singkat, maka lebih baik jumlah rakaatnya ditambah menjadi 23 rakaat.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang mendasar untuk mempertentangkan satu pendapat dengan pendapat lainnya dalam jumlah shalat tarawih; apalagi menjadi sebab perpecahan umat Islam. Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsens dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersamaNya dimanapun berada.
2. BACAAN KUNUT DALAM SHALAT
A. Pandangan Fukaha Mengenai Bacaan Kunut dalam Shalat
Disebutkan dalam kitab al-Nihayah, bahwa kata kunut mempunyai delapan makna, yaitu taat, khusyu’, shalat, doa, ibadah, berdiri, lama berdiri, dan diam.
Kunut berarti taat, menghinakan diri kepada Allah swt., dan lama tegak dalam shalat. Doa yang dibaca pada shalat tertentu dan karena keadaan tertentu. Kunut mempunyai arti yang sama dengan doa dan tadharru’ yang berarti mendoakan musuh.
Kunut dibagi dua macam, yaitu kunut witir atau kunut subuh dan kunut nazilah. Kunut witir atau kunut subuh adalah kunut yang dibaca dalam shalat witir atau shalat subuh. Sedangkan kunut nazilah adalah kunut yang dibaca dalam shalat fardhu ketika umat Islam menghadapi tantangan, bencana, dan permusuhan dari orang-orang kafir.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa sunat membaca kunut dalam shalat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan pada shalat mana, kapan, lafal, dan tata cara kunut dibacakan.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali menggunakan istilah kunut witir, yaitu kunut yang dibaca pada rakaat terakhir shalat witir. Sedangkan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i menggunakan istilah kunut subuh, yaitu kunut yang dilakukan pada rakaat terakhir shalat subuh.
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya kunut subuh.
pertama : Kunut subuh disunahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.
Pendapat kedua : Kunut subuh tidak disyariatkan karena kunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Kunut pada shalat subuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada shalat subuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya al-Laitsy dan ahli fikih dari para ulama ahlul hadis.

B. Dalil-dalil dan Wijhu Dalalahnya
Dalil pendapat pertama:
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap kunut subuh itu sunah adalah hadis Abu Ja'far ar-Rozy dari ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ فجر حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Artinya

"Rasulullah saw. terus menerus kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Kemudian sebagian para ulama Syafi'iyah menyebutkan bahwa hadis ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, antara lain:
Pertama : dari jalan Hasan al-Basry dari Anas bin Malik, beliau berkata:
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
Artinya

"Rasulullah saw., Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" kunut sampai saya berpisah dengan mereka".

Kedua : dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qatadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
Artinya
"Saya shalat di belakang Rasulullah saw. lalu beliau kunut, dan dibelakang 'Umar lalu beliau kunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau kunut".

Ketiga: dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin Abdillah, dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ


Artinya

"Terus-menerus Rasulullah saw. kunut pada shalat subuh sampai beliau meninggal".

Takhrīj hadis yang berkaitan dengan kunut, dilakukan dengan menggunakan lafal يقنت dan melalui lafal ini, maka Mu’jam memberikan petunjuk sebagai berikut:
م : الصلاة ٥٩
ح : الأذان ٧٥٥
ت : الصلاة ٣٦٧
ن : التطبيق ١٠٦٦
د : الصلاة ١٢٢
حم : أ و ل مسند الكو فيين ١٧٧٤
د م : الصلاة ١٥٤٩
(Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam al-Qunut dan Ibnu al-Jauzy dalam al-Tah)
Dalil Pendapat Kedua:

Mereka berdalilkan dengan hadis Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ) : لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ)




Artinya

"Adalah Rasulullah saw. ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (i'tidal) berkata: "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakwan dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim".

Berdalilkan dengan hadis ini menganggap mansukh-nya kunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang gaib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah:

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Artinya

Dari Abi Hurairah ra. beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah saw. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Subuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa kunut nazilah belum mansukh. Andaikata kunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi saw. dengan kunut nazilah .
Dalil pendapat ketiga:
Pertama : Hadis Sa'ad bin Thoriq bin Asyam al-Asyja'i
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".


Artinya:

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullah saw. dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali Radhiyallahu 'Anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan kunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (kunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". (HR. Tirmidzy).

Kedua : Hadis Ibnu Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
Artinya

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya shalat bersama Ibnu Umar shalat subuh lalu beliau tidak kunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para sahabatku". (HR. ath-Thabrany)

C. Kritik Dalil (Munaqasyah al-Adillah)

Mengenai dalil bagi pendapat pertama, an-Nawawi dalam al-Majmu’nya mengatakan bahwa hadis tersebut shahih dan diriwayatkan oleh sejumlah penghafal hadis, dan mereka menshahihkannya. Di antara yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa judul kitabnya, dan al-Baihaqy. Hadis itu diriwayatkan juga oleh ad-Daruqutni dari berbagai jalan periwayatan dengan sanad yang shahih.
Menurut Hasan bin Ali as-Saqqaf, hadis ini dhaif karena ada Abu Ja’far ar-Razi dan Isa bin Mahan dalam sanadnya. Abu Ja’far itu dhaif dalam meriwayatkan hadis dari Mughirah saja, sebagaimana dikatakan oleh para imam ahli hadis yang menganggap bahwa Abu Ja’far itu tsiqah. Mereka yang menganggapnya tsiqah, seperti Yahya bin Mu’in dan Ali bin al-Madini. Hadis ini tidak diriwayatkan oleh Abu Ja’far dari Mughirah, tetapi ia meriwayatkannya dari ar-Rabi bin Anas, sehingga di sini hadisnya shahih. Berkenaan dengan hal tersebut, as-Saqqaf telah membuat karangan yang diberi judul al-Qaul al-Mabtût fi Shihhati Hadits Shalah as-Shubh bi al-Qunut.
Menurut golongan ketiga, tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada shalat subuh secara terus-menerus. Qunut subuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para sahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".
Mereka juga beralasan bahwa nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya kunut subuh dari beberapa orang sahabat bahwa mereka melakukan kunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shahih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan kunut subuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Mereka menambahkan bahwa setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya kunut subuh secara terus-menerus dengan membaca do'a kunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah shalat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadis yang lemah.
Andaikan dikatakan hadis itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk kunut terus menerus dikarenakan perkataan (kunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma’ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :
1. (QS. ar-Rum /30: 26.
         
Terjemahnya

Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. semuanya hanya kepada-Nya tunduk.
2. (QS. al-Ahzab/33 :31
               
Terjemahnya
Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
3. QS. al-Baqarah /2 :238.
        
Terjemahnya
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadis Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do’a ketika i’tidal yang disyariatkan, bukan do’a kunut yang mereka maksudkan karena dalam i’tidal harus khusyuk, tuma’ninah, dan tenang, tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadis Anas itu adalah ucapan “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst. ” serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan doa khusus qunut subuh yang berbunyi “Allahumahdinaa fiiman hadait… dst.”
D. Kesimpulan Perbandingan

Persoalan kunut, terutama kunut subuh, adalah masalah yang terus menerus dipertentangkan, meskipun telah banyak kajian atau pembahasan mengenai hal tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan di atas tentang golongan yang menyetujui adanya kunut subuh maupun golongan yang menolak kunut subuh, dengan dalil-dalil yang diungkapkan masing-masing, dan menganggap bahwa dalil yang mereka gunakan adalah shahih.
Menurut penulis, dalil dan argumen yang dikemukakan masing-masing golongan, baik yang menyetujui kunut subuh maupun yang menolak, semuanya dapat diterima karena mereka menguraikan dengan jelas dalil dan argumentasinya, yang semuanya bersumber dari Rasulullah saw. untuk menilai mana dalil yang terkuat, penulis belum mampu menentukan karena keterbatasan penulis dalam menganalisis keshahihan hadis yang dijadikan dalil masing-masing golongan.
Bagi penulis, persoalan kunut adalah furu’iyah yang tidak perlu dipermasalahkan. Karenanya, bagi mereka yang meyakini bahwa kunut subuh itu sunat, maka tak mengapa dilakukan sebab ada dalil-dalil yang mendasarinya. Begitupun bagi yang meyakini bahwa kunut subuh itu tidak disunahkan, maka tak mengapa ditinggalkan karena ada juga dalil yang mendasari hal tersebut.



































DAFTAR PUSTAKA
al-Albani, Nashiruddin. Shalat al-Tarawih, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir al-Maidani dengan judul Shalat Tarawih, Pustaka At-Tibyan.

al-Ansary, Jamaluddin Muhammad bin Mukarram. Lisan al-‘Arabi, Juz 2, Beirut: Dar al-Shadr, t.th.

al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh al-Bukhary, Juz 4, t.t: Maktabah Salafiyah, t.th.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 dan 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Cet. X; Bandung: CV. Diponegoro, 2006.

Dzulqarnain, Abu Muhammad. Hukum Qunut Subuh, dalam http://darussalaf.or.id. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2008.

Al-Jaziry, Abdul Rahman. al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, al-Tijariyah al-Kubra, 1969.
al-Malibari, Zainuddin. Fath al-Mu’in, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ikhtilafiyah, Makassar: Berkah Utami, 1999.
Ibn Ismail Muhammad. al-Bukha>ri, ja>mi> al-Risa>lah Juz. V. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Ibnu Qudamah, al-Mugny, Juz 3. Riyadh: Maktabah Riyadh al-Jadidah, 1980.

Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah, jilid.1, Cet. II; Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1973.
As-Saqqaf, Hasan bin Ali as-Saqqaf. Shahih Shifat Shalat an-Naby, diterjemahkan oleh Ahmad Qosim dengan judul Shalat seperti Nabi Saw.: Petunjuk Pelaksanaan Shalat Sejak Takbir hingga Salam, Cet. III; Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006.

al-Zarqani, Syarh al-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, Juz 1. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

0 komentar:

Posting Komentar